Meski menutup karier sepakbola dengan rasa frustrasi karena cedera, saya bersyukur bisa terus berkarier di sepakbola dengan menjadi pelatih. Kebetulan saya lulusan fakultas olahraga yang memang jurusannya kepelatihan.
Tapi setelah lulus akademi militer tahun 91 pun saya sudah mulai belajar melatih, waktu itu jadi asisten pelatihnya Om Harry Tjong di Bank Indonesia. Saya juga melatih teman-teman di PS Mahasiswa Jakarta dan PS Angkatan Laut Jakarta. Jadi sebelum pensiun sudah punya pengalaman melatih di klub-klub amatir dan klub Galakarya (Bank Indonesia). Pengalaman itu memberikan suatu kepercayaan diri bahwa saya bisa melatih.
Kebetulan juga ketika saya cedera ditawari Persikota untuk mendampingi Andi Lala, menjadi asisten pelatih beliau. Sertifikat melatih saya sendiri masih S3 ketika itu.
Selain Andi Lala saya juga sempat jadi asisten pelatih Bang Sutan Harhara dan Henk Wullems di Persikota. Di kepelatihan keduanya ini saya sempat jadi pelatih kepala ketika mereka pindah di tengah musim. Di era ini juga Persikota mulai dijuluki "Bayi Ajaib". Tim ini memang luar biasa spektakuler. Dari divisi bawah tim ini bisa menembus babak 8 besar bahkan semifinal Divisi Utama pada 2000.
Baru tahun 2004 saya jadi kepala pelatih Persikota sejak awal musim. Hanya setahun, tapi sekaligus juga akhir dari karier saya yang sudah cukup lama bersama Persikota karena saya memutuskan untuk merantau.
Perantauan saya sebagai pelatih dimulai dengan melatih Persipura Jayapura. Tapi mungkin saya saat itu ada di satu tempat yang tepat, waktu yang pas dan momentum yang pas juga.
Waktu itu ada banyak sekali pemain potensi dari Tim PON Papua; Boaz Solossa, Korinus Fingkreuw, Christian Warobay, Ian Kabes, itu nama-nama yang baru pertama kali main di Divisi Utama. Mereka saya kolaborasikan dengan pemain rekrutan saya seperti Marwal Iskandar, Jendri Pitoy.. Ada juga pemain senior seperti Jack Komboy.. Eduard Ivakdalam.,.
Meski sukses dengan berhasil jadi juara, saya hanya setahun di Persipura. Sebetulnya saya ingin memperpanjang kerja sama bersama Persipura. Tapi karena saya masih dalam keterikatan dengan dinas, kedinasan menginginkan saya kembali ke Jakarta. Saya tidak bisa menolak sehingga saya kembali ke Jakarta dan melatih Persija Jakarta.
Di Persija saya gagal. Kemudian saya gabung Sriwijaya FC setahun kemudian. Waktu itu oleh manajemen ditargetkan masuk 8 besar karena akan terjadi penggabungan dua wilayah yang masing-masing wilayah diisi 16 tim. Kalau peringkat 8 ke bawah bakal turun ke Divisi I. Tapi tahun itu justru tahun yang luar biasa.
Pertama-tama kami juara Copa Indonesia dulu. Satu bulan kemudian baru juara di Liga Indonesia. Ini double winner pertama di Indonesia, jadi sejarah. Keberhasilan ini membuat kontrak saya diperpanjang hingga tiga tahun.
Keberhasilan itu membuat saya berpengalaman menghadapi klub-klub besar di Liga Champions Asia seperti Gamba Osaka, Seoul FC, dan Shandong Luneng. Tapi di sisi lain, ikut tiga kompetisi dengan materi pemain yang tidak begitu banyak, sulit untuk bersaing di semua kompetisi. Itulah yang bikin kami gagal juara Liga Indonesia tapi berhasil mempertahankan gelar juara Copa Indonesia. Bahkan meski gagal lagi di liga musim berikutnya, kami berhasil meraih gelar juara Copa Indonesia untuk ketiga kali berturut-turut. Meraih tiga gelar Copa Indonesia juga jadi rekor di Indonesia. Arema sebetulnya bisa meraih rekor itu, tapi waktu ketemu di final 2010 mereka kami kalahkan.
Tiga tahun kontrak di Sriwijaya FC akhirnya selesai pada 2010. Satu trofi liga dan tiga trofi Copa Indonesia berhasil jadi catatan emas.
Kembali ke Persija, untuk kedua kalinya sebagai pelatih, saya alami momen yang sulit dilupakan. Saya kecewa karena target saya waktu itu paling tidak runner-up (Persipura juara beberapa pekan sebelum musim berakhir). Runner-up sudah di tangan sampai pekan terakhir. Poin kami sama dengan Arema. Selisih gol waktu itu kami sudah unggul empat gol setelah kami mengalahkan PSPS Pekanbaru di Senayan dengan skor 4-1.
Tapi ternyata Arema yang menghadapi PKT Bontang menang dengan skor 8-0 di Bontang. Akhirnya kami harus puas menempati urutan ketiga, gagal ke AFC Cup 2012, karena kalah selisih gol dari Arema (selisih 3 gol). Saya kecewa sekali. Kecewa sekali.
Setelah itu timnas mulai melirik saya untuk menangani tim di SEA Games 2012. Ambisi saya kuat dengan kualitas pemain-pemain yang saya panggil: Kurnia Meiga, Ferdinan Sinaga, Titus Bonai, Patrich Wanggai, Andik Vermansah, Ramdani Lestaluhu, sampai Diego Michiels. Pemerintah dan PSSI juga punya keinginan kuat untuk kembali juara.
