Dikirim oleh Aun Rahman
Evan Dimas Dharmono, pemuda kelahiran 13 Maret 1995 ini, kembali berperan penting saat indonesia U-23 menaklukan tuan rumah Singapura, dalam partai pamungkas Grup A SEA Games 2015 cabang Sepakbola. Tidak hanya menjadi dirigen di lapangan tengah dan mengatur serangan , Evan bahkan memborong gol kemenangan tim Garuda Muda.
Pertandingan yang digelar di Jalan Besar Stadium tersebut, tidak hanya membuktikan bahwa Evan merupakan bintang muda potensial yang dimiliki oleh Indonesia, dan bisa saja membawa sepakbola Indonesia ke tahap yang lebih baik. Akan tetapi dalam pertandingan tersebut juga, untuk kesekian kalinya menunjukkan, bahwa tim sangat bergantung akan kehadiran Evan.
Baca juga kisah menarik tentang Evan sebelum ia menjadi bintang seperti sekarang:
Meskipun Garuda Muda memiliki gelandang gelandang hebat lain seperti Paulo Sitanggang ataupun Zulfiandi hingga Adam Alis, toh tim masih sangat bergantung pada Evan.
Kemampuan Evan memang terbilang spesial untuk ukuran pesepakbola Indonesia. Secara kasat mata saja para penikmat sepakbola Indonesia tahu betapa istimewanya Evan kala beraksi di lini tengah tim Garuda, Ilmunya bahkan terasah karena pernah mengecap pengalaman mengikuti pelatihan di La Masia, akademi raksasa Spanyol FC Barcelona.
Tetapi apakah memforsir kemampuan Evan Dimas adalah hal yang baik?
Kita kembali ke 11 tahun ke belakang, tahun 2004. Kala itu muncul mutiara yang dirasa akan gemilang terangnya di masa mendatang. Dialah Boas Solossa yang menjadi sensasi di Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI 2004 di Palembang. Bochi, panggilan Boaz Solossa, membawa pulang medali emas cabang sepakbola bersama tim sepakbola PON Papua.
Baca juga:
Kegemilangan Boaz tersebut juga menarik perhatian pelatih kepala tim nasional sepakbola Indonesia saat itu, Peter White. Withe bahkan berani memberikan debut senior untuk Bochi ketika Indonesia berhadapan dengan Turkmenistan di kualifikasi Piala Dunia 2006, dalam pertandingan tersebut dirinya mencatatkan dua assist untuk kemenangan 3-1 Indonesia atas tim asal pegunungan Kaukasus tersebut. Dan tidak menjadi kejutan ketika Withe memasukan Boas dalam susunan pemain Indonesia untuk turnamen regional Asia Tenggara, Piala Tiger (kini Piala AFF) pada tahun yang sama.
Di turnamen yang diadakan setiap dua tahun tersebut, pemain yang meraih gelar sarjana ekonomi di Universitas Cendrawasih tersebut baru berusia 18 tahun. Akan tetapi usia muda tidak menghalangi Boaz untuk menunjukan kemampuan terbaiknya bahkan dirinya mengisi pos utama di sayap kiri timnas Indonesia menggeser Mahyadi Panggabean yang berusia 4 tahun lebih tua.
Tampil impresif sepanjangan turnamen dengan mengemas 4 gol, termasuk satu gol yang dicetak kala mempermalukan rival Malaysia. Di partai puncak, Boaz justru bermain tidak maksimal, ia menderita cedera ankle pada leg pertama babak final [baca: Boaz, Dia yang Tak Patah Meski Pernah Patah]. Cedera ini disinyalir juga karena Boaz terus bermain penuh dari babak kualifikasi hingga partai final. Tanpa Boaz serangan Indonesia tumpul dan harus merelakan gelar juara ke Singapura.
De Javu kembali terjadi awal tahun ini.
Evan Dimas yang bermain gemilang di Piala AFF U-19 dan kualifikasi Piala Asia U-19 2013, akhirnya mendapatkan cedera bahu sebelum partai pamungkas kualifikasi Piala Asia U-23 awal tahun ini. Ia pun bermain tidak maksimal pada partai penentuan melawan Korea Selatan. Indonesia harus bertekuk lutut 0-4. Sekaligus mengubur mimpi untuk bermain di Piala Asia tingkat muda setelah absen cukup lama.
Setelah Boaz kini Evan. Setiap bakat muda diforsir habis habisan tenaganya. Pemain muda seperti Evan atau Boas kala itu tentu senang saja karena akan bermain terus, bangga juga tentunya karena bisa mewakili merah putih di pentas internasional. Belum lagi keuntungan materil yang didapatkan. Tentu itu semua menjadi pencapaian tersendiri bagi seseorang yang bahkan belum genap berusia 20 tahun.
Tapi ini bisa berujung kurang baik. Karena sekali pemain cedera, bagian tubuh tersebut menjadi rawan cedera di masa mendatang, dan bisa saja menjadi titik lemah karena akan diincar oleh lawan di masa-masa mendatang. Belum lagi cedera juga bisa menurunkan kemampuan pemain tersebut. Karena fisiknya tidak lagi sebugar dan sekuat sebelum cedera.
Idealnya tim pelatih maupun tim kesehatan mengetahui tingkat kebugaran yang dimiliki pemain pemainnya. Sudah jelas manusia memiliki tingkat kelelahan tertentu setelah fisiknya bekerja keras. Penting untuk memastikan agar setiap pemain, apalagi di usia yang masih muda, untuk tidak dibei beban fisik dan mental yang melampaui batas kemampuannya.
Dan apabila Indonesia tidak melaju lebih jauh di SEA Games 2015 kita mungkin bisa menduga jawabannya: ya, karena Evan Dimas kelelahan, sebab Evan Dimas juga manusia.
Penulis: Aun Rahman, bisa dihubungi melalui akun twitter: @aunrrahman
Komentar