Oleh: Prambudi M.
Padat, rapat, berhimpitan. Suasana stadion selalu penuh dengan penonton. Entah itu di liga utama ataupun liga level dua. “Indonesia merupakan negara dengan jumlah suporter sepak bola di dunia”, begitulah kata beberapa portal berita tanah air.
Apakah kenyataannya seperti demikian?
Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan:
- 54% penduduknya sangat gemar dengan sepak bola.
- 201.690.000 penduduknya serempak melihat World Cup 2010.
- 168.000.000 fans liga lokal, mulai dari liga utama hingga liga yang tidak pernah “masuk televisi”.
Berdasarkan fakta di atas, media online dan cetak Indonesia malah cenderung memuat “kabar buruk” tentang pendukung sepak bola. Sudah cukup sisi “setan” para pendukung Indonesia terpublikasi. Para pembuat berita harus bergerak dari jenis berita seperti ini. Secara langsung, si pembuat berita menjadi pihak yang bertanggung jawab atas sugesti buruk kepada pembaca, meski tujuan sebenarnya bukan itu.
Lebih lanjut, sugesti berubah menjadi proses imitasi atau peniruan. Mengingat informasi datang dari sumber “terpercaya”, maka proses ini berjalan sangat lancar tanpa ada pihak yang menyaringnya. “Tradisi” pun akhirnya tercipta, meski kata “sepakat” terkait hal ini tidak pernah didengungkan.
Seperti kutipan dari Gerungan (1966:36), Imitasi tidak berlangsung secara otomatis. Imitasi dipengaruhi oleh sikap menerima dan mengagumi objek yang diimitasi. Tapi objek imitasi tadi adalah perilaku destruktif. Pun perilaku seperti ini sebenarnya sudah “dido’akan” oleh Sigmund Freud, Bapak Psikologi Dunia.
Menurut Freud, dorongan bawaan, naluriah manusia, bersifat destruktif. Hal inilah yang menyebabkan para pendukung seperti memiliki hobi bersama ketika mereka bergabung bersama pendukung yang berasal dari klub yang sama. Meski begitu, Freud tetap optimis, bahwa dorongan bawaan yang dijelaskan sebelumnya bisa diarahkan pada perilaku konstruktif.
Di balik fenomena yang tak sedap didengar itu, ada satu sisi menarik dari penggila jersey bernomor punggung itu. Secara psikologis, mereka sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun, ketika klub kesayangan berduel, seolah-seolah mereka berubah bak manusia tanpa rasa takut.
Dimulai dari yel-yel yang provokatif, tak jarang pihak wasit pun menjadi korban lisan tajam pendukung. Selanjutnya, diakhiri dengan iring-iringan kendaraan, seolah mereka adalah “Presiden” yang harus mendapat perlakukan istimewa dari pengguna jalan lainnya.
Padahal, pendukung merupakan elemen vital bagi sepak bola, begitu kata Fuller (2014:1). Pendukung sepak bola Indonesia memiliki semangat dan loyalitas tanpa batas. Bahkan, bisa dilihat, mereka pun siap menjadi martir guna memperjuangkan pilihan hidupnya itu.
Sayangnya, modal potensial untuk membangun iklim sepak bola sehat ini dicederai oleh oknum “anti-perdamaian”. Banyak nyawa berguguran. Pada 2001 silam, Imam Siswanto dari Panser Biru (sebutan untuk pendukung PSIS Semarang) menjadi korban pertama yang meninggal akibat “kegelisahan” tak jelas dari fans fanatik sepak bola.
Tidak berhenti sampai di situ. Harun Al-Rasyid, Muhammad Rovi Arrahman, Beri Mardias, Dimas Aditya, Ahmad “Mat Togel” Dani, Fathurrahman (The Jakmania), Fathul Mulyadin (The Jakmania), Muhammad Tommy (Viola, Persita), Ahmad Hariri (Viola, Persita), M. Aziz (pendukung Pelita Jaya), dan nama-nama lainnya pun meregang nyawa. Apabila fenomena ini terjadi di klub-klub elit Eropa, ambil contoh Real Madrid, maka pemain seperti Zidane, Beckham, Raul Gonzales, bahkan Cristiano Ronaldo pasti lebih memilih cuti dini dibanding melihat pendukung klubnya saling menghabisi.
Semua nama korban yang disebutkan sebelumnya meninggal secara tragis. Yaitu, menjadi korban pengeroyokan dari pihak suporter klub rival. Sebenarnya, kata "rival” tak pantas disebut dalam hal ini. Sepak bola merupakan olahraga. Semua hal yang berbau persaingan seharusnya dilepaskan ketika peluit panjang wasit berbunyi. Persaingan dan aroma dendam pun harus sudah selesai.
Kenyataannya tidak seperti demikian, bukan? Malahan genderang perang dimulai ketika pertandingan usai. Fans tuan rumah menunggu di sudut-sudut kota, bersiap dengan senjata yang tidak lulus uji SNI dan tidak berizin resmi. Ketika pendukung lawan melintas, maka budaya lempar batu, menyerang dengan senjata tajam dan balok, bahkan melakukan pengeroyokan pada satu orang yang tak berdaya pun dilakukan.
Bukan hanya dari sisi pendukung tuan rumah, kadangkala pendukung tim tamu pun ikut memancing amarah warga setempat. Sehingga, pertempuran pun terjadi. Antara pendukung dan masyarakat umum, yang notabene tak ikut campur di pertandingan sepak bola. Korban pun berjatuhan. Itulah yang terjadi pada suporter The Jakmania, Harun Al-Rasyid Lestaluhu, beberapa waktu lalu.
Aneh dan sadis. Sebegitu cintakah mereka kepada klub sepak bola dibanding nyawa sesama manusia? Apakah cinta mereka pada klub bisa diperlebar menjadi cinta ke sesama pecinta klub sepak bola Indonesia? Apa yang melekat pada perilaku pendukung sepak bola seperti demikian bukanlah cinta. Mungkin itu tetap bisa dikatakan cinta, tapi cinta yang membutakan, menyakitkan, dan menjadi sumber penderitaan sesama.
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi pada sekumpulan manusia tersebut? Menurut beberapa studi psikologi, fenomena pendukung yang “terlalu berani” bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara maju pun isu ini ramai diperbincangkan. Salah satu yang mendunia yaitu yel-yel dari klub Liverpool di Liga Primer yang berbunyi ”You`ll Never Walk Alone”. Terasa sekali, dari kalimat tersebut erat kaitannya dengan salah satu topik dalam psikologi, yaitu social support.
Dummies.com secara berani menjelaskan bahwa social support memiliki hubungan erat dengan kebahagiaan. Bukankah semua manusia menginginkan hal ini? Termasuk Balotelli yang dicampakkan oleh Liverpool dan hijrah ke Nice. Saat ini, ia mendapat social support dari pendukung Nice. Hasilnya insting mencetak gol Balotelli kembali hidup. Pada debutnya di Ligue 1, ia berhasil menyarangkan sepasang gol dan membantu Nice melibas Marseille 3-2.
Selain social support, fenomena suporter sepak bola pun erat kaitannya dengan usaha individu meningkatkan harga diri. Individu yang dimaksud ini yaitu pendukung sepak bola. Hal ini bisa dilihat dari atribut atau simbol-simbol yang dipakai oleh para pendukung. Secara kasat mata, mereka menggunakan kaos, slayer, bendara, bahkan warna rambut sesuai dengan klub yang dibelanya.
Allen R McConnell Ph.D. di situs Psychologytoday.com menjelaskan bahwa mendukung sebuah klub dengan prestasi, sejarah, atau atribut lain yang membanggakan akan berpengaruh signifikan pada harga diri si individu. Ia pun menambahkan pada artikel yang berjudul ”The Psychology of Sports Fandom” itu, ketika klub yang dicintainya mengalami kekalahan, pendukung cenderung “tak nyaman” dengan atribut-atribut klub.
Kyung Ah Kang, Shin Jeong Kim, Mi Kyung Song menulis fakta ilmiah yang mencengangkan. Dalam jurnal berjudul “Relationship of Self-esteem, Meaning in Life, and Spiritual Well-being in Middle School Students” dari Kyung Ah Kang dkk., di sana tertulis “There were significant correlations between self-esteem and meaning in life”. Artinya, hubungan harga diri dan kebermaknaan hidup sangat erat (signifikan).
Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Korean Academy of Child Health Nursing ini melibatkan 405 siswa sekolah menengah, mulai dari kelas 1 sampai 3. Dilakukan pada Mei 2008 dan berlokasi di 3 kota. Setelah membaca fenomena pendukung dari sisi psikologis ini, hasil penelitian sangat kontras dengan fenomena pendukung di Indonesia. Sehingga, muncul pertanyaan lagi.
Apakah segala perilaku pendukung sepak bola Indonesia ini wajar dan sehat secara psikologis?
Apa yang dipaparkan di atas merupakan motif awal individu menjadi suporter sepak bola. Menjadi suporter merupakan jalan mereka untuk bahagia dan membuat hidup lebih bermakna. Namun, di tengah jalan itu semua berubah karena adanya budaya rivalitas antar suporter sepak bola. Sehingga, suporter cenderung melakukan tindakan berbau agresivitas verbal, fisik, dan psikologis.
Pada akhirnya, fenomena terlalu barbarnya permusuhan antar suporter sepakbola di Indonesia pun merebak. Banyak nyawa sesama bangsa melayang sebagai “tumbal” rivalitas antarsuporter klub bola. Menanggapi hal ini, apakah perlu dilakukan tes tulis, psikotes, atau bahkan wawancara untuk mendapatkan suporter bola yang produktif dan antikekerasan?
Baca Juga:
Agar Kekerasan Suporter Tidak Terulang Lagi
Permusuhan Antar Suporter Sepakbola di Indonesia Terlalu Barbar!
Ini Salah Federasi dan Suporter Itu Sendiri!
foto: @MirrorFootball
penulis adalah seorang Content Writer dan Copy Writer. Bisa dihubungi lewat alamat email akun.mundzir@gmail.com
Komentar