Orang tua saya punya klub bulu tangkis. Tempat latihannya pun terletak di rumah kami. Jadi saya sebenarnya dulu lebih sering main bulu tangkis daripada sepakbola. Tapi teman-teman saya lebih banyak yang bermain bola karena di kampung saya, desa Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah, rumah saya tak jauh dari lapangan sepakbola.
Saya bisa dibilang baru mengenal sepakbola sekitar kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Itu pun tujuan awalnya karena ingin banyak teman. Jadi keseharian saya mengikuti teman-teman yang memang mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di lapangan sepakbola.
Namun orang tua saya melihatnya lain. Mereka tiba-tiba menghadiahi sepasang sepatu bola. Waktu itu tidak terlalu banyak anak yang difasilitasi seperti itu. Sepatu itu pun dibeli di Palembang.
Mungkin saya memang punya bakat alam bermain sepakbola. Karena ketika menekuninya di Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya mulai sering dibawa main dengan tim yang lebih senior.
Sebagai orang tua mereka tentu khawatir karena saya selalu jadi pemain termuda. Kekhawatiran mereka terbukti ketika kelas 3 SMP saya dipinjam salah satu SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) untuk ikut kompetisi. Badan yang kecil membuat saya banyak diincar pemain lawan sampai akhirnya kena hajar dan patah tangan. Walau begitu cedera itu tidak mengendurkan niat untuk jadi pesepakbola yang pelan-pelan mulai tumbuh.
Di SMA Negeri Kota Gajah, karier sepakbola saya semakin serius. Waktu kelas 1 berhasil masuk tim Suratin Kota Lampung Tengah. Tim ini berhasil juara dan kemudian mewakili daerah menuju zona Sumatera Selatan. Berhasil juara juga. Keberhasilan itu yang mengantarkan kami ke babak final tingkat nasional yang waktu itu digelar di Jakarta dan Bekasi. Kami kalah di sana, juaranya tuan rumah Bekasi.
Hampir setiap tahun selalu ada pencapaian baru. Dari tim Suratin naik kelas ke tim Pekan Olahraga Nasional (PON) Lampung. Saya lagi-lagi jadi pemain termuda, 18 tahun. Posisi saya sudah jadi striker. Ketika itu beberapa gol berhasil dicetak, berhasil jadi top skor tim dan top skor kedua di tingkat nasional. Memang dari mengikuti PON 1985 itulah pintu karier profesional saya mulai terbuka.
Beberapa kesebelasan profesional sudah mulai memantau. Tapi pemerintah Lampung ingin saya tetap di Lampung. Mereka menawarkan fasilitas pendidikan di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Dengan beasiswa itu saya diharapkan tidak tergoda untuk meninggalkan Lampung.
Namun di saat bersamaan saya dapat panggilan dari PSSI Garuda-1 di Jakarta. Tim ini dibentuk untuk persiapan Piala Dunia 1986 Meksiko dan Olimpiade Korea Selatan 1988. Tim ini berisikan pemain muda kategori U21 hasil pantauan empat pemandu bakat yang ditunjuk PSSI: Halilintar, Ipong Silalahi, Maladi, dan Suwardi Arland. Tahun 1983 tim ini sempat dilatih oleh pelatih asal Brasil, João Barbatana. Tapi saat berlaga di King`s Cup Thailand dan menjadi runner-up ditangani oleh trio pelatih lokal: Muhammad Basri, Iswadi Idris, dan Abdul Kadir. Para pemain lulusan PSSI Garuda-1 ini memang cukup potensial.
Saya pun memilih merantau ke Jakarta untuk bergabung ke PSSI Garuda-1 demi karier sepakbola. Dalam perantauan itu juga saya tidak pernah melupakan pesan ayah saya: "Apapun boleh kamu kejar asal kuliah kamu diselesaikan, paling tidak S1".
Karena itulah di Jakarta pun saya berusaha masuk Universitas Negeri lewat Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) atau yang sekarang disebut SBMPTN. Kebetulan diterima di IKIP Jakarta Fakultas Olahraga jurusan Kepelatihan. Tentu pilihan itu tak lepas dari tujuan saya agar bisa mudah membagi waktu antara kuliah dan sepakbola.