Kami mengawalinya dengan baik bahkan sampai babak final. Tapi pada akhirnya ini jadi satu hal yang menyedihkan sekali karena kita kalah dari tim saingan kita, Malaysia, melalui satu pertandingan yang dramatis. Adu penalti.
Jujur itu pertandingan yang menguras fisik dan pikiran. Karena pertandingan itu juga saya akhirnya tahu kalau psikologi itu penting dalam membangun sebuah tim sepakbola, membangun mentalitas. Yah.. pengalaman itu membuat saya tidak bisa tidur tiga hari. Rasanya sudah di depan mata kita bisa juara tapi harus sirna.
Sebenarnya saya sempat ditunjuk jadi pelatih timnas senior setelah kegagalan dari Malaysia itu. Saya ditunjuk untuk jadi pelatih Indonesia Selection. Tapi ketika itu sedang terjadi konflik federasi. Timnas pun ada timnas yang lain. Saya juga tidak boleh memanggil pemain dari kompetisi tertentu dan sebagainya. Situasi ini yang membuat saya mengundurkan diri dari timnas untuk kembali menangani klub.
Destinasi berikutnya adalah Pelita Jaya. Saya bekerja dengan Coach Djajang Nurjaman sebagai asisten pelatih. Tugas ini terbilang berat karena dua musim sebelumnya Pelita hampir degradasi. Saya sendiri baru jadi pelatih Pelita setelah Pelita melakoni delapan pertandingan.
Tapi alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan untuk merombak tim di putaran kedua sehingga saya bisa mendatangkan beberapa pemain yang berpotensi bisa mendongkrak prestasi. Terbukti kami waktu itu berada di papan atas di akhir kompetisi, tepatnya di urutan keenam.
Musim berikutnya Pelita merge dengan Arema. Saya `hijrah` ke Arema untuk musim 2012/13. Arema ini menjadi satu tantangan yang hebat karena saya menangani sebuah tim dengan fanatisme penonton yang dari dulu selalu saya idolai. Arema mempunyai organisasi suporter yang sangat kreatif, menyanyi sepanjang pertandingan, dari menit pertama sampai akhir. Mereka kompak dan itu mereka buktikan di stadion selama saya di sana.
Selain di Arema, tahun 2013 juga saya dipanggil lagi oleh Timnas untuk menghadapi Islamic Solidarity Games (ISG) dan SEA Games. Jadi ketika itu saya melatih timnas sekaligus melatih Arema. Timnas pun cukup berprestasi. Tapi entah kenapa saya selalu kalah di final. Mengalahkan Arab Saudi di semi-final tapi kalah dari Turki di final ISG. Di SEA Games kami balas kekalahan dari Malaysia, juga lewat adu penalti, tapi lagi-lagi kalah di final, kali ini oleh Thailand.
Saya inget banget gara-gara kekalahan-kekalahan itu saya dapet SMS dari salah satu pengurus klub di Jawa Timur, dia bilang: "Seperti nama jenengan, cocok dengan pencapaian jenengan tahun ini. RD: Runner-up Doang." Hahaha. Bener juga memang, tahun 2013 itu tahunnya runner-up buat saya, karena Arema juga runner-up. Tapi gimanapun saya harus bersyukur karena itu bukan sesuatu yang jelek juga.
Setelah itu saya menangani Persebaya yang sekarang jadi Bhayangkara FC. Saya hanya mampu jadi juara wilayah timur. Gagal di 8 besar karena waktu itu ada 9 pemain inti saya yang dipanggil timnas yang sedang menyiapkan diri untuk Asian Games dan Kualifikasi Piala Dunia.
Di timnas senior ada Jendri Pitoy, Ricardo Salampessy, Hasyim Kipuw, dan Greg Nwokolo sementara di Asian Games ada Manahati Lestusen, Fandi Eko Utomo, Dedi Kusnandar, Alfin Tuasalamony, dan Novri Setiawan. Jelang babak 8 besar, dari 9 pemain ini, 8 pemain cedera. Ini yang bikin saya sulit sekali selama babak 8 besar karena kami bermain minus 8 pemain inti.
Tahun 2015 saya kembali ke Persija. Tapi waktu itu terjadi bencana, kompetisi harus terhenti. PSSI dibekukan.
Waktu itu banyak temen-temen pelatih yang menghubungi saya, masih lewat BBM (Blackberry Messenger) waktu itu, untuk bisa diwakilkan suaranya, untuk memberikan masukan kepada pemerintah, tolonglah jangan menghentikan kompetisi. Saya juga sempet ikut-ikutan demo ketika itu. Tapi sebenarnya saya tidak membela siapapun. Saya hanya membela temen-temen pelatih.
Dalam situasi tersebut ada kesebelasan Malaysia yang menginginkan saya, T-Team Terengganu. Mereka ini tiga kali mengirimkan surat pada saya. Tapi tiga kali juga saya ditolak karena status saya sebagai Anggota TNI.
Setelah penolakan ketiga itu saya mulai berpikir, ini kesempatan saya untuk terus melatih dan melatih di luar negeri. Saya harus memilih. Pilihan saya harus mengorbangkan salah satu. Saya tanya pada diri saya sendiri, "Passion kamu di mana sekarang?".
Setelah dipertimbangkan matang-matang dan saya banyak diskusi dengan istri dan keluarga. Setelah saya yakin bahwa sepakbola adalah passion saya, akhirnya saya Bismillah untuk pensiun dini dari militer dengan masa bakti saya yang sudah 24 tahun dan melanjutkan karier di Malaysia.
Bersambung...
Baca juga kisah lain dari Rahmad Darmawan:
Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait maraknya pemain asing yang dinaturalisasi pada video di bawah ini:
Komentar