Oleh: Bima Satria Anugerah
Berbicara tentang Inter Milan, maka tidak akan lepas dengan sebuah ciri bernama permainan bertahan. Catenaccio yang digagas Helenio Hererra pada era 1960an (lazim disebut La Grande Inter) hingga era treble winner pada 2010 yang identik dengan permainan pragmatis Jose Mourinho adalah contoh dari bagaimana identiknya Inter dengan permainan bertahan.
Permainan bertahan yang identik dengan Inter ini tentu tidak lepas dengan hadirnya full-back berkemampuan mumpuni. Khusus untuk Inter, banyak nama-nama pemain besar yang lahir dari posisi full-back. Beberapa diantaranya pernah menyandang status sebagai kapten tim. Bahkan dua di antaranya telah dipensiunkan nomor punggungnya sebagai bentuk penghormatan.
Nama pertama adalah legenda Inter Milan bernama Giacinto Facchetti. Selain sebagai legenda Inter, ia juga adalah pemain legendaris timnas Italia. Ia dikenal sebagai sosok awal yang merevolusi gaya bermain full-back di Italia, bahkan di seluruh dunia. Facchetti tidak hanya piawai dalam bertahan. Ia juga cukup baik dalam menyerang. Tercatat ia telah membukukan 59 gol dalam 476 pertandingan profesionalnya yang kesemuanya bersama Inter.
Pada era 1980an, legenda baru di sektor full-back kembali muncul. Ia adalah Beppe Bergomi. Pemain yang tidak pernah berganti klub ini merupakan kapten Inter sebelum era Javier Zanetti. Ketangguhannya di atas lapangan pun tidak diragukan lagi karena ia juga pernah tergabung dalam skuat Italia yang menjadi juara dunia pada 1982.
Nama terakhir adalah Javier Zanetti. Ia merupakan pemain pujaan Giuseppe Meazza. Selain terkenal karena kepemimpinannya, ia juga amat solid dalam bermain. Pemain sekelas Ryan Giggs pun menganggapnya sebagai bek yang cukup sulit dihadapi karena ketenangannya. Inter sendiri akhirnya memensiunkan nomor punggung empat miliknya bersama dengan nomor tiga milik Facchetti.
Nama-nama di atas baru sebagian kecil dari banyak nama-nama besar yang pernah dimiliki Inter di posisi full-back. Masih ada nama seperti Roberto Carlos, Douglas Maicon, Fabio Grosso, dan Christian Chivu yang juga merupakan pemain andal di posisi full-back.
Bila menengok kejayaan Inter yang ditopang oleh pemain-pemain mumpuni pada sektor full-back, dapat disimpulkan bahwa tim ini memang bertumpu pada sektor pertahanan. Namun, apa yang terjadi beberapa tahun belakangan dalam skuat Inter ini cukup ironis. Pasca treble winners yang diraih pada 2010 lalu, Inter belum lagi mendatangkan full-back berkualitas untuk melengkapi skuat. Bahkan, hingga Javier Zanetti memutuskan pensiun pada 2014 lalu, belum ada full-back tangguh yang datang mengisi skuat La Beneamata.
Sektor full-back juga mungkin adalah salah satu faktor yang menyebabkan keterpurukan Inter beberapa tahun terakhir. Selama periode 2010-2016, Inter mendatangkan sejumlah nama di sektor ini, antara lain Danilo D’Ambrosio, Yuto Nagatomo, Davide Santon, Dodo Pires, Jonathan, dan Alex Telles. Dengan segala hormat bagi pemain yang saya sebutkan diatas, kualitas mereka masih di bawah dari nama-nama yang didatangkan oleh klub-klub lain.
Ambil contoh Juventus. Klub asal Turin ini mendatangkan full-back berkualitas seperti Dani Alves, Patrice Evra, Alex Sandro, Kwadwo Asamoah, dan Stephan Lichtsteiner. AS Roma juga memiliki Douglas Maicon, Bruno Peres, dan Lucas Digne. Bahkan pemain Napoli sekaliber Elseid Hysaj dan Fauzi Ghoulam pun masih lebih baik.
Mungkin banyak yang mengatakan ini berlebihan, namun faktanya statistik menjawab dengan jelas. Musim 2016/2017, jumlah gol yang masuk ke gawang Inter separuhnya berasal dari kesalahan sektor sayap.