Setelah diterima di IKIP, saya mendapatkan kabar kalau PSSI Garuda-1 dibubarkan. Untungnya Om Halilintar, yang berasal dari Lampung juga, membantu saya untuk tetap berkarier di sepakbola. Oleh beliau saya dimasukkan ke PPLM (Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa) Jakarta. Di tim itu terdapat pemain-pemain PSSI Junior yang membawa Indonesia juara Kejuaraan Antarpelajar Asia 1985 seperti Theodorus Bitbit, Tias Tono Taufik, Budiman Yunus, dan Erwin Yoyo.
Jadi rezeki saya juga karena waktu itu Persija Jakarta menawari bergabung dan membuat saya mengawali karier yang lebih profesional. Persija sudah jadi tim elite ketika itu. Buktinya saya kesulitan mendapatkan tempat di posisi striker utama karena ada pemain-pemain besar, salah satunya Bang Adityo Darmadi, yang kemudian jadi top skor Divisi Utama 1986.
Karena tak mau hanya jadi cadangan, saya putuskan untuk belajar posisi lain, selain tentu untuk menambah wawasan tentang posisi lain. Dari situ saya mulai bermain di posisi sayap kanan dan kiri. Di PSSI Junior pun saya mulai sering bermain sebagai gelandang serang.
Versatility saya akhirnya membuat saya mendapatkan posisi inti di Persija yang saya bela dari tahun 1986 sampai 1992. Di Timnas U23 yang ketika itu menghadapi Piala Kemerdekaan 1987 pun mulai bisa bersaing dengan pemain-pemain seperti Made Pasek, Coach Iwan Setiwan, Bonggo Pribadi, dan Alexander Saununu. Keberhasilan saya bersaing dengan pemain-pemain hebat itulah yang membuat saya bisa bermain di timnas senior pada usia 21 tahun.
Di usia muda saya berhasil mendapatkan pengalaman-pengalaman luar biasa. Di timnas senior itu, yang dipersiapkan jelang Merdeka Games di Malaysia, skuatnya dipenuhi bintang-bintang Galatama dan Perserikatan. Di sayap ada almarhum Ribut Waidi, Danny Bolung, Hanafing, Nasrul Koto, sementara di striker ada Ricky Yacob.
Bang Ricky ini pemain idola saya. Makanya saya sangat beruntung waktu itu karena bisa satu kamar dengannya di Malaysia. Jadi memang, meski sulit menembus skuat utama, itu jadi momen penting buat saya mendewasakan permainan karena bisa belajar langsung dengan para senior.
Baru sekitar 1989 saya mulai bisa bersaing dengan para pemain senior. Pelan-pelan saya pun mulai percaya diri untuk merebut satu tempat di posisi utama. Ketika itu saya ikut pemusatan latihan Pra-Piala Dunia 1990 di Jerman dan Belanda.
Tapi sialnya di uji tanding terakhir melawan Bayer Uerdingen, ketika mengejar umpan through pass Ricky Yacob, saya berbenturan dengan penjaga gawang lawan. Padahal ketika itu saya sudah berusaha menghindar dengan melompat, tapi kaki penjaga gawang lawan menyangkut di kaki saya. Insiden itu membuat saya cedera parah untuk pertama kalinya. Cedera ligamen meniskus di lutut kanan. Cedera ini mengharuskan saya istirahat dari sepakbola selama satu tahun.
Cedera itu membuat saya gagal membela timnas di Pra-Piala Dunia yang kemudian berlanjut ke SEA Games. Walau saya sebenarnya masih tercatat sebagai bagian dari tim karena turut berangkat, saya tetap tidak bisa bermain karena kondisi saya yang memang tak kunjung pulih.
Satu tahun tak bermain jelas membuat saya frustrasi. Apalagi dokter yang menangani saya waktu itu sudah berkata maaf, hands up dengan kondisi saya. Saya sendiri yang akhirnya berusaha memberikan motivasi pada diri saya sendiri. Sempat terasa lebih baik setelah berobat tradisional, saya sempat belum bisa main maksimal lagi.
Namun di satu sisi cedera itu membuat saya bisa fokus kuliah. Cedera membuat kuliah akhirnya bisa diselesaikan. Sebelumnya aktivitas bersama Persija dan timnas memang membuat kuliah terganggu. Beruntung saya bisa selesai kuliah 4 tahun dengan segala kesibukan yang ada.
Lulus kuliah berarti saya mewujudkan cita-cita ayah saya. Setelah lulus kuliah saya diterima di sekolah Perwira Militer dan kebetulan penempatannya di Angkatan Laut. Itu artinya giliran cita-cita saya yang terwujud: masuk Korps Marinir. Dengan saya yang juga berhasil jadi pesepakbola nasional, itu artinya semua keinginan saya termasuk keinginan orang tua saya semuanya berhasil capai. Semuanya terwujud di Jakarta.
Masuk militer dan berstatus anggota TNI sebenarnya membuat saya tidak bisa leluasa menentukan pilihan kala berkarier di sepakbola. Saya tidak bisa memenuhi panggilan timnas yang berlaga di SEA Games 1991, di mana Indonesia berhasil meraih emas, karena harus menyelesaikan pendidikan militer. Panggilan timnas baru bisa saya penuhi setelah saya lulus pendidikan militer pada akhir 1991, ketika itu timnas dilatih Anatoli Polosin.
Polosin tahu betul kalau saya pemain versatile. Pelatih asal Rusia itu memperkenalkan saya pada posisi yang sebelumnya belum pernah saya mainkan sekalipun: gelandang bertahan dan bek kiri. Saya belum pernah jadi pemain bertahan. Kaki kiri saya juga tidak bagus. Tapi saya menikmati itu dan tidak mengeluh selama itu semua demi kebutuhan tim.
Dengan bisa bermain di segala posisi itulah saya jadi pemain inti di timnas dari 1992 sampai 1995. Ivan Toplak yang jadi penerus Polosin juga mengandalkan saya di posisi yang lebih bertahan.
Kelebihan saya itu ternyata mendapatkan perhatian dari salah satu klub Malaysia. Antara musim 1992-93, mereka secara terang-terangan menginginkan saya bermain di Liga Malaysia. Karena status saya sudah anggota TNI, dan saya tetap ingin terus menjadi anggota TNI, akhirnya klub tersebut mengajukan surat kepada Panglima. Alhamdulillah, Panglima mengizinkan saya bermain di Malaysia dengan memberikan cuti tanpa tanggungan negara selama setahun.
Saya berkarier di luar negeri, bermain bersama ATM FA Kuala Lumpur. Waktu itu sebuah hal yang luar biasa karena tidak banyak kesempatan untuk pemain Indonesia main di luar negeri. Di Indonesia sendiri belum banyak pemain asing. Jadi buat saya itu prestasi tersendiri.
Hanya satu tahun saya bermain di Malaysia. Sebetulnya klub saya itu meminta perpanjangan kontrak alias meminta saya tetap bertahan. Tapi karena saya seorang Perwira, semuanya tetap harus atas izin Panglima. Ketika itu Pimpinan TNI AL sendiri memang hanya memberikan izin cuti selama satu tahun. Walau hanya setahun, bermain di sana jadi pengalaman luar biasa juga karena saya dituntut jadi pemain asing di negara orang, yang artinya punya tanggung jawab lebih dan itu membuat saya berlatih semakin keras lagi.
Dari Malaysia kembali ke Persija. Kemudian saya ingin mencari tantangan baru dengan hijrah ke Persikota Tangerang yang waktu itu bermain di Divisi II. Selain memang tidak bisa jauh-jauh dari Jakarta karena kewajiban saya sebagai anggota TNI, di Persikota sendiri diperkuat oleh teman-teman setim yang sebelumnya main di Divisi Utama ataupun Galatama yang memang ingin sama-sama membangun sebuah tim yang solid. Alhamdulillah tidak menunggu waktu terlalu lama, musim pertama juara Divisi II dan tahun berikutnya juara Divisi I sehingga bisa promosi ke Divisi Utama.
Tapi promosinya Persikota ke Divisi Utama menjadi penanda akhir karier saya sebagai pemain. Saya mengalami cedera parah kedua. Jika sebelumnya saya cedera lutut sebelah kanan, ketika itu giliran lutut kiri saya yang mengalami cedera parah. Cedera itulah yang menutup karier saya sebagai pemain dan memutuskan untuk pensiun dengan rasa frustrasi.
Bersambung....
Baca juga: Curhat Rahmad Darmawan Tentang Kegagalan di Tahun 2018
Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait maraknya pemain asing yang dinaturalisasi pada video di bawah ini:
Komentar