Pertengkaran antar pemain di atas lapangan merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Biasanya pemain dari kesebelasan bertengkar dengan pemain dari kesebelasan lawannya. Namun yang tidak biasa adalah jika perkelahian terjadi antar pemain dari kesebelasan yang sama. Salah satu pertengkaran antar pemain satu kesebelasan adalah kasus dua gelandang Newcastle United, Kieron Dyer dan Lee Bowyer.
Pertandingan antara Newcastle dan Aston Villa pada pekan ke-30 Liga Primer Inggris musim 2004/05 merupakan pertandingan yang akan terus membekas di ingatan pendukung Newcastle manapun. Wajar saja, Newcastle yang saat itu tertinggal 3-0 dari Villa harus bermain dengan delapan pemain karena insiden tak terpuji.
Pada menit ke-73, bek Newcastle, Stephen Taylor, diusir dari lapangan karena melakukan handsball. Tak lama berselang, Bowyer meminta bola dioper kepada rekannya, Dyer. Akan tetapi, Dyer enggan memberikan bola tersebut kepada Bowyer. Tak lama setelah itu, Bowyer kembali meminta bola kepada Dyer dan lagi-lagi Dyer mengopernya kepada pemain lain.
“Kamu tidak pernah mengoper bola padaku!” ujar Bowyer kesal. Dyer pun lantas menghina Bowyer dengan kata kasar. “Alasan aku tidak mengoper padamu adalah karena kau adalah keparat,” umpat Dyer. Bowyer yang kesal pun bertanya balik kepada Dyer, “Kau apa?” dan Dyer berkata, “Apa kau tidak dengar?”
Dyer merasa bahwa Bowyer akan mendorongnya atau meraih kerah bajunya. Akan tetapi Bowyer malah menghujani Dyer dengan pukulan. “Kau harus angkat beban karena itu tidak sakit,” kata Dyer. Baku hantam pun tak bisa terelakkan dan mereka dipisahkan oleh sejumlah pemain dari kedua kesebelasan.
Kemudian wasit mengeluarkan kartu merah kepada mereka berdua dan mereka pun terpaksa harus keluar lapangan.
Pertengkaran pun berlanjut di ruang ganti. Dyer menunggu Bowyer di lorong pemain untuk membalas pukulan-pukulan yang dia terima, tetapi Bowyer tak kunjung datang. Tak lama setelah peluit akhir dibunyikan, Bowyer bersama bek tengah, Jean-Alain Boumsong, menghampiri Dyer di ruang ganti.
Para pemain Newcastle yang lain pun mengerubungi mereka. “Jika kalian ingin berkelahi, berkelahilah sekarang,” ucap Boumsong. Kemudian manajer Newcastle saat itu, Graeme Souness, memasuki ruang ganti dan berteriak, “Jika kalian berdua ingin berkelahi, aku akan berkelahi dengan kalian berdua!”
Souness yang kesal, memarahi dan memberitahu mereka bahwa mereka tidak akan diturunkan pada laga semifinal Piala FA menghadapi Manchester United.
Semenjak kejadian tersebut, Dyer memperbaiki hubungannya dengan Bowyer. “Aku masih bertemu dia sekarang, kita adalah teman. Begitulah Lee. Tapi aku masih ingin mengalahkannya,” ujar Dyer sembari bercanda seperti dilansir Chronicle Live.
“Kesebelasan memang mencoba mengajukan banding atas kartu merahku dan aku pikir aku benar-benar tidak bersalah, sungguh, dalam insiden itu. Nah, setelah mengatakan itu, jelas aku memang memberitahunya bahwa aku pikir dia keparat dan itulah alasan aku tidak memberikan bola kepadanya. Kemudian Lee disalahkan jadi aku merasa kasihan padanya. Itu hari yang gila!” kenang Dyer.
“Itu adalah momen kegilaan. Semua orang menyesal setelah itu. Tapi kita adalah pemenang. Ketika Anda bermain sepakbola, Anda harus seperti itu. Anda harus ingin menang. Terkadang Anda bertindak kelewat batas dan seperti itulah yang terjadi pada hari itu. Aku yakin jika kami menang 3-0, itu tidak akan pernah terjadi,” ucap Bowyer pada jumpa pers jelang laga menghadapi United seperti dilansir Daily Star.
“Dyer adalah anak baik. Aku menemuinya di lapangan golf milik Sir Bobby [Robson]. Kemudian kami minum bir bersama dan tertawa,” kata Bowyer. Kendati sudah saling memaafkan, Souness tetap tidak memainkan Dyer dan Bowyer pada laga Piala FA berikutnya yang dimenangi Man United dengan skor 4-1 sebagai hukuman akibat ulah mereka.
Dyer memang mengungkapkan bahwa dirinya tidak menyukai Bowyer. Menurut pemain yang mengecap 33 penampilan bersama Tim Nasional Inggris tersebut, Bowyer adalah sosok yang temperamental.
“Bow memang memiliki temperamen buruk. Dia cukup santai dalam banyak hal, tetapi begitu dia pergi, dia benar-benar pergi. Kadang-kadang, amarahnya mendidih, dan ketika dia melakukannya, Anda hanya harus mundur dan menonton pertunjukan,” ujar Dyer melalui buku otobiografinya.
Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya
Dyer memang dikenal dengan sosoknya yang kontroversial. Perilakunya yang gemar berjudi dan sering mengunjungi klub hiburan malam adalah sesuatu yang melekat dalam diri pemain didikan Ipswich Town tersebut.
Wajar saja, kehidupannya yang keras membentuk karakternya hingga dia menjadi seperti yang kita kenal. Kieron Courtney Dyer lahir di Ipswich pada 29 Desember 1978.
Ketika masih kecil, dirinya pernah mengalami pelecehan seksual. Kemudian pada saat bermain di tim junior Ipswich Town, Dyer pernah menjadi sasaran perundungan rekan-rekan satu kesebelasannya.
Ayahnya, Charlie Dyer, juga merupakan pesepakbola liga amatir yang seringkali terlibat perkelahian. Pada laga liga amatir, ayahnya pernah mengancam pemain lawan dengan sebilah pisau. Tak ayal jika dirinya mewarisi sifat ayahnya tersebut.
“Ayahku adalah pecundang yang buruk dan sikap ayahku ketika kesebelasannya kalah adalah bahwa itu bukan kesalahannya; selalu salah orang lain. Tapi seiring bertambahnya usia, aku menyadari bahwa ayahku memiliki reputasi di sekitar Ipswich dan Anda tidak main-main dengan Charlie Dyer. Aku menggunakannya untuk keuntunganku dalam beberapa goresan yang kualami. Itu membuatku keluar dari masalah beberapa kali,” ujar Dyer pada sesi wawancara bersama GQ Magazine.
Pada saat keluarganya tahu bahwa Dyer mengalami pelecehan seksual, ayahnya sampai ingin mencari dan membunuh lelaki yang berbuat macam-macam terhadap putranya tersebut. Akan tetapi emosi ayahnya dapat diredam dan menyadari dampak dari perbuatan tersebut.
“Aku bisa melihat mengapa orang tidak berbicara tentang pelecehan. Pada saat itu, aku khawatir ayahku membunuh lelaki itu, tetapi karena aku sudah memberitahukan rahasianya, aku telah melihat efeknya pada keluargaku karena mereka menjadi korban juga. Mereka memiliki rasa bersalah untuk ditangani dan menyalahkan diri sendiri karena tidak melihat tanda-tanda itu. Jadi ini proses yang sulit, tetapi kebenaran lebih baik daripada merahasiakannya,” kata Dyer.
Selama 23 tahun kariernya sebagai pesepakbola, Dyer bermain lebih dari 400 kali untuk lima kesebelasan yang berbeda; yang terlama adalah di Newcastle. Dia berhasil mencetak 51 gol di segala kompetisi.
Selain bermain di level klub, Dyer juga 33 kali membela Tim Nasional Inggris. Setelah pensiun sebagai pemain sepakbola, Dyer sempat mengecap dunia kepelatihan. Sebagai pemain berkulit gelap, Dyer sebenarnya mendapatkan jatah “Rooney Rule” untuk memastikan etnis minoritas memiliki kesempatan untuk menjadi pelatih sepakbola.
Namun pada interviu terakhirnya untuk posisi pelatih level pembinaan di Inggris, ia malah menolaknya. “Aku tak ingin diwawancarai karena itu hanya untuk memenuhi kuota [pelatih dari Rooney Rule],” kata Dyer. Dia berpendapat jika Rooney Rule hanya formalitas semata.
(ham/dex)
Komentar