Oleh: Fahmin
Lampu sorot Piala Dunia 1986 sepenuhnya tertuju pada Diego Armando Maradona. Ia bukan cuma berhasil membawa Argentina menjadi kampiun melalui aksi-aksi yang ia pertontonkan dalam ajang tersebut. El Diego, begitu julukannya, juga meyakinkan publik bahwa ia pantas untuk disejajarkan dengan Pele pada Piala Dunia 1958, atau Beckenbauer pada Piala Dunia 1974. Dua gol yang ia cetak pada pertandingan perempatfinal kontra Inggris adalah satu dari sekian banyak bukti kehebatan seorang Maradona dalam ajang Piala Dunia 1986.
Gol pertama ia buat setelah berduel di udara dengan Peter Shilton, penjaga gawang timnas Inggris yang memiliki postur 20 cm lebih tinggi dari dirinya. Seakan menyadari kecilnya persentase bola yang akan ia menangi dalam situasi tersebut, tak kehilangan akal, Maradona menjulurkan tangannya untuk menyambut bola yang melayang di udara. Wasit Ali Bin Nasser mengesahkan gol tersebut dan abai terhadap protes yang dilayangkan pemain-pemain timnas Inggris.
Sementara gol kedua Maradona dicetak melalui solo run hampir dari setengah lapangan melewati Beardsley, Reid, Butcher, Fenwick, Butcher (lagi) sebelum (sekali lagi) menaklukkan Shilton di bawah mistar gawang.
Jika gol kedua adalah manifestasi dari sebuah bakat, potensi, dan kejeniusan, maka gol pertama adalah kombinasi dari kecerdikan, licin, dan liciknya seorang Maradona.
***
Berbicara tentang Maradona berarti berbicara mengenai sebuah fenomena yang muncul pada awal dekade 80an hingga 90an. Pemain kelahiran 30 Oktober 1960 ini, sebagaimana perjalanan pemain bintang pada umumnya, sudah menjadi buah bibir ketika usianya masih belia.
Pada Piala Dunia 1978 atau ketika usianya belum genap 18 tahun, Luis Cesar Menotti tak menyertakannya dalam skuat bukan karena meragukan kualitasnya. Maradona dinilai masih terlalu muda untuk mengenakan seragam tim Tango beserta beban yang akan dipikulnya.
Justru kemenangan Argentina pada Piala Dunia 1978 beserta narasi kekalahan dari Claudio Gentile pada Piala Dunia 1982, serta takluknya Argentina pada perang Falkland dari Inggris di tahun yang sama, mengajarkan Maradona banyak hal sebelum mengarungi Piala Dunia 1986 yang dilangsungkan di Meksiko.
Di negara yang terletak di Amerika Utara inilah puncak performa dari sang bintang muncul. Namun, sekalipun gol solo run milik Maradona dinobatkan oleh FIFA sebagai Goal of The Century, tetapi bagi banyak kalangan yang cukup awam akan sepakbola, atau bagi generasi 90an yang ketika itu terlalu biru untuk memahami kompleksitas sepak bola; nama Maradona justru lebih lekat karena gol kontroversial "Tangan Tuhan"-nya alih-alih mengenai superioritas sang mega bintang.
"A little with the head of Maradona and a little with the hand of God," ujarnya selepas pertandingan yang berkesudahan dengan skor 2-1 melawan timnas Inggris tersebut. Dari sanalah kemudian julukan prestisius itu tersemat dan identik dengan dirinya.
Tentu saja ucapan tersebut merupakan selorohan hiperbolik khas Maradona untuk menunjukkan glorifikasi dirinya. Sebuah bentuk narsisme diri, sebagaimana yang seringkali kita dengar dalam setiap diksi yang dipilih seorang Zlatan Ibrahimovic atau Nicklas (Lord) Bendtner.
Yang menarik di sini ialah ada korelasi antara sejarah asal usul kata "Tuhan" secara harfiah dengan kepribadian sang mega bintang. Sebuah pembahasan menarik yang berasal dari sebuah pertanyaan, "Pantaskah Tuhan yang direpresentasikan sebagai Dzat Yang Suci dan Agung atau kekuatan yang berada di luar batas pikiran manusia disematkan pada laku curang Maradona dalam gol kontroversialnya tersebut?"
Ada banyak sumber yang menjelaskan asal usul kata Tuhan. Namun jika merujuk pada sejarah Jawa kuno, istilah Tuhan sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari agama yang dikenal dengan nama agama Kapitayan. Agama ini secara sederhana digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang memiliki makna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-Uwung.
Karena sifatnya hampa, agar bisa disembah oleh penganutnya Sanghyang Taya merepresentasikan wujudnya pada sebuah nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati. Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi.
TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Meskipun begitu, Dia memiliki dua sifat paradoksial, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tak jauh berbeda dengan konsep agama Zoroaster dengan nabinya yang bernama Zarathustra yang percaya akan adanya Tuhan baik dan Tuhan jahat.
TU yang bersifat Kebaikan inilah kemudian menjadi akar dari kata TU-han atau disebut dengan nama Sang Hyang Wenang. Sementara TU yang bersifat Kejahatan dikenal dengan nama Sang Hyang Manikmaya atau Han-tu-Kebalikan dari Tu-han.
Perjalanan hidup seorang Maradona adalah sebuah wujud nyata sebuah paradoks sebagaimana saat kita melihat dua gol yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1986. Dalam sosok tersebut kita melihat kebaikan sekaligus keburukan. Sakral sekaligus profan.
Di satu sisi ia begitu dikagumi dan dipuja karena kehebatannya. Di Naples namanya abadi setelah membawa Napoli menjuarai Serie A pada musim 1986/1987. Pada tahun yang sama, di kota Rosario, Buenos Aires, dibangun sebuah Iglesio Maradona, sebuah gereja yang didirikan sebagai bentuk pengkultusan terhadap Maradona lengkap dengan poster besar saat Maradona mencetak gol Hand of God persis sebagaimana umat Kristiani meletakkan simbol salib Yesus di dalam gereja.
Namun di sisi lain ia juga representasi dari manusia brengsek ketika kariernya harus hancur akibat ketergantungannya akan obat-obatan terlarang. Ketika berkarier sebagai pelatih pun, Maradona diingat sebagai pelatih yang payah.
Apakah terlalu naif jika mengaitkan asal mula istilah Tuhan-Hantu dalam bahasa Indonesia sebagai reperesentasi kehidupan seorang Maradona? Tapi bukankah kita akan melihat pola serupa ketika memaknai kata God dan Dog pada literatur Inggris dalam narasi kebaikan dan keburukan?
Jadi saya rasa tidak masalah jika saya memberi julukan The Hand of Dog untuk gol kontroversial Maradona.
Penulis bisa dihubungi di email fahmin89@gmail.com atau Twitter @vchmn22
Tulisan ini merupakan hasil kiriman pembaca lewat rubrik Pandit Sharing. Segala isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar