Sewajarnya sepakbola disebut drama terbaik. Akhir ceritanya acap tak terduga. Peluit penanda berakhirnya pertandingan bisa jadi bukan penutup lakon sepakbola. Dramanya tidak hanya terjadi di dalam lapangan, tetapi juga di luar gelanggang.
Sepakbola mengenal protagonis, antagonis, hingga pemeran pembantu yang membangun fragmen-fragmen cerita. Penonton boleh dengan bebas menentukan siapa tokoh baik dan jahat. Sesukanya saja.
Fabio Grosso menerima bola di sisi kanan pertahan Australia. Ia lantas menggiring bola, dibayangi Mark Bresciano yang berusaha menghadangnya. Bresciano terjatuh. Grosso semakin dekat ke gawang Australia, masih dengan bola di kakinya. Lucas Neill melayangkan tekel untuk mencuri bola. Neill berhasil. Tanpa menyentuh Grosso pula. Namun Gli Azzuri malah mendapat penalti. Francesco Totti maju mengambil penalti. Gol. Italia lolos ke perempat final Piala Dunia 2006.
Saat itu Grosso menjadi antagonis bagi tim asuhan Guus Hiddink. Namun bagi (pendukung) Italia, bek kiri Palermo itu pahlawan. Di sepakbola Italia, sampai batas tertentu, bermain tidak sportif untuk menang merupakan seni tersendiri. Namanya fubrizia. Sepakbola memang tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
Sepakbola dan seni tak terpisahkan. Fubrizia hanya satu dari sekian banyak seni di sepakbola. Beberapa contoh lainnya: menggiring bola lalu mengelabui dua hingga tiga pemain, umpan akurat dari jarak yang jauh, serta tendangan bebas mulus melewati pagar betis dan bersarang di gawang. Seni pula yang membuat drama sepakbola lebih terasa.
Sepakbola bisa lebih dramatis dari film karena para penontonnya intim dengan sebuah tim, bahkan dengan situasi pertandingan itu sendiri. Jangan heran melihat seorang pendukung Brasil bersedih sejadi-jadinya ketika tim nasional mereka ditaklukkan Jerman 1-7 di Piala Dunia—di semifinal pula—di depan mata mereka sendiri.
Tak perlu jauh-jauh mencari contoh di Brasil. Masyarakat Indonesia juga punya unconditional love terhadap Tim Nasional Indonesia. Tak sedikit yang menitikkan air mata saat Indonesia (berkali-kali) takluk di final Piala AFF. Padahal kejuaraan ini tidak terlalu bergengsi di mata FIFA.
Sepakbola menjadi lebih dramatis karena setiap kesebelasan, baik kesebelasan negara maupun kesebelasan daerah, memiliki ikatan dengan para pendukungnya. "Dalam hidupnya, seorang pria bisa berganti istri, partai politik, atau agama tapi ia tidak akan mengganti tim yang ia dukung." Begitu tulis Eduardo Galeano, sastrawan termahsyur Uruguay, dalam Soccer in Sun and Shadow.
Dari drama dalam sepakbola bisa didapat judul-judul yang tak akan lekang dimakan zaman. Dari 10 Gol di Hampden Park (1960), Antiklimaks Duel Sepakbola Menyerang (1970), Zidane-Henry vs Figo-Nuno (2000), Dua Pahlawan dari Bangku Cadangan (1999), hingga Malam di Istanbul (2005) pantas diberi label drama terbaik sepanjang sejarah.
Academy Of Motion Picture Arts And Sciences pertama kali menyerahkan Piala Oscar pada 16 Mei 1929. Pemberian penghargaan tidak disiarkan. Jumlah tamunya hanya 270 orang. Sekarang, Academy Awards selalu mendapat sorotan dari seluruh dunia. Piala Oscar sudah menjadi penghargaan bergengsi. The Shape of Water (2017), Spotlight (2015), The Hurt Locker (2009), dan Gone with the Wind (1939) adalah beberapa film yang pernah meraih penghargaan ini.
Jika pertandingan sepakbola masuk dalam nominasi Academy Awards, para juri pasti kelimpungan menentukan pemenangnya. Mereka harus menyeleksi sangat banyak pertandingan di setiap pekannya. Mempertimbangkan satu pertandingan dan mengabaikan yang lain adalah tindakan yang tidak bisa diterima. Setiap pertandingan menyimpan potensi drama.
Komentar