Sangat mudah menuduh pertandingan sepakbola atau olahraga lainnya disusupi praktik match-fixing (pengaturan pertandingan). Namun beberapa orang bahkan tidak benar-benar tahu bagaimana sebuah pertandingan atau kompetisi bisa diatur hasilnya. Itu tidak sesederhana menyogok pemain atau wasit untuk melakukan suatu hal.
Pada dasarnya match-fixing bukan perilaku curang. Match-fixing terjadi ketika ada pihak yang setuju untuk kalah, imbang, atau memenangkan pihak lawan dengan tidak berusaha maksimal. Sedangkan curang adalah menghalalkan segala cara untuk menang, misalnya doping.
Ada dua tipe pengaturan pertandingan di sepakbola, yaitu arranged match-fixing dan gambling match-fixing.
Arranged match-fixing terjadi ketika koruptor memanipulasi pertandingan sepakbola untuk memastikan salah satu kesebelasan kalah atau imbang. Sementara gambling match-fixing terjadi ketika koruptor memanipulasi dengan maksud mendapatkan keuntungan maksimal di pasar taruhan.
Jika mau dipukul rata, arranged match-fixing hanya menguntungkan salah satu kesebelasan, sementara gambling match-fixing membuat sebuah kesebelasan disabotase oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungan pihak yang bersangkutan.
Jadi pada gambling match-fixing, seorang koruptor tidak peduli jika Kesebelasan A atau Kesebelasan B kalah atau menang. Mereka hanya memedulikan keuntungan pribadi mereka. Akan lebih baik bahkan jika mereka bisa mengontrol banyak pihak (dalam hal ini adalah Kesebelasan A dan B).
Menurut Declan Hill (jurnalis dan akademisi yang mengkhususkan diri kepada kasus match-fixing), 88,2% kasus arranged match-fixing diinisiasi oleh administrator kesebelasan. Kemudian pada gambling match-fixing, 86,4% “permainan” diinisiasi oleh agen eksternal seperti bandar atau organisasi kriminal.
Operasi pengaturan pertandingan di sepakbola juga dibagi dua, yaitu “permainan” kecil-kecilan tapi sering dan dalam jangka waktu panjang; atau “permainan” sangat besar tapi dalam waktu singkat. Operasi jenis kedua biasanya lebih mencurigakan. Sebagai contoh: Kesebelasan kuda hitam bisa menang pada sebuah final.
Pengaruh Pasar Taruhan
Sebenarnya match-fixing tidak selalu didasari perjudian (gambling). Namun perjudian memang banyak memengaruhi hasil pertandingan-pertandingan olahraga karena banyak orang yang bertaruh, dari mulai sepakbola, balapan Formula 1, kriket, bahkan sampai tingkat yang paling rendah dan tak menarik perhatian publik seperti misalnya pertandingan perempuan U16 di divisi ketujuh.
Pada pasar taruhan atau judi, tujuan utama pengaturan (fixing) adalah untuk memperoleh keuntungan maksimal. Maka dari itu ada dua pengaturan yang terjadi, yaitu pengaturan pertandingan dan pengaturan pasar taruhan.
Setiap laga punya peluang (odd) masing-masing. Hal ini yang membuat taruhan memiliki nilai. Koruptor biasanya memiliki masalah, yaitu jika mereka berhasil mendapatkan “pemain” untuk kalah pada pertandingan, mereka akan bertaruh untuk kesebelasan lawannya untuk menang. Dengan begitu mereka jadi mendapatkan keuntungan.
Semakin banyak uang yang mereka pertaruhkan melawan para “pemain” mereka, maka akan semakin besar uang yang akan mereka dapatkan. Ini disebut “mengatur pasar taruhan”.
Jika petaruh (koruptor) memasang uang yang terlalu banyak, bandar akan curiga sehingga odd bisa berubah. Sedangkan jika mereka memasang terlalu kecil, itu akan membuat pengaturan pertandingan jadi tak layak, sehingga uang suap mereka kepada “pemain” menjadi sia-sia di pasar taruhan.
Bagi koruptor yang tak memiliki cukup uang, mereka akan melibatkan investor, yang membuat koruptor berperan sebagai broker: mereka mengatur pertandingan kepada “pemain”, lalu pergi ke investor yang bisa menyediakan mereka banyak uang.
Maka dari itu petaruh (koruptor) selalu berusaha tak ketahuan, karena poin utama dari match-fixing adalah untuk menipu bandar demi menghasilkan keuntungan untuk koruptor. Di sini bandar justru bisa menjadi “korban”, bukan pelaku.
Hal ini juga yang menjadi alasan match-fixing lebih sulit terjadi di pertandingan penting (seperti Piala Dunia) karena uang yang mengalir akan sangat besar dan juga lebih mencurigakan. Pengaturan pertandingan banyaknya terjadi di liga kecil karena “pemain” bisa dibayar lebih murah (apalagi jika “pemain” sudah lama tak digaji) dan tidak lebih mencurigakan (karena tak banyak yang peduli) meski keuntungannya kecil.
Pelaku Langsung
Secara umum “pemain” match-fixing dilakukan oleh wasit, pemain, dan administrator kesebelasan (manajer, presiden kesebelasan, pelatih, dll). Masih menurut Hill, tingkat kesuksesan pengaturan pertandingan rata-rata menjadi besar jika seseorang menyogok administrator kesebelasan (kesuksesan 90,5%) daripada pemain (83,1%) atau wasit (77,8%).
Kenapa administrator kesebelasan bisa lebih besar kemungkinan suksesnya? Padahal wasit dan pemain adalah mereka yang berada langsung di lapangan, yang bisa memengaruhi hasil/skor secara langsung.
Pada dasarnya semakin banyak orang yang terlibat dalam “permainan”, akan semakin tinggi kemungkinan suksesnya. Jika seseorang bisa memengaruhi administrator kesebelasan, berarti mereka bisa memengaruhi satu kesebelasan secara keseluruhan alih-alih perorangan seperti pemain atau wasit.
Pada gambar jalur di atas, baik pemain, wasit, maupun administrator kesebelasan adalah “pemain” (yang diajak “bermain”, yang dibayar untuk kalah). Menurut jalur normal, ada yang menyogok atau menyuruh mereka untuk mengatur pertandingan, yaitu “koruptor”.
Untuk membangun jalur seperti di atas, ada azas kepercayaan yang tidak bisa sembarangan terbangun. Maka dari itu jika koruptor meminta pemain atau wasit untuk terlibat, itu biasanya hanya bersifat sementara: done and forgotten.
Namun koruptor yang membangun kepercayaan kepada administrator kesebelasan bisa lebih langgeng, karena mereka akan masuk ke dalam sistem yang tidak dipengaruhi oleh (misalnya) perpindahan pemain atau pergantian wasit.
Tanpa adanya azas kepercayaan ini, koruptor tidak akan memiliki kekuatan dan kepastian.
Pelaku Tidak Langsung
Masalahnya koruptor tidak bisa seenaknya terlibat secara langsung. Mereka butuh akses untuk bisa mengajak wasit, pemain, atau administrator “bermain”. Mereka bisa saja melakukan pendekatan langsung. Masalahnya kebanyakan dari mereka adalah pihak luar.
Jika mereka memutuskan pendekatan secara langsung, mereka harus cerdas dalam pendekatannya, misalnya berusaha satu hotel atau satu koridor dengan calon “pemain”. Pada praktik langsung, mereka bisa memakai pelacur. Sementara secara tidak langsung, mereka bisa berpura-pura sebagai jurnalis yang ingin melakukan interviu.
Untuk pendekatan langsung ini, risikonya lebih besar bagi koruptor. Maka dari itu mereka biasa memakai jasa perantara yang biasa disebut runner atau agen. Hal ini bisa membuat koruptor terlindungi dari deteksi, karena proses transaksinya mengandung banyak layer.
Runner atau agen ini juga bertindak sebagai penjamin atau pemberi garansi (guarantor), tapi ada juga yang tidak bisa bertindak sebagai penjamin. Bisa menjadi penjamin atau tidak, runner tetap memiliki kekuatan utama pada akses. Mereka tahu siapa “pemain” yang bisa didekati dan siapa yang sebaiknya dihindari (berpotensi mengadu kepada pihak berwajib).
Dalam praktik global, peran runner ini ideal diambil oleh mantan pemain. Mantan pemain adalah mereka yang sangat tahu situasi dan kondisi lapangan. Runner jenis ini bisa menghadirkan jaringan “permainan” paling efisien dan menjanjikan.
Meski begitu runner juga kadang bukan orang yang tahu persis kondisi lapangan, sehingga ia membutuhkan “pegangan” lainnya, yang bisa membuat jalur match-fixing lebih berlapis-lapis lagi. Karena runner adalah orang yang tahu siapa yang paling bisa “dipegang”, pihak yang bisa “dipegang” itu biasa disebut project manager.
Project manager adalah pihak yang memiliki pengaruh langsung kepada para “pemain”. Project manager biasa diperankan oleh pemain berpengaruh, pelatih, pemilik kesebelasan, pejabat kesebelasan, atau pejabat federasi.
Dengan jalur-jalur seperti ini, meski panjang dan berlapis-lapis, namun bisa membuat jaringan yang kuat dan sulit terdeteksi. Mereka yang biasanya mudah ditangkap juga biasanya adalah dari layer runner ke bawah (sampai para “pemain”), sementara koruptor dan orang-orang atas lebih sulit tertangkap.
Pemain Pasif Kelas Kakap
Dalam setiap aksinya, koruptor tentu butuh pelindung. Jika sosok pelindung itu tak bisa mereka dapatkan dari guarantor (runner atau agen), mereka akan meminta ke tingkat yang lebih tinggi, seringnya underground.
Pada laporan Federasi Sepakbola Zimbabwe 2011, grup pengatur pertandingan dari Asia bisa mengatur banyak pertandingan tim nasional mereka selama tiga tahun karena mendapat perlindungan dari pejabat senior federasi, pemain, dan bahkan wartawan yang mengaver berita-berita di pertandingan tersebut.
Grup match-fixer Asia lainnya juga bisa mengatur pertandingan-pertandingan Eropa (terutama Italia dan Eropa Timur) karena mendapat perlindungan dari kriminal Balkan yang punya akses kepada pemain, wasit, dan pejabat federasi.
Kompetisi sepakbola yang bobrok memiliki persentase pertandingan yang sudah diatur lebih banyak daripada yang tidak diatur. Karena jaringan ini sudah terjadi secara “alamiah”, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pun sudah sama-sama tahu dan saling membutuhkan.
“Kadang kesebelasan berteman satu sama lain. Mereka mau menolong sesama. Para bos lalu bertaruh kepada hasil pertandingan. Ini banyak terjadi di divisi-divisi bawah,” kata Milan Sapina, seorang koruptor, yang mengaku kepada Declan Hill pada 2007.
Kata Sapina, para koruptor sepertinya bisa mengatur pertandingan dengan mudah karena dua alasan. Pertama karena mereka memiliki aliansi dengan para koruptor lainnya, terutama di Asia. Kedua karena mereka punya koneksi kepada pemilik sepakbola lokal yang sudah membuat match-fixing sebagai strategi bisnis mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dari sini kita sama-sama tahu jika “pemain” yang paling mudah adalah mereka yang juga “bermain”. Mereka yang juga “bermain” biasanya adalah mereka yang berkuasa dan memiliki banyak uang.
Itu juga yang membuat jalur kasus match-fixing mustahil ditelanjangi. Biasanya orang-orang di atas ini lah yang berperan sebagai “pemain” —meski pasif— tapi kelas kakap. Mereka sulit diungkap dan ditangkap, dan kalaupun terungkap, mereka bisa membalikkan tuduhan; justru pengungkap kasus yang akan dihukum, bukan mereka. Semua karena mereka punya kuasa dan punya uang.
Jadi pertanyaannya: bisakah praktik global ini dibasmi? Tentu saja bisa. Salah satu yang mengawali pemberantasan adalah dengan pendeteksian yang baik. Kepolisian dan media memegang peranan besar di situ.
Bagaimanapun juga match-fixing, meski sudah berskala global, adalah penipuan publik; yang kena tipu itu berjuta-juta orang.
Komentar