Oleh: Albertus Devin
Sebelum saya mengawali surat ini, ada baiknya saya memberi pengantar kepada Bapak. Saya adalah seorang mahasiswa yang sudah menonton tim nasional sejak tahun 2004. Sejak itu pula saya turut menyaksikan betapa sering timnas harus gagal di berbagai turnamen. Betapa sering kisruh melanda PSSI selaku organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia. Betapa banyak pelaku sepakbola yang justru merusak citra sepakbola itu sendiri.
Terlepasnya Indonesia dari sanksi FIFA pada 2016 lalu memberi sedikit angin segar dengan aroma perubahan. Meskipun timnas juga harus bermain dengan aturan maksimal dua pemain per klub, kita tetap berhasil menuju ke laga final. Walau pada akhirnya kita harus tunduk lagi dengan si empunya kekuasaan, Thailand. Lihat betapa antusiasnya rakyat Indonesia menyaksikan kembali timnas berlaga.
Tahun 2017 juga turut memberi harapan baru. Anda dilantik bersama pengurus lainnya pada tanggal 27 Januari 2017 di Balai Kartini. Saya yakin sangat banyak orang yang menaruh harapan besar. Terlebih karena trauma mendalam pada kepengurusan sebelumnya yang kita tahu sama tahu bagaimana bobroknya.
Tapi maaf, Pak. Seiring waktu, harapan yang saya pegang itu mulai redup perlahan-lahan. Berbagai kebijakan yang dimunculkan memancing tanggapan negatif. Entah dari suporter, klub maupun pemain. Bahkan meskipun suara-suara itu bersebaran di media, saya tidak melihat Bapak memberi klarifikasi ataupun penjelasan.
Sebagai pemudah, saya akan coba memberikan pandangan saya kepada Bapak mengenai kebijakan-kebijakan tersebut. Meskipun saya juga tidak yakin Bapak berkeinginan untuk membacanya, tapi sepertinya lebih baik saya tetap mencoba.
Pertama mengenai kewajiban klub memainkan tiga orang pemain usia U-23 sebagai starter. Tujuannya adalah demi menyiapkan timnas meraih target medali emas di SEA Games mendatang. Saya ingin Bapak mengerti, bahwa liga bukanlah tempat pembinaan. Liga adalah kompetisi profesional. Dan selayaknya pula mereka yang bermain adalah mereka yang memang mampu. Bukanlah mereka yang hanya bermain karena diwajibkan saja.
Bapak harus mengerti pula, bahwa faktor terbesar kegagalan pemain muda adalah mental. Bagaimana Bapak bisa mendidik mereka, jika yang diberikan kepada mereka adalah kemudahan untuk bisa bermain? Saya sendiri jika menjadi pemain, akan cenderung berpikir “Untuk apa latihan, toh nanti juga main 45 menit.” Bayangkan jika itu terjadi kepada pemain-pemain muda kita.
Memang regulasi ini tidak sepenuhnya salah. Regulasi inilah yang memunculkan sosok bintang muda dalam diri Febri Hariyadi, Hanif Sjahbandi, Saddil Ramdani dan lainnya. Tapi itu dalam konteks turnamen. Bukan liga yang lebih panjang dalam durasi serta membutuhkan mental yang baik.
Regulasi ini yang membuat saya bingung kenapa Bapak menghapus liga U-21. Padahal ini adalah jenjang usia terbaik untuk mencari pemain yang bisa mengisi skuad di SEA Games. Bayangkan pula berapa banyak pemain yang harus kehilangan klub karena dianggap belum layak di tim senior?
Bapak juga mengeluarkan regulasi batas jumlah dua orang untuk usia di atas 35 tahun. Sungguh, saya tidak paham dengan tujuan regulasi ini. Apa Bapak tidak tahu jika banyak pemain yang masih layak bermain meski sudah uzur? Cristian Gonzales, Alberto Goncalves, Ponaryo Astaman atau Ismed Sofyan. Itu baru di Liga 1. Di Liga 2, yang bahkan membatasi usia 35 tahun, aturan ini bahkan sudah memakan korban.
Mat Halil, salah satu legenda hidup sekaligus kapten Persebaya, mengatakan bahwa ia sudah siap untuk pensiun. Bukan karena sudah tidak mampu bermain, tapi karena terbentur regulasi.
“Semua sekarang terserah manajemen. Saya hanya bisa pasrah.”, ujarnya seperti dikutip dari JPNN.com.
Itu baru Mat Halil. Pasti masih banyak pemain lain yang harus bernasib sama hanya karena regulasi konyol yang Bapak berlakukan ini. Apakah Bapak akan tersentuh untuk membatalkan regulasi, saya tidak tahu.
Selain itu ada regulasi mengenai jumlah pergantian pemain, yaitu 5 orang. Saya tidak tahu apakah Bapak paham mengenai Laws of The Game, induk segala peraturan sepakbola. Bapak harus tahu bahwa menggunakan peraturan yang bertentangan dengan LOTG, hanya akan membuat sebuah asosiasi, federasi ataupun klub berisiko untuk disanksi.
Tapi di sini pula saya melihat arogansi dalam diri Bapak. Bapak mengatakan bahwa akan mengkoordinasikan dengan FIFA dan AFC, tetapi menambahkan pula bahwa mereka harus setuju dengan PSSI.
Sebentar, maksud Bapak apa ya? Terus terang, saya yakin dengan latar belakang Bapak di militer, Bapak sangat paham dengan apa yang disebut “garis komando”. Bahwa apa yang diatur oleh atasan harus dipatuhi oleh bawahan. PSSI sendiri baru lepas dari sanksi. Bagaimana pula FIFA harus sepakat dengan regulasi PSSI? Memangnya kita itu siapa, Pak? Bapak itu siapa pula di hadapan FIFA?
Kalau memang Bapak ingin pembinaan, sebagaimana Bapak jadikan alasan untuk membuat regulasi ini, justru apa yang Bapak lakukan dengan membubarkan liga U-21 adalah perbuatan konyol. Padahal Bapak mencetuskan ide liga U-19. Kenapa tidak dibiarkan saja berjalan berdampingan? Saya yakin hal itu justru sangat tepat dilakukan, karena ada jenjang kompetisi untuk para pemain muda.
Saya mohon, dengan semakin mendekatnya pembukaan liga, Bapak masih bisa mengolah masukan dari para insan sepakbola kita. Bapak sendiri yang mengatakan bahwa siap dikritik jika diperlukan. Inilah saatnya untuk membuktikan omongan Bapak sendiri. Untuk membuktikan niat tulus Bapak membenahi persepakbolaan kita. Untuk membuktikan bahwa Bapak adalah sosok yang tepat menempati jabatan tertinggi di PSSI.
Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan terima kasih apabila Bapak telah berkenan membaca sepucuk surat saya ini. Silakan Bapak sendiri yang memutuskan bagaimana kelanjutan regulasi dan liga nanti. Semoga kelak tidak ada Mat Halil lain yang harus pensiun lebih cepat, dan tidak ada pemain yang gagal mencapai permainan terbaiknya karena terlalu dipaksakan di usia mudanya.
Salam,
Albertus Devin,
Yang selalu mencintai tim nasional Indonesia
Penulis adalah mahasiswa teknik mesin di perguruan tinggi di Solo. Sempat bercita-cita menjadi pemain sepakbola, dan bermimpi membela timnas. Dapat dipantau melalui akun @devin_satya
Tulisan ini adalah hasil kiriman pembaca lewat rubrik Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar