Dikirim oleh: Abiyoga Anantya*
âSaya ingat pernah menasihatinya ketika dia berusia sepuluh tahun, âJika kamu tetap bandel seperti ini saat usiamu 17 tahun nanti, kamu tidak akan bermain untuk Inggris dan malah akan berakhir di penjara,â kenang Chris Beschi, guru Raheem Sterling di Vernon House Special School.
Sewaktu kecil, Sterling memang terkenal dengan kebandelannya. Ini tak lain karena ia dibesarkan di Kingston, sebuah kota yang dipenuhi kaum marjinal di Jamaica. Di kota itu, kejahatan bersenjata, narkoba, dan perkelahian antar geng, amat mudah ditemui. Faktor lingkungan tersebut yang pada akhirnya memengaruhi kondisi psikologis Sterling. Namun, sebelum terjerumus terlalu jauh, keluarga Sterling memutuskan untuk memboyongnya hijrah ke Inggris.
Kota London kemudian dipilih menjadi babak selanjutnya dalam perjalanan hidup Sterling. Di Londin, Sterling tidak menimba ilmu seperti di sekolah-sekolah lain pada umumnya. Ia mengenyam pendidikan di sekolah khusus untuk belajar mengolah emosi dan mengubah perangainya untuk menjadi lebih baik.
Di Vernon House, Beschi mulai mengenal Sterling. Sebagai seorang guru, Beschi memandang Sterling sebagai pribadi periang dengan senyum yang selalu melekat di pipinya. Perawakannya kecil dengan rambut yang dikepang, yang  menjadikannya mudah dikenali.
Walaupun demikian terkadang temperamennya bisa mengambil-alih dirinya kapan saja hingga sulit untuk dikendalikan. âDia datang ke Vernon House karena dia memiliki masalah jika bergabung dengan sekolah pada umumnya. Dia seorang periang, namun amarahnya bisa mengambil alih dirinya,â ujar Beschi.
Kehidupannya di Vernon House dihabiskan Sterling dengan bermain sepak bola bersama Beschi dan teman-teman lainnya. Mereka bermain sebagai tim, dengan lima orang anak dan lima orang dewasa dalam masing-masing tim. Dari situ, Beschi melihat bahwa kemampuan Sterling berada di atas rata-rata. Sterling mampu memainkan bola lebih baik dari orang dewasa sehingga setiap tim yang dibelanya hampir selalu menang. âSaya melihat, dia tidak akan menjadi seorang yang bekerja di bengkel atau di pelabuhan. Dia akan selalu menjadi bocah yang mengagumkan,â ujar Beschi.
Kemampuan Sterling bermain bola menuntunnya masuk ke Akademi Queens Park Rangers pada usia 11 tahun. Kecepatan dan daya tahannya ditempa untuk menjadi seorang winger modern. Karirnya di Akademi QPR berkembang pesat karena hanya butuh waktu tiga tahun, Sterling dipomosikan ke tim U-18 QPR.
Bakatnya mulai dicium oleh pemandu bakat Liverpool, Mark Anderson. Anderson yang baru pertama kali melihat Sterling bermain saat melawan Crystal Palace berkata, âSaya tidak mampu mempercayainya,â. Kekaguman Anderson pada Sterling kemudian menarik perhatian manajer utama The Reds kala itu, Rafael Benitez. Dengan mahar 1Â juta pounds, Sterling yang belum genap 17 tahun akhirnya menyebrang ke Merseyside setelah menjadi rebutan Fulham dan Tottenham Hotspurs.
Lima tahun berada di bawah naungan Liverpool, kebandelan Sterling sewaktu kecil kembali muncul ketika dihadapkan pada jendela transfer musim panas ini. Medio Mei lalu, Sterling menolak memperpanjang kontraknya dengan Liverpool. Gaji sebesar 100 ribu pounds dianggap kurang olehnya. Bahkan hingga saat ini, Sterling seperti mengulur-ulur waktu dengan tidak memberi kejelasan sehingga dirinya memiliki nilai tawar lebih saat berhadapan dengan menajemen Liverpool.
