Setiap sutradara butuh aktor untuk memainkan peran, sehingga tercipta hasil sinematografi yang diinginkan. Setiap pengatur skor butuh pemain, wasit, dan tak jarang administrator kesebelasan agar skor akhir sesuai harapan.
Ada dua jenis pengaturan pertandingan (match-fixing): (1) Arranged match-fixing, bertujuan memberi salah satu tim yang bertanding keuntungan; (2) gambling match-fixing, bertujuan mendapatkan keuntungan dari pasar taruhan tanpa peduli terhadap klub yang bertanding.
Keduanya merupakan borok dalam dunia olahraga. Bagaimanapun, penyakit ini nampak terus memenangi pertempuran. Seandainya tidak bertambah banyak, mereka akan tetap muncul di waktu dan lokasi berbeda.
Declan Hill dalam The Insider`s Guide to Match-Fixing in Football menjelaskan bahwa (berdasarkan urutan) administrator tim, pemain, dan wasit adalah sasaran empuk para pengatur skor untuk mengambil peran kotor ini. Pertanyannya: kenapa sportivitas yang seharusnya menjadi kode moral dasar permainan bisa diperjual-belikan?
Jawaban paling umum adalah uang. Hampir seluruh pengemban peran mendapatkan hadiah berupa uang sebagai bentuk terima kasih.
Dalam salah satu kasus pengaturan skor di Liga Indonesia terbaru (yang berhasil diungkap), wasit Nurul Safarid terbukti menerima imbalan uang. Dia dibayar 45 juta rupiah untuk memenangkan Persibara Banjarnegara ketika melawan Persekabpas Pasuruan dalam pertandingan Liga 3 2018.
Pemain yang terjangkit borok ini pun mendapatkan imbalan serupa. Kiper adalah posisi yang paling rawan sekaligus rutin ditawari `uang jajan tambahan`, disusul oleh pemain bertahan. Gelandang dan penyerang tidak terbebas dari tawaran itu, sekalipun bukan prioritas para pengatur skor.
Baca juga: Bagaimana Cara Mafia Menjalankan Match-Fixing?
Peran Aktif dan Pasif Federasi atas Pengaturan Skor
Manusia telah diajarkan konsep reward and punishment sejak kecil. Sebagaimana bocah dibelikan mainan jika mampu mendapatkan nilai tinggi dalam ujian, (kurang lebih) seperti itu juga para dewasa memproses sebuah peluang. Mulai tentang pekerjaan hingga percintaan. Mereka akan rela melakukan sesuatu jika upaya dan pengorbanannya mendapatkan ganjaran seimbang.
Khusus dalam hal pengaturan skor, ada banyak hal yang dipertimbangkan sang aktor. Kariernya bisa habis jika ketahuan. Kredibilitasnya sebagai manusia pun turut hilang. Oleh sebab itu, tentu dibutuhkan jumlah uang yang sepadan.
Semakin tinggi pamor pemain, maka semakin tinggi pula imbalannya. Risiko terungkap juga lebih potensial jika dilakukan di event besar yang disorot oleh hampir seluruh belahan dunia. Inilah alasan para pengatur skor lebih senang bermain di pertandingan `kecil`. Pengawasannya rendah, biayanya lebih murah.
Terdapat tiga penyebab utama pengaturan skor bisa sampai terjadi: (1) organisasi kriminal dan judi ilegal, (2) individu yang rentan, dan (3) lemahnya pemimpin dari organisasi olahraga. Dalam kasus pengaturan skor sepakbola nasional, penyebab terakhir nampak paling berperan (Tak, M., Sam, M. P., & Jackson, S. J., 2018).
Federasi (PSSI) seharusnya menjadi palang pintu utama pengaturan skor. Nahas. Sebanyak 11 dari 16 tersangka yang ditetapkan Satgas Anti-Mafia Bola justru berasal dari lingkaran Senayan/Kuningan/Kemang.
Keengganan federasi menindak tegas para pelaku pengaturan skor bisa didasari oleh beberapa alasan. Salah satunya sudah jelas: otaknya adalah anggota mereka sendiri. Wasit Nurul Safarid mendapatkan uang langsung dari anggota EXCO PSSI, Johar Lin Eng, dan mantan Komisi Wasit, Priyanto.
Alasan lain karena demi `melindungi` keberlangsungan industri itu sendiri. Industri olahraga hidup oleh sebab ketertarikan pasar terhadap ketidakpastian dan hasil akhir sebuah pertandingan, dalam kerangka sportivitas, ditambah bumbu loyalitas. Mengatur skor sama saja mengkhianati seluruh aspek tersebut.
Kasus pengaturan skor, apalagi dilakukan oleh sang regulator, jelas harus ditutup rapat. Mereka bisa kehilangan banyak sponsor untuk membuat bola (dan angka di rekening) berputar. Padahal, tanpa ada kasus pengaturan skor saja nafasnya sudah megap-megap.
Federasi boleh berkelit. Tidak seluruh anggotanya merupakan penjahat. Kode Etik yang mereka buat juga dengan jelas melarang para pemain, wasit, dan official klub untuk melakukan pengaturan skor. Jadi, jika ada yang tergiur dengan suap, maka kembali lagi ke individu masing-masing.
Tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih banyak tidak benarnya. Dua penyebab pengaturan skor lain yang telah disebutkan di atas memang berada di luar kuasa federasi. Bagaimanapun, mereka memiliki peran pasif yang menyebabkannya dapat merajalela.
Pemain umumnya bersedia turut mengatur skor karena faktor kesejahteraan. Di Indonesia, entah sudah berapa banyak kasus klub terlambat membayar gaji.
Federasi jelas berkuasa dan sangat mampu mengatasi tersebut. Namun, jangankan memperketat regulasi, memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera bagi para pengurus klub pun tidak (PSIM Yogyakarta hanya disanksi pengurangan sembilan poin setelah kasus ini dibawa ke FIFA).
Jika mau dilihat lebih teliti, lagi-lagi federasi memiliki peran atas kasus keterlambatan gaji yang kronis ini. Ketidakmampuan federasi dalam menunjuk operator yang kompeten menyebabkan tunggakan subsidi bagi klub terus berulang.
Sebanyak 2,5 miliar rupiah dari total 7,5 miliar rupiah untuk subsidi Liga 1 2018 belum dibayarkan PT Liga Indonesia Baru ke klub. Bahkan, Sriwijaya FC mengaku belum mendapatkan dana peringkat akhir dan rating Liga 1 2017.
Untungnya, PSSI telah mendapatkan bantuan sebesar 40 ribu dolar Amerika Serikat (sekitar 569 juta rupiah) dari FIFA untuk menciptakan National Dispute Resolution Chamber (NDRC) pada 2017. NDRC adalah badan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa antara pemain dan klub. Dengan bantuan dana sebanyak itu, tentu seharusnya tidak sulit bagi PSSI untuk segera merealisasikan NDRC, yang sudah ngaret satu tahun dari perencanaan awal.
Jika keukeuh pengaturan skor lebih banyak disebabkan faktor eksternal, misalnya bandar judi luar negeri (gambling match-fixing), bukan berarti federasi tidak berdaya. Pelbagai negara sudah bekerja sama dengan Interpol untuk mengatasi penyakit global ini.
PSSI sendiri telah memunculkan wacana bekerja sama dengan Interpol sejak Djohar Arifin masih menjabat sebagai ketua umum pada 2013. Hasilnya? Nihil, hanya sebatas retorika.
Tegaknya Regulasi adalah Kunci
Tuhan bisa menjadi `Tuhan` karena (digambarkan) sempurna; Sang Maha. Pemerintah bisa menjadi pemerintah karena (dipercaya) kompeten. Federasi bisa menjadi federasi karena (seharusnya) punya kredibilitas.
Federasi memang sebenarnya `bermain Tuhan` dalam dunia sepakbola nasional. Merekalah sang pencipta (peraturan) sekaligus penghakim (pelanggaran statuta, kode etik, dan regulasi). Namun siapa yang takut neraka jika `Tuhannya` tidak tegas?
Segenap warga Indonesia yang budiman seharusnya tidak merasa asing dengan istilah Sepakbola Gajah (Persebaya Surabaya vs Persipura Jayapura dalam Divisi Utama Perserikatan 1987/99, Indonesia vs Thailand di Piala Tiger 1998, PSS Sleman vs PSIS Semarang dalam babak 8 besar Divisi Utama 2014). Jika dimasukkan dalam kategori, maka Sepakbola Gajah termasuk arranged match-fixing.
Meski tidak ada perputaran uang, Sepakbola Gajah adalah bentuk pengkhianatan terhadap tujuan dalam sebuah permainan: kemenangan. PSSI (seperti biasa) gagap dalam menunjukkan ketegasannya.
Sebanyak 37 dari 47 pelaku Sepakbola Gajah antara PSS vs PSIS dibebaskan dari sanksi oleh PSSI, hanya tiga tahun setelah hukuman dijatuhkan. Hal itu diberikan tanpa menjelaskan alasan yang utuh kepada publik.
PSSI tidak bisa membiarkan efek domino dari ketidakpercayaan dan kecurigaan terus berlanjut. Dibutuhkan ketegasan penegak regulasi untuk mencegah terjadinya pengaturan skor. Jika seluruh tanggung jawab dan kewajiban telah dijalankan dengan baik, baru mereka boleh menunjuk pihak lain sebagai biang keladi.
Referensi:
Jackson, S., Sam, M., Tak, M. (2018) The problems and causes of match-fixing: are legal sports betting regimes to blame? Journal of Criminological Research, Policy and Practice, https://doi.org/10.1108/JCRPP-01-2018-0006
Simak penjelasan Rochy Putiray tentang ciri-ciri pemain yang terlibat pengaturan skor:
Komentar