Oleh: Azhar Kharisma
Sebagai salah satu kompetisi antar kesebelasan yang cukup digemari di dunia, Liga Champions Eropa memang seakan tak pernah kehabisan cerita. Bertemunya 32 tim terbaik di Eropa, membuat tidak ada satupun laga yang mampu dengan mudah ditebak hasil akhirnya.
Bahkan, tak jarang kesebelasan-kesebelasan yang sudah punya nama besar maupun tradisi yang bagus dalam ajang ini, harus tumbang saat berhadapan dengan kesebelasan-kesebelasan non unggulan ataupun kuda hitam. Kompetisi yang menyediakan banyak hadiah ini juga pada musim ini akan diikuti oleh dua tim debutan yaitu FC Rostov dari Rusia dan Leicester City dari Inggris.
Namun, Liga Champions Eropa bukan melulu soal menang atau kalah ataupun jumlah uang yang didapat per pertandingannya. Mitos angkernya trofi juara juga seakan menambah deras nafsu para peserta untuk bisa ikut mengangkatnya. Sejak format anyar Liga Champions Eropa digulirkan pada edisi 1993/1994, belum ada satu kesebelasan pun yang mampu memecahkan misteri trofi Liga Champions Eropa.
Konon, ada dua buah mitos kutukan yang kerap terjadi dalam Liga Champions Eropa. Mitos pertama adalah tidak ada kesebelasan yang mampu menjadi juara Liga Champions Eropa dalam dua musim berturut-turut. Mitos kedua adalah belum adanya pelatih non-Eropa yang berhasil mengantarkan timnya meraih gelar juara dalam ajang yang dulunya bernama European Cup ini.
Untuk mitos pertama, mitos ini hampir berhasil dipecahkan oleh beberapa kesebelasan. Setiap juara bertahan biasanya akan gugur dalam Liga Champions Eropa musim selanjutnya. Beberapa kesebelasan yang “nyaris” bisa mempertahankan trofi "si kuping besar" alias trofi Liga Champions adalah AC Milan (1995), Ajax Amsterdam (1996), Juventus (1997), dan Manchester United (2009). Kasusnya pun hampir serupa; mereka semua dikalahkan di partai final, alias hampir selangkah lagi menjadi kesebelasan yang memecahkan mitos tersebut
Berikut ini adalah statistik juara bertahan Liga Champions Eropa sejak musim 1993/1994 hingga 2015/2016. Statistik ini menggambarkan sejauh mana juara bertahan mengarungi Liga Champions Eropa pada musim berikutnya.
Fase Grup | 1x |
16 Besar | 4x |
Perempat Final | 6x |
Semifinal | 7x |
Final | 4x |
Berdasarkan statistik di atas dapat disimpulkan bahwa juara bertahan Liga Champions Eropa sejak berubah format pada musim 1993/1994, mayoritas bisa melaju ke fase gugur. Hanya sekali juara bertahan gagal melaju dari fase grup ke fase gugur yaitu Chelsea pada gelaran 2012/2013.
Selain mitos juara bertahan yang gagal mempertahankan gelar di musim berikutnya, ada juga mitos lain yang kerap terjadi, yaitu pelatih non-Eropa yang gagal meraih gelar juara bersama kesebelasan yang mereka latih sejak 1992 Liga Champions Eropa berganti format. Kebanyakan, gelar Liga Champions Eropa kerap mendarat di tangan pelatih-pelatih asal Eropa.
Untuk mitos ini, sebenarnya mitos ini pun nyaris dipecahkan oleh dua pelatih asal Argentina, yaitu Hector Cuper dan Diego Simeone. Uniknya dua pelatih ini memiliki nasib sama; gagal dalam partai final Liga Champions Eropa sebanyak dua kali berturut-turut. Hector Cuper bersama Valencia gagal dalam partai final oleh Real Madrid pada tahun 1999/2000 serta ketika bersua Bayern Munich pada tahun 2000/2001.
Sementara itu Diego Simeone dua kali gagal dalam partai final oleh lawan yang sama; Real Madrid. Simeone bersama Atletico Madrid yang gagal mencegah Real Madrid meraih La Decima (Gelar ke-10 Madrid dalam ajang Liga Champions Eropa) pada musim 2013/2014 serta La Undecima (gelar ke-11 dalam ajang Liga Champions Eropa) pada musim 2015/2016.
Kini, pertanyaan akan kembali muncul. Mampukah Real Madrid sebagai juara bertahan musim ini akan memecahkan mitos juara bertahana yang telah berlangsung selama 23 tahun tersebut? Hal ini menarik untuk dinantikan dalam perhelatan Liga Champions Eropa musim 2016/2017 ini.
Selain mitos juara bertahan, mitos mengenai pelatih non-Eropa pun cukup menarik untuk diperhatikan. Pada Liga Champions Eropa musim 2016/2017 ini, terdapat tiga pelatih non-Eropa yang turut ambil bagian. Uniknya, ketiga pelatih ini berasal dari negara yang sama; Argentina.
Ada nama Jorge Sampaoli yang menukangi juara bertahan Liga Europa, Sevilla, yang musim ini berkompetisi dalam ajang Liga Champions Eropa. Ada nama Mauricio Pochettino bersama Tottenham Hotspurs yang musim lalu berada di peringkat tiga Liga Primer Inggris, serta Diego Simeone yang masih menjadi pelatih Atletico Madrid dan bersiap untuk kembali melakukan sesuatu bersama Atelti musim ini.
Akan menjadi sesuatu yang menarik, apakah dua mitos ini akan tetap bertahan, atau akan ada salah satu dari mitos di atas yang terpecahkan musim ini. Liga Champions Eropa masih menyimpan misterinya.
Penulis adalah penonton sepakbola yang menulis. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @Azhar_km
Komentar