Proses gol Juventus saat lawan Inter. Perhatikan kotak merah berikut
Gambar di atas dapat menjadi bukti betapa lemahnya sektor full-back Inter. Ini adalah proses gol saat Inter menjamu Juventus, kala itu Inter menang 2-1. Disini terlihat bahwa D’Ambrosio terlambat menutup pergerakan Alex Sandro yang akhirnya berhasil mengirimkan umpan silang.
Pada saat yang bersamaan, Santon juga lengah dengan kedatangan Lichtsteiner dari sektor kiri pertahanan dan gagal menghalau pergerakan pemain timnas Swiss tersebut. Pada akhirnya Lichtsteiner mampu mengkonversi umpan dari Alex Sandro tersebut menjadi gol. Selain fakta di atas, ada juga fakta pendukung lain di bawah ini.
Rating pemain Inter musim 2015/2016. Sumber: whoscored.com
Di antara pemain Inter dengan jumlah penampilan di atas 10 pertandingan, dari enam pemain dengan rating terendah tiga di antaranya merupakan pemain full-back. Santon, D`Ambrosio, dan Nagatomo ratingnya hanya di kisaran 6,68 hingga 6,79, bahkan Juan Jesus juga bisa dimasukkan sebagai full-back karena pada awal musim lalu ia sempat dipasang sebagai bek kiri, maka jumlahnya menjadi empat pemain.
Lalu, apakah manajemen diam dengan keadaan ini? Tentu tidak. Pada bursa transfer musim panas 2016 manajemen sudah mengincar beberapa pemain, seperti Domenico Criscito, Matteo Darmian, Victor Lindelof, Martin Caceres, dan Douglas Maicon.
Namun apa daya, manajemen baru serius mencari full-back setelah jor-joran menggaet nama-nama besar di sektor lain seperti Gabriel Barbosa, Joao Mario, dan Antonio Candreva. Hasilnya manajemen sulit untuk mendatangkan full-back karena terlanjur terbentur regulasi Financial Fair Play.
Sebenarnya pada awal bursa transfer musim panas 2016 Inter berhasil mendatangkan Caner Erkin dan Christian Ansaldi yang berposisi sebagai full-back. Tapi, Erkin langsung dipinjamkan ke Besiktas sedangkan Ansaldi sudah mengalami cedera saat pertandingan pramusim.
Berkah bagi Inter, di dalam skuat yang ada sekarang ada secercah harapan yang muncul. Harapan itu ada dalam wujud bernama Senna Miangue. Ia adalah pemain yang berposisi sebagai full-back kiri dan baru berusia 19 tahun. Ia juga baru melakukan debut saat Inter diimbangi Palermo pada giornata 2 kemarin.
Pelatih Inter, Frank De Boer, tampak memberikan kepercayaan penuh terhadap pemain asal Belgia ini. Ia bahkan tampil saat Inter Milan melakoni Derby D’Italia melawan Juventus akhir pekan lalu. Selain Miangue, ada satu bakat lagi yang juga cukup menjanjikan, yaitu Federico Di Marco. Pemain jebolan tim Primavera Inter yang dipinjamkan ke Empoli ini menunjukkan penampilan yang cukup baik.
Saat menghadapi Inter Milan, ia mencatatkan dua tembakan mengarah ke gawang yang hampir menembus gawang Samir Handanovic, penampilan yang cukup mengesankan bagi seorang full-back kiri di usianya yang baru menginjak angka 18 tahun.
Lalu dengan masalah yang dimiliki Inter di sektor full-back, apakah Inter mampu bersaing di Serie A musim ini? Jawaban tentu ada di pundak De Boer, apakah ia bisa memaksimalkan kinerja amunisi full-back Inter yang ada, ataukah dapat menutupinya dengan performa menawan di sektor lain?
Menarik untuk memperhatikan kinerja pelatih muda asal Belanda ini. Walau sekarang masih belum menunjukkan hasil, setidaknya ada bursa transfer musim dingin yang kemungkinan besar akan dimanfaatkan oleh manajemen untuk mencari pemain yang bisa menutup lubang di sektor ini.
penulis adalah Mahasiswa. Dapat dihubungi lewat akun @ultraspelajar
Komentar