Sikap Sterling dianggap sebagai perangai yang tidak baik oleh berbagai kalangan di Liverpool, sejumlah legenda The Reds mencecarnya, mulai dari Michael Owen, Jamie Carragher, John Barnes, Phil Thompson dan John Aldridge. Sterling dianggap sebagai bocah yang tidak tahu terimakasih atas jasa klub yang telah memebesarkan namanya.Tidak hanya itu, bahkan Sterling dihakimi sebagai bocah yang tamak.
Mereka tidak lupa untuk memperdiksi hal-hal buruk yang bakal diterima Sterling jika dirinya meninggalkan Anfield. Sterling dianggap hanya akan mendapat gaji buta karena menjadi pemanas bangku cadangan di klub lain. Karir Sterling pun akan mati jika dia berani hengkang karen Ia belum sepenuhnya matang sebagai seorang pemain.
Carragher mewanti-wanti Sterling karena mengkhawatirkan perkembangannya. Pemain berusia 20 tahun itu diajak sang legenda bernostalgia mengenai hal yang pernah menimpa rekan senegaranya dulu, Shaun Wright-Phillips. Kala itu, Wright-Phillips menuai sukses di Manchester City saat berusia 21 tahun dengan menyabet Cityâs Young Player of the Year selama tiga musim berturut-turut.
Namun keserakahan mulai menghampiri Wright-Phillips. Pada 2005, Wright-Phillips memutuskan untuk hengkang ke Chelsea dengan iming-iming gaji tiga kali lipat dari yang diberikan City. Semua pihak senang karena nilai transfer 21 juta pounds pun menguntungkan City. Namun Wright-Phillips sepertinya tidak bisa menanggung beban transfer semahal itu. Karir Wright-Phillips di Chelsea tidak berjalan sesuai harapannya. Perlu waktu satu musim bagi Wright-Phillips untuk bisa mencetak gol pertamanya bersama The Blues. Inkonsistensi pada musim pertama berakibat dirinya gagal berseragam Inggris di Piala Dunia 2006.
Carragher menyebut bahwa Wright-Phillips dibayar untuk gagal saat di Chelsea. âIngat Shaun Wright-Phillips sepuluh tahun lalu? Dia meninggalkan City untuk bergabung dengan Chelsea setelah menembus tim Inggris. Namun dia gagal bersinar di Stamford Bridge dan kembali ke City tiga tahun setelahnya. Bahkan, sekarang dia sulit mendapatkan jam terbang di QPR,â ujar Carragher dua bulan lalu.
Nasib yang menimpa Wright-Phillips saat ini secara terang-terangan ada di pelupuk mata Sterling. Seperti rumor yang beredar, City siap mengangkut bintang Liverpool dengan nilai transfer 50 juta pounds dengan gaji 200 ribu pounds per pekan. Sterling pun bersiap ditasbihkan sebagai pemegang rekor orang Inggris dengan nilai transfer termahal.
Media-media di tanah Ratu Elizabeth pun juga turut bersiap menuliskan hal-hal buruk mengenai dirinya jika gagal bersinar di musim pertamanya. Bisa jadi, Sterling menjadi celaan seperti yang pernah dialami pendahulunya, Fernando Torres kala bergabung dengan Chelsea.
Jika memang nantiya Sterling bergabung dengan City ataupun klub lainnya, perlu digarisbawahi bahwa di klub-klub itu tidak ada orang sebaik dan sesabar Brendan Rodgers. Pelatih asal Irlandia Utara itu selalu memiliki kepercayaan dan mampu membimbing pemain mudanya. Rodgers bisa dikatakan sebagai orang tua yang selalu siap pasang badan andaikan Sterling melakukan kesalahan. Hal itu yang nantinya tidak didapatkan Sterling, sehingga sang pemain mudah terlecut emosinya baik di dalam maupun di luar lapangan.
Jadi, âJika kamu tetap bandel seperti ini, kamu mungkin akan bermain untuk klub besar lain, namun akan berakhir menjadi penghangat bangku cadanganâ. Seperti itulah mungkin kalimat yang tepat menggambarkan keadaan Sterling saat ini.
*Penulis merupakan mahasiswa komunikasi UGM yang tengah belajar tulis-menulis di dunia sepakbola. @abiyog_a
Komentar