Oleh: Kiki Esa Perdana
Perkembangan media sosial saat ini sangat signifikan. Bagaimana tidak, berbagai macam informasi bisa dengan mudah kita dapatkan di dalamnya; mulai dari pornografi hingga pendidikan, bahkan dari informasi astronomi hingga kegiatan keseharian pesepakbola.
Selain itu, media sosial pun kerap menyajikan fenomena menarik. Di dalam media sosial, kita dapat berinteraksi langsung dengan idola kita, baik itu pemain film, selebtwit, foto model, penyanyi hingga pemain sepakbola.
Industri sepakbola pun banyak mendapatkan keuntungan dari media sosial. Promosi sponsor tim sepakbola atau liga hingga informasi transfer bisa dengan mudah dan cepat kita dapatkan. Namun, di balik semua hal positif yang sosial media tawarkan, tidak sedikit juga muncul hal negatif dalam ketika menggunakan media sosial. Sudah banyak contoh kasus yang terjadi akibat seseorang yang cenderung kelewatan dalam bermain media sosial.
Ada kasus Adam Johnson, pemain klub Liga Primer Inggris, Sunderland, yang dihukum karena tindakan interaksi seksualnya dengan gadis di bawah umur di media sosial. Selain itu, ada juga Rio Ferdinand yang meng-update status Twitter-nya menggunakan kata-kata kasar. Belum lagi kasus Ashley Cole yang menghina FA (Federasi Sepakbola Inggris) di status Twitter-nya. Sudah banyak pemain yang terkena hukuman akibat perilaku mereka di media sosial.
Dalam hal ini, FA, sebagai induk organisasi sepakbola Inggris, sudah tahu akan hal tersebut sejak jauh-jauh hari. FA pun sudah mengumpulkan jumlah denda sebesar 350 ribu paun, sejak tahun 2011, yang merupakan akumulasi denda dari kasus-kasus yang berhubungan dengan komentar rasis atau seksis di media sosial yang dilakukan pemain atau official klub.
Keseriusan FA ini bisa dibilang membuahkan pelajaran bagi banyak klub di Inggris sendiri. Banyak klub-klub di Inggris sekarang yang memberikan peraturan hingga pelajaran khusus untuk pemainnya tentang bagaimana berperilaku di media sosial. Namun, meski sudah memberlakukan peraturan yang ketat, “kecanggihan” dari media sosial ini pun masih memberikan peluang bagi orang-orang untuk mengeluarkan hate-speech yang berbau seksis atau rasis pada bahasan mengenai sepakbola di media sosial.
Dalam sebuah tulisan berjudul Sport and Social Media Research: Sport Management Review, dijelaskan bahwa new media dalam olahraga, dalam hal ini termasuk juga Twitter, digambarkan sebagai sebuah teknologi interaktif yang memfasilitasi hubungan antara organisasi dan individual, baik antara atlet, klub, official, dan penggemar.
Dalam tulisan lain, The New Hybrid Element of the Promotion Mix, dijelaskan juga bagaimana sosial media menggambarkan perilaku penggunanya. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa spa yang ditulis di media sosial adalah cerminan atau karakter asli dari orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah perihal hinaan di media sosial ini memang besar, dan butuh aturan jelas dan kampanye berkesinambungan dari banyak pihak sehingga para atlet olahraga, termasuk pemain sepakbola, menyadari penuh akan hal ini. Peran serta klub sepakbola sendiri sangat besar, namun terkadang klub mengabaikan hal ini. Peran klub dalam membentuk budaya dan identitas seharusnya memang wajib, karena budaya dan identitas ini secara otomatis akan membentuk budaya dan identitas suporternya.
Beberapa klub besar terlihat sudah mampu membentuk identitas dan budayanya sendiri. Contohnya di Celtic, bagaimana mereka mampu merepresentasikan diri sebagai Irish Community, hingga pendukungnya yang mengklaim diri sebagai a broad front of anti-fascist, anti-racist and anti-sectarian, atau St. Pauli, sebuah klub divisi bawah liga Jerman yang jelas jelas seluruh unsur klubnya mulai dari presiden klub hingga suporternya mengklaim diri melawan fasisme, rasisme, homophobia dan seksisme.
Lalu, bagaimana dengan negara kita? Di Indonesia sendiri sayangnya kasus-kasus “hinaan” terhadap suatu pihak atau komunitas masih kerap terjadi di media sosial. Suporter acap kali saling serang dengan menggunakan isu seksisme atau rasisme dan masih banyak klub di Indonesia yang belum mampu berbuat banyak dan melakukan kampanye atau sosialisasi untuk menghentikan hal ini.
Berbagai macam kajian-kajian akademis atau peraturan mengenai yang dibuat FA yang berhubungan dengan media sosial tersebut menunjukkan bahwa peran media sosial di bidang olahraga sudah masuk pada taraf serius. Kesadaran pemain, pihak klub, dan operator liga di seluruh dunia, sudah seharusnya meningkat mengenai permasalahan lama yang tak kunjung selesai ini.
Sedangkan pada sisi suporter, peran media sosial sepertinya menghilangkan batasan, baik jarak ataupun lokasi, yang selama ini seakan terbentang antara si atlet dengan suporter. Melalui status di media sosial, baik Twitter ataupun Facebook, suporter dapat berinteraksi dengan pemain, meskipun terkadang lebih sering hanya terjadi satu arah.
Isi dari interaksi tersebut dapat berupa apa saja, baik itu hinaan, pujian, kritik, ataupun candaan. Dalam sebuah tulisan berjudul Defining Fan Engagement: The Fan Experience Company, terdapat opini bahwa media sosial turut membantu dan menghantarkan kesetiaan emosional seorang suporter pada klubnya. Kesetiaan emosional ini seharusnya menjadi pelajaran bagi penggemar, bahwa menjadi seorang smart-user adalah hal penting.
Industri sepakbola tidak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi, salah satunya adalah media sosial. Semuanya sudah mendapatkan perannya masing-masing dalam jagad dunia maya. Namun, satu hal penting yang perlu kita semua jaga adalah sebuah harapan bahwa pada akhirnya semua orang, termasuk pesepakbola dan elemen yang terkait di dalamnya, mampu mengerti batasan nilai dan etika saat menerjunkan diri di media sosial.
*Penulis adalah seorang suporter sepakbola dan periset kajian identitas dan budaya. Dapat dihubungi di akun @dumbq_
Komentar