Oleh: M. Angga Septiawan Putra dan Nur Cholis
Terletak di Jalan Delima Raya Condongcatur, Sleman, distro itu tampak sepi. Dari luar hanya ada spanduk bertuliskan “BCSXPSS.COM” tergantung di balkon lantai dua. Satu huruf pertama tulisan di spanduk itu tidak terlihat utuh lantaran tertutup kasur busa. “Masih sepi, Mas. Bukanya jam 11 nanti,” ujar seorang penjaga. Saat itu sekitar pukul sembilan pagi.
Distro yang terdiri dari tiga lantai itu berada di deretan paling pinggir dari tujuh ruko. Curva Sud Shop (CSS), itulah nama distronya. Berada di lantai satu, distro dengan luas sekitar 8x4 meter tersebut dikelola secara mandiri oleh Brigata Curva Sud (BCS). Di sana dijual berbagai macam marchandise BCS dan PSS Sleman, seperti kaus, jaket, sepatu, syal, topi, gelang, hingga stiker dan pin. Sementara itu, lantai dua dan lantai tiga merupakan sekretariat BCS.
Berdiri sejak 20 Februari 2012, CSS menjadi pusat penjualan aksesoris resmi dan penopang keuangan BCS. Di Sleman, CSS terdapat dua cabang, yaitu di daerah Cebongan dan Godean. Agar distribusi semakin luas dan pendapatan bertambah, mereka juga membuka cabang hingga ke luar Sleman, tepatnya di Sidoarjo dan Jakarta. “Berdasarkan survei kami, di dua tempat itu cukup banyak BCS dan orang Sleman,” ujar Zulfikar.
Harga yang ditawarkan dari tiap barang beragam. Mulai dari 20 ribu sampai 400 ribu, tergantung barang apa yang dibeli. “Hampir tiap minggu stok barang datang,” ujar Amri, penjaga distro. Menurut Manajer Produksi dan Marketing CSS, Reza Bahtiar, barang-barang tersebut diproduksi oleh Curva Sud Production (CSP), pusat produksi CSS. CSP dikelola oleh anggota BCS yang memiliki vendor dan seperti menaruh saham di CSS. Sementara desain dan rancangannya merupakan bikinan anggota BCS yang telah diseleksi.
Proses seleksi dimulai dengan cara mengisi formulir yang disediakan CSS. Lalu mengirim desain. Bila desain disetujui, barang pun siap diproduksi. “Hampir 90% barang yang ada di CSS adalah barang titipan dari teman BCS yang sudah melalui proses seleksi,” kata Reza.
Lelaki yang oleh anggota BCS akrab disapa Pacul itu mengungkapkan, mereka punya target penjualan tertentu. Untuk CSS pusat di Condongcatur, mereka menargetkan keuntungan sekitar 100 juta per bulan. Sementara di toko cabang di luar Sleman dipatok 20 juta rupiah. “Alhamdulillah melampaui target,” ujar Reza.
Bagian dalam distro CSS pusat begitu identik dengan PSS Sleman. Warna hitam dan hijau gelap mendominasi. Di sana terpajang foto-foto pemain PSS Sleman dan beberapa sertifikat penghargaan. Salah satunya sertifikat bertuliskan ‘BCS for PSS, Rp. 50.000.000’ yang merupakan publikasi bantuan yang diberikan oleh BCS melalui CSS.
CSS memang salah satu penyokong finansial PSS Sleman. Mereka mendonasikan sekitar 20% keuntungan CSS untuk kepentingan klub. Donasi tersebut diberikan tiap akhir musim kompetisi berupa uang. “Rata-rata keuntungan CSS per bulan mencapai 150 hingga 200 juta rupiah,” tutur Manajer Produksi dan Marketing CSS, Reza Bahtiar. Tapi untuk tahun ini, BCS tidak memberikan bantuan dalam bentuk uang, melainkan dengan memberikan alat kebugaran dan fisioterapi. “Kira-kira senilai 100 juta,” katanya.
Bantuan yang kerap diberikan BCS kepada PSS merupakan wujud nyata dari manifesto ‘Mandiri Menghidupi’ yang mereka cantumkan di laman bcsxpss.com. CSS hadir tidak hanya untuk operasional BCS, tetapi juga sebagai sponsor tambahan bagi PSS Sleman. “Dengan adanya CSS, saya harap BCS dapat berdiri mandiri dan menghidupi klub kebanggaan,” ujar Reza.
Fikar menjelaskan, apa yang dilakukan BCS semata-mata hanya untuk mendukung PSS Sleman. “Di tribun kami mendukung lewat koreo, lewat nyanyian. Di luar, kami berusaha menghidupi PSS, ya, lewat CSS ini. Salah satu cita-cita kami adalah melihat PSS yang maju dan menjadi panutan di sepakbola industri seperti sekarang,” katanya.
BCS menjadi salah satu dasar kokohnya PSS Sleman secara keuangan. Suatu waktu saat mereka dilanda krisis, BCS-lah yang berusaha membantu mereka keluar dari kondisi itu. Padahal, BCS sendiri saat itu belum memiliki pendapatan sebesar sekarang. Kini, meski hanya berlaga di level kedua, para pemain dan pelatih PSS cukup sejahtera. Mereka tidak pernah telat menerima gaji.
“BCS rela memberikan bantuan uang hingga peralatan untuk PSS. Sejauh ini kami tidak pernah kesulitan secara finansial,” ujar Freddi Muli, pelatih PSS Sleman saat ditemui di Stadion Maguwoharjo, Sleman beberapa waktu lalu.
Manajer PSS Sleman, Arif Juliwibowo, mengatakan, CSS merupakan salah satu bentuk dukungan BCS di luar tribun. Selain itu, dua tahun terakhir, BCS selalu berinisiatif membeli adboard yang dijual manajemen PSS Sleman. “Mereka berperan dalam mendukung PSS secara finansial. Pembelian adboard itu salah satunya,” katanya.
BCS memang berbeda dengan kelompok suporter lain. Mereka ibarat anomali. Saat banyak kelompok suporter menghalalkan segala cara untuk masuk stadion demi mendukung tim yang mereka banggakan, BCS justru menekankan pentingnya membeli tiket pertandingan. Bahkan menurut Anton, seorang pedagang di sekitar Maguwoharjo, BCS membayar lebih untuk tiap tiket yang mereka beli.
“Membeli tiket pertandingan itu cara paling sederhana mendukung klub kebanggaan. No ticket, no game,” tutur Fikar.
Di Eropa, apa yang dilakukan BCS melalui lini usaha mereka itu mirip dengan kelompok suporter St. Pauli, Jerman. Klub yang berlaga di divisi dua Bundesliga itu sepenuhnya didanai oleh suporter. “Iya, mirip-mirip St. Pauli, tapi kami hanya salah satu penyokong. Belum membiayai sepenuhnya,” ujar Fikar.
Curva Sud Shop merupakan salah satu lini usaha BCS. Ini merupakan salah wujud manifesto mereka, mandiri menghidupi. Foto: Nur Cholis
Salah satu barang yang dijual di CSS adalah Kaos. Harga kaos di sini beragam. Tergantung jenis dan bahannya. Foto: Nur Cholis
Amri, penjaga Curva Sud Shop. Foto: Nur Cholis
Penulis merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Bandung. Biasa berkicau di akun @sptwn dan @nurcholislis
Cerita dari Sleman Bagian 1: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin
Cerita dari Sleman Bagian 2: Tentang Koreografi Itu. . .
Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus tentang Brigata Curva Sud yang dilakukan oleh dua penulis di atas. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar