Oleh: Tedi Kholiludin*
Salah satu saksi hidup Socrates adalah Agora. Mulanya, agora hanyalah “gathering place,” tempat pertemuan umum pada masa Yunani Kuno. Pada perkembangannya ia menjadi “market place.” Tempat umum yang kemudian menjadi pasar. Begitulah kira-kira Agora dipahami secara sederhana. Pasar sudah barang pasti meniscayakan transaksi. Namun, bagi orang Yunani, aspek pasar dari Agora juga menghadirkan fungsi inti dari gathering: berbicara, ngobrol.
Dalam “Socrates in the Agora,” dikisahkan bahwa di tempat itu, orang-orang Yunani bicara banyak hal. Mereka bercakap-cakap tentang politik, kekuasaan, gosip, atau filsafat. Dan situasi tersebut menjadi gambaran pokok dari kaleidoskop bangsa Yunani. Keunggulan Yunani sebagai kota dagang dapat ditemukan di Agora. Kehidupan di Agora begitu lekat dengan Socrates. Kata Xenophon, Socrates selalu terlihat oleh orang banyak; pagi hari ia berjalan di trotoar dan pergi ke tempat olahraga, kemudian tampak di Agora, dan ia selalu berjumpa dengan banyak orang.
Plato merekam peristiwa di mana Socrates menyebut Agora dalam Apologia. Kata Socrates, “jika kalian mendengar aku mempertahankan gagasan dengan bahasa sama yang biasa aku gunakan di mana saja dan di Agora, maka jangan heran dan menjadi gaduh karena itu.”
Socrates yang hidup pada abad kelima hingga keempat sebelum masehi itu merasa nyaman ada di Agora Athena. Kehidupan yang dijalani menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Ia membangun lingkungan yang ideal untuk melayani dan mengkhotbahkan, “kehidupan yang tak pernah diuji, tidak layak dijalani.”
Sebagai ruang publik, Agora juga tempat yang baik untuk membangun rekonsiliasi. Konflik Socrates dengan masyarakat umum ihwal keyakinan terhadap para dewa, dibicarakan di Agora. Masalah administrasi warga Athena serta kehidupan politik ada di Agora. Tempat ini menjadi ruang favorit untuk membicarakan banyak hal.
Kata Plato, banyak diskusi Socrates yang dilakukannya dekat meja, di satu sudut terbuka Agora. Ada juga yang mengatakan bahwa diskusi-diskusi Socrates ia lakukan di toko-toko atau warung di Agora. Tempat berkumpul yang paling disenangi di Agora adalah kios pencukur rambut, toko penjual parfum, dan pedagang bunga.
Meski begitu, Agora pada akhirnya menyandera Socrates dalam ambiguitas. Sebagai tempat berkumpul, Agora menjadi ruang terbuka untuk berbagi pengetahuan dan bisa didesain sebagai arena untuk melakukan propaganda politik. Provokasi yang kemudian diikuti oleh penghakiman, kerap bermula dari Agora. Karena itu pula, bagi Socrates, Agora menjadi seperti “…as nurse of demagogues and bigots that saw his death.”
***
Saya membayangkan stadion sepakbola itu seperti halnya Agora di masa Yunani Kuno. Stadion adalah pasar sekaligus juga ruang berkumpul. Tempat di mana penonton tak hanya menyaksikan sebuah teater yang dipentaskan oleh 22 orang, tetapi juga ada percakapan, obrolan, pujian, dan juga umpatan. Stadion adalah pasar, ruang transaksional, baik tentang yang maya maupun nyata.
Seperti halnya Socrates yang kerap menggugah kesadaran warga Athena di Agora, suara sumbang pengganggu kenyamanan penguasa politik juga tak jarang muncul dari stadion, entah itu terbaca dalam tulisan di spanduk, yel-yel, atau lagu-lagu sindiran. Kelindan antara politik dan sepakbola amatlah kentara. Stadion sepakbola sering menjadi tinanda politik. Kesadaran politik, di beberapa tempat, juga tumbuh di ruang stadion.
Dinamika politik Mesir pada periode 2011-2013 misalnya, juga tak lepas dari hembusan angin protes dari mereka yang ada di stadion sepakbola. Kita tentu masih ingat ketika pada gelaran Piala AFF pada 2010, Stadion Gelora Bung Karno tak hanya sesak dipenuhi penonton, tetapi juga spanduk bernada protes yang menghendaki reformasi PSSI.
Agora, stadion sepakbola, atau bangunan lainnya, merupakan representasi dari, meminjam Durkheim, fakta sosial. Prinsip-prinsip moral dan hukum dipatuhi dan dijalankan di sana. Stadion adalah kesadaran, keyakinan, dan tindakan kolektif. Mengapa demikian?
Sepakbola adalah katalis kuat untuk membentuk identitas sosial. Pertandingan, tim, stadion, atau semua hal yang berhubungan dengan sepakbola, menjadi faktor pengokoh bagi siapapun untuk menyertakan dan merayakan pelbagai identitas, entah itu identitas lokal, profesional, etnis agama atau lainnya (Coelho, 2002).
Stadion sepakbola adalah salah satu tempat di mana identitas sosial itu terekspresikan. Stadion tidak hanya bangunan. Ruang sosial stadion adalah penanda demarkasi struktural yang tegas dengan dunia luar, pemisahan spasial antara peserta aktif dan penonton, tatapan yang menohok pada sentrum serta proses spasial di mana orang banyak bisa dilihat dan secara refleks sadar diri (Frank dan Steets, 2010).
Sebagai sebuah permainan, sepakbola menjadi magnet kuat penarik massa. Meminjam teori klasik dalam studi gerakan sosial, individu-individu yang kemudian menjadi sebuah kelompok itu tentu datang atas dasar pilihan rasional (rational choice) bukan hanya sekadar perilaku kolektif (collective behavior).
Teknologi dan sebaran informasi yang semakin luas, memungkinkan seseorang terus bisa memantau perkembangan tim kesayangannya detik per detik. Siapa rekrutan anyar, jadwal bertanding, kostum yang digunakan, dan lain-lain, bisa dengan mudah diketahui publik. Lalu lintas informasi yang berseliweran ini yang menjadi bekal siapapun yang akan datang ke stadion. Walhasil, ketika pertandingan berlangsung, tak hanya apa yang terjadi di lapangan yang menjadi bahan percakapan tapi juga soal-soal lainnya.
Tak hanya percakapan atau tempat gathering, laiknya Agora, stadion juga pasar (market place). Stadion-stadion di tanah air benar-benar menjadi pasar ketika pertandingan memasuki masa turun minum. Di waktu-waktu itulah pedagang makanan dan minuman sibuk melayani para pembeli. Sembari melahap satu bungkus nasi dan lauknya, mereka berbicara aneka tema; mengulas pertandingan yang baru saja berakhir, memprediksi pemain yang diganti, kemungkinan pergantian pelatih dan seterusnya.
=======
*Tedi Kholiluddin, pegiat masalah sosial dan agama. Menikmati tarkam sebagai kompetisi sepakbola yang sesungguhnya. Kerap "terjebak" menonton koreografi suporter ketimbang pertandingan di lapangan. Saat ini menetap di Ngaliyan, Kota Semarang. Akun Twitter: @tedikholiludin
foto: 21stcenturylibrary.com
ed: fva
Komentar