Sepakbola dan (Lunturnya) Kehebatan Otak Britania

PanditSharing

by Pandit Sharing 31334

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola dan (Lunturnya) Kehebatan Otak Britania

Oleh: Miftahul Firdaus

Britania, Britania Raya, atau Inggris Raya merupakan bangsa dan negara yang besar. Britania merupakan monarki kesatuan negara dalam negara yang terdiri dari Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara (serta tidak ketinggalan: Gibraltar) dengan kursi pemerintahannya terletak di London.

Sebagai tambahan, tiga negara terakhir memiliki pemerintahan masing masing-masing yang berpusat di Belfast untuk Irlandia Utara, Edinburgh untuk Skotlandia, dan Cardiff untuk Wales.

Britania juga memiliki tiga wilayah Dependensi Mahkota, yaitu Guernsey, Jersey, dan Pulau Man. Wilayah-wilayah ini terkait, tapi secara konstitusional bukan bagian dari Britania Raya. Selain itu, terdapat empat belas wilayah seberang laut yang merupakan sisa-sisa dari Imperium Britania, yang pada suatu masa pernah menguasai hampir seperempat luas total bumi.

Kehebatan Britania ditegaskan dengan pengaruh yang ditinggalkan di daerah-daerah bekas jajahannya, seperti bahasa, sistem pengukuran, dan budaya. Selain itu, kehebatan Britania tercermin pada berbagai macam karya besar pada berbagai bidang sepanjang sejarah, seperti film Harry Potter dan James Bond, filsuf John Locke, dan berbagai ilmuwan besar. Boleh dibilang, Britania merupakan bangsa dengan pikiran yang hebat.

Literatur mereka pun mengakui itu. Karya-karya Agatha Christie (15 September 1890 – 12 Januari 1976) dan Sir Arthur Conan Doyle (22 Mei 1859 – 7 Juli 1930) menunjukkan betapa hebatnya otak Britania. Keduanya merupakan penulis cerita misteri, cerita yang bukan sekadar fiksi biasa, karena membawa pembacanya memakai nalar logika mereka pada hampir setiap plot cerita yang ada. Hal itu tampak pada tokoh-tokoh yang mereka reka.

Conan Doyle, asal Skotlandia, menulis cerita tokoh detektif paling populer, Sherlock Holmes, seorang Inggris. Sementara Agatha Christie, seorang Inggris, lebih hebat lagi karena menulis cerita lebih banyak tokoh, diantaranya Miss Marple dan pasangan detektif Tommy dan Tuppence (semuanya orang Inggris). Hanya Hercule Poirot (detektif Belgia rekaan Agatha Christie) yang bukan orang Britania. Mereka semua punya pikiran yang hebat.

Penegasan kehebatan otak Britania itu dinyatakan secara eksplisit pada beberapa novel mereka. Kejahatan-kejahatan yang paling sulit dipecahkan atau yang paling menipu, dalam novel-novel itu, selalu dicirikan sebagai suatu “rancangan orang Inggris” yang artinya hanya dapat dilakukan oleh otak Inggris yang dingin dan pintar.

Kadang-kadang malah ada kata-kata yang agak merendahkan bangsa lain. Di antaranya seperti, “bukan tindakan orang Italia itu” atau “bukan perbuatan orang Latin yang berdarah panas”. Musuh terbesar Holmes yang amat cerdik, Profesor Moriarty, juga Englishman. Hanya orang Prancis, setidaknya orang Belgia adalah penutur Prancis, yang digambarkan dapat menandingi pikiran Britania itu, lewat citra Poirot.

Bahkan, cara kerja Poirot digambarkan lebih berseni dan flamboyan, suatu sifat yang sangat Prancis, dibandingkan dengan Holmes yang lebih direct dan konvensional, suatu sifat yang sangat Inggris. Jika pun ada inspektur polisi lokal yang bisa sehebat para tokoh utama, umumnya mereka orang Skotlandia seperti Inspektur Japp atau paling tidak, berasal dari divisi khusus Scotland Yard, meskipun istilah ini sesungguhnya tidaklah merujuk kepada orang Skotlandia.

***

Rupanya, cerita dalam novel-novel itu terwujud juga di dunia nyata, tapi kali ini di dunia sepakbola. Sejak musim 1888-89 sampai 2016-17, sudah ada 47 manajer Britania yang memenangkan 103 trofi Liga Inggris, dengan rincian 37 manajer Inggris dan 10 manajer Skotlandia. Sir Alex Ferguson, Skotlandia, menjadi pemenang terbanyak (13 gelar) diikuti George Ramsay (Skotlandia) dan Bob Paisley (Inggris) yang masing-masing mengumpulkan enam trofi.

Sisanya sampai sepuluh besar, semuanya orang Britania, dengan rincian enam orang Skotlandia dan empat orang Inggris. Manajer non-Britania dengan gelar Liga Inggris terbanyak adalah Arsene Wenger dari Prancis dan Jose Mourinho dari Portugal, yang masing-masing memenangkan tiga trofi. Dominasi manajer Britania, terutama Skotlandia, terasa sekali pasca Liga Inggris berganti format menjadi Liga Primer dengan dominasi Ferguson yang hanya bisa diselingi oleh Wenger, Mourinho, Carlo Ancelotti, Roberto Mancini, Claudio Ranieri, dan terbaru adalah Antonio Conte.

Namun, jika manajer Britania demikian pintarnya, kenapa timnas negara-negara Britania justru sering keok, seperti halnya Inggris di Piala Eropa edisi terakhir yang berbuntut pemecatan Roy Hodgson? Sejarah malah mencatat negara-negara Britania belum pernah juara Piala Eropa. Bandingkan misalnya dengan Jerman (tiga kali), Spanyol (tiga kali), Prancis (dua kali), dan Uni Soviet, Italia, Ceko, Belanda, Denmark, Yunani, serta Portugal (masing-masing sekali).

Sementara itu, di ajang Piala Dunia, Inggris juara terakhir kali pada 1966. Itu pun mereka berhasil ketika menjadi tuan rumah. Negara-negara Britania yang lain lebih parah lagi nasibnya dalam perolehan gelar juara. Tentu saja tidak selamanya timnas Inggris (begitu juga dengan Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara) dilatih oleh orang Britania juga. Tapi ironisnya, prestasi Inggris mungkin lebih baik saat dilatih Capello (non-Britania) daripada dilatih Hodgson (Inggris tulen).

Di level klub, dominasi manajer Britania juga berakhir dengan pensiunnya Fergie pada 2012-13. Sejak musim saat itu, semua manajer juara bukan orang Britania. Mancini, Ranieri, dan Conte adalah Italiano. Mourinho seorang Portugis. Sementara Manuel Pellegrini datang dari Chile.

Lebih nahas lagi nasib manajer Inggris. Englishman yang menjuarai Liga Inggris terakhir adalah Howard Wilkinson bersama Leeds United pada 1991-92 ketika kompetisi tertinggi di Inggris saat itu masih bernama Divisi Satu.

Musim ini, saat Conte juara, jumlah manajer Britania di Liga Inggris kian terkikis. Kesebelasan-kesebelasan penghuni enam besar dilatih oleh manajer non-Britania (Conte, Mauricio Pochettino, Josep Guardiola, Juergen Klopp, Wenger, dan Mourinho). Sementara para manajer Britania hanya menukangi kesebelasan-kesebelasan semenjana semacam Crystal Palace (Alan Pardew dan Sam Allardyce), Bournemouth (Eddie Howe), Burnley (Sean Dyche), Hull City (sempat dilatih Mike Phelan), Leicester City (Craig Shakespeare), Middlesbrough (Steve Agnew), Sunderland (David Moyes), Swansea City (Paul Clement), dan West Bromwich Albion (Tony Pulis).

Di liga luar Inggris, manajer Inggris seperti Gary Neville meraih hasil yang memalukan sehingga dipecat. Meskipun ada manajer Britania yang menukangi tim top liga lain seperti Brendan Rogers, ia sendiri justru gagal di Liga Inggris bersama Liverpool (setelah hengkangnya Luis Suarez). Begitu pula dengan Moyes yang sempat memiliki laju stabil bersama Everton tapi gagal naik level saat ditunjuk menggantikan Ferguson di Manchester United.

Pertanyaannya, apakah otak Britania yang hebat itu, seperti otak Agatha Christie dan Conan Doyle beserta para tokoh mereka, sudah tidak pintar lagi saat ini? Naik pangkatnya Gareth Southgate menjadi manajer "Tiga Singa" setidaknya memberikan harapan pada publik Britania, khususnya Inggris, bahwa mereka masih memiliki manajer top. Hal itu dibuktikan pada beberapa pertandingan yang sudah ia jalani.

Namun, Southgate masih belum membuktikan apa-apa. Setidaknya sampai ia memenangi gelar, atau paling tidak membawa Inggris melaju jauh di Piala Dunia dan Piala Eropa. Mampukah ia melakukannya? Atau ia justru akan bernasib seperti Hodgson?

Salah satu nama manajer Inggris yang paling sukses di tingkat tim nasional saat ini mungkin hanya Anthony Hudson. Eh, siapa itu? Meskipun lahir di Seattle, Amerika Serikat, Hudson adalah seorang Englishman. Ia berhasil membawa Selandia Baru menjuarai OFC Nations Cup 2016. Kiprahnya bisa kita saksikan di Piala Konfederasi terdekat.

Akan tetapi, dari seluruh penjabaran di atas, satu hal yang jelas adalah saat ini justru orang Italia dan orang Latin-lah yang mampu memecahkan kasus menuju juara Liga Inggris, bukan Englishman dan orang-orang dari Scotland Yard.

Penulis adalah seorang santri, mahasiswa, dan penikmat sepak bola. Penggemar PSIS Semarang era Bonggo Pribadi dan biasa bercuit di akun Twitter @miftahspara


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing, Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar