Kiper timnas Inggris Joe Hart mengaku lebih memilih menghindari adu penalti ketika menghadapi Italia di partai perempat final Piala Eropa 2012 lalu.
Hal tersebut ia ungkapkan setelah partai antara Inggris kontra Italia diprediksi akan diakhiri dengan drama adu penalti. Apalagi pelatih The Three Lions Roy Hodgson mengaku telah mempersiapkan kesebelasannya untuk menghadapi drama tos-tosan.
Namun, kiper Manchester City itu mengaku meski siap menghadapi penalti, tapi ia ingin kesebelasannya meraih kemenagan sempurna dengan permainan terbaik yang dimiliki The Three Lions.
âSaya lebih memilih untuk meraih kemenangan dengan cara yang sempurna yakni dengan bermain bagus dan solid serta mencetak gol. Hal tersebut membuat kami tak perlu takut bahwa laga akan berakhir dengan adu penalti,â ungkap Hart seperti dikutip The Sun.
Dalam hal tidak menyukai adu penalti, Franz Beckenbauer begitu juga. "Tendangan penalti selalu tidak adil karena banyak keberuntungan yang terlibat di dalamnya," ujar legenda sepakbola Jerman itu.
Bagi Beckenbauer, babak adu penalti juga dianggap tidak adil karena tidak menggambarkan pertandingan sebenarnya. Ini karena kesebelasan yang bertahan total dalam suatu pertandingan bisa saja memenangkan pertandingan melalui adu penalti.
Namun tekanan selama menghadapi bisa diredam jika berhasil mengendalikan lima hal di bawah ini.
Tekanan Mental Sebagai Faktor Utama
Satu alasan yang dikemukakan oleh para oposisi adu penalti adalah karena adanya beban mental berbeda bagi tiap kesebelasan dan tiap penendang. Ini karena kesebelasan penendang kedua diharuskan mengejar ketertinggalan dari lawannya.
Bahkan, jika penendang kesebelasan pertama gagal, kesebelasan kedua juga masih mempunyai beban harus sukses penaltinya untuk dapat memenangi pertandingan. Kondisi demikian jadi salah satu alasan lain mengapa adu penalti dianggap tidak adil.
Peneliti dari London School of Economics dan Political Science (LSE) juga mengemukakan, bahwa kesebelasan yang melakukan tendangan pertama memiliki presentase kemenangan sebesar 60%. Faktor psikis dan tekanan yang menjadi salah satu alasan terbesarnya.
Itulah kenapa skill penendang masih dianggap sebagai faktor nomor dua. Faktor mental untuk menghadapi tekanan jadi yang utama dalam eksekusi penalti.Tak heran banyak pelatih memilih sang algojo berdasarkan pengalaman dan kondisi psikis pemain. Selain itu, saat menyiapkan kesebelasan dalam turnamen dengan sistem gugur, sang pelatih juga menyisipkan menu khusus berupa latihan tendangan penalti.
Beda Perlakuan pada Kiper dan Algojo
Beban mental terbesar selalu ada di sang algojo tendangan, sementara kiper relatif tidak ada beban dalam situasi ini. Ini karena kiper lebih sering dipersepsikan sulit untuk menggagalkan penalti. Maka, kiper yang gagal menghalau bola dianggap biasa saja, sementara yang sukses menahan penalti diasosiasikan sebagai kiper yang hebat.
Hukuman yang berbeda untuk kiper dan algojo ini dikarenakan, dalam kondisi normal, penendang memang seharusnya lebih unggul dari kiper.
Sederhananya, tendang saja bolanya sekencang mungkin ke arah terjauh kiper. Kecepatan bola akan sulit untuk dihalau, jika kiper hanya melihat bola dari arah setelah ditendang tanpa menebak sebelumnya.
Menunjukkan Superioritas dan Selangkah Lebih Maju
Ketika adu tendangan penalti, kesatuan kesebelasan sebagai kekuatan tidak lagi dominan. Ujian sebenarnya ada pada masing-masing kekuatan individu pemain: adu kekuatan, keterampilan, dan mental antara sang eksekutor dan kiper.
Adu pamer kekuatan sering ditunjukan oleh keduanya sesaat sebelum tendangan dilakukan. Beberapa kiper melakukan gestur pamer otot, seperti menendang tiang atau memukul bagian atas gawang hingga bergetar. Praktek menyingsingkan lengan baju atau memantulkan bola kuat-kuat kuat juga sering dipakai, untuk memberikan kesan kuat dan penuh percaya diri.
Sementara bagi penendang, gerakan yang jamak dilakukan adalah melakukan ancanga-ancang jauh, untuk menanamkan mindset bahwa bola akan meluncur sangat deras. Selain itu, sikap lainnya adalah dengan berpura-pura tenang dengan berdiri tegak sambil menatap tajam kiper, seolah-olah bola akan mudah masuk ke gawang.
Salah satu yang fasih melakukan trik demikian adalah Ryan Giggs. Lihat saja berbagai rekaman video tendangan penaltinya. Giggs bahkan sangat jarang menempatkan bola ke titik putih menggunakan tangan. Secara santai ia hanya menata bola menggunakan kaki, menunjukkan keyakinan besar bahwa tendangan penalti adalah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Mind Game dan Intelejensi Pemain
Ada banyak trik ataupun cara umum untuk jadi kiper yang jago dalam menahan penalti. Beberapa di antaranya adalah melihat arah lari penendang sebelum menyentuh bola, atau memperhatikan mata sang eksekutor. Kedua cara tersebut memang paling gampang dan jamak dipraktekan. Ambil contoh, pemain dengan kaki kanan yang berlari dari arah kiri bola, maka bola cenderung akan bergerak ke kanan. Ini berlaku sebaliknya.
Hal yang perlu diperhatikan lain adalah mata eksekutor tendangan, karena bola tidak akan jauh dari sudut pandangnya. Pada saat fokus menentukan arah tendangan, otak dan mata sendiri akan melakukan koordinasi agar sejalan dengan gerak tubuh pemain. Reflek alami gerak mata ini sulit untuk dihindari terutama bagi pemain yang minim pengalaman.
Contoh praktek mind game lain adalah berpura-pura memberitahukan arah jatuh (dive) oleh kiper. Ini persis seperti yang dilakukan kiper kedua Barcelona, Pinto saat bertanding melawan Malaga. Saat itu, dengan ekspresi yang lucu, Pinto menunjuk arah kiri badannya seolah memberi tahu ke mana dia akan bergerak. Benar saja, bola meluncur tepat ke arah kiri. Pinto dengan mudah menangkapnya.
Hal ini kerap dilakukan oleh banyak kiper, dengan tujuan memanfaatkan efek psikologis agar otak bertabrakan. Jika arah yang diinginkan penendang sejak awal sama dengan yang ditunjukkan kiper, maka penendang akan berpikir ulang. Ataupun jika ternyata berlawanan, akan kembali timbul keraguan, "apakah ini sekadar tipuan agar saya harus menendang ke arah sebaliknya".
Fokus dan konsentrasi sang algojo akan hilang sesaat. Otak yang bertabrakan membuat kordinasi gerakan tidak sempurna dan tubuh cenderung bergerak kaku. Akibatnya tendangan mudah ditebak oleh kiper.
Baca juga:Â Luapan Emosi Emir Spahic Pasca Kalah Adu Penalti (Lagi)
Mempelajari Kebiasaan dan Trik Lawan
Petr Cech menonton DVD tendangan penalti pemain Bayern Munich selama 2 jam dalam persiapannya menghadapi final Liga Champions 2012. Hasilnya dia dapat menebak seluruh arah tendangan algojo Bayern, dan sukses menggagalkan 2 di antaranya. Cech membawa Chelsea jadi juara Eropa untuk pertama kalinya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kiper dunia selalu menonton ulang video, membuka catatan, ataupun berdiskusi dengan pelatih kiper jika menghadapi pertandingan yang kemungkinan berakhir dengan adu penalti.
Ben Foster, (eks) kiper Manchester United dalam pertandingan Piala Carling antara kesebelasannya melawan Tottenham Hotspur pun pernah melakukannya. Ia menonton ulang video penalti pemain Spurs hanya sesaat sebeum adu penalti dilakukan melalui ipod miliknya.
Tentu yang paling hangat adalah keberhasilan Pepe Reina menggagalkan rekor 100% penalti Mario Balotelli, yang selalu masuk dalam 21 percobaan. Dalam rahasia yang diungkapnya pada media, Reina mengatakan bahwa dia sudah mempelajari khusus tendangan Balotelli sebelum bertanding.
Baca juga kisah lengkapnya mengenai trik memenangkan penalti di kanal About The Game. Dan Mengapa Balotelli yang Terbaik & Messi Buruk dalam Urusan Penalti?
Komentar