Mengikuti aktivitas olahraga, seni, organisasi, atau musik di sekolah bisa menjadi pelarian dari penatnya rutinitas. Kegiatan ekstrakurikuler pun dipandang penting untuk mengembangkan bakat siswa di luar pendidikan formal.
Ekstrakurikuler yang lebih kompleks umumnya hadir di tingkat SMP hingga SMA. Di sekolah penulis saja untuk urusan olahraga terdapat sejumlah ekstrakulikuler seperti sepakbola, futsal, softball, bola voli, basket, renang, hingga tenis. Mengikuti kegiatan ekstrakurikuler memang mengorbankan waktu dan tenaga, tapi juga menunjang kreativitas dan pengalaman siswa.
Berdasarkan penelitian Universitas Villanova dan Universitas Stanford, sebanyak 87 persen siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah mengaku amat senang, kecuali jika mereka melakukannya lebih dari empat jam sehari.
âJika Anda melakukan kegiatan ekstrakurikuler lebih dari 20 jam selama seminggu, mulai bermunculan masalah kesehatan,â tutur Denise Pope peneliti dari Stanford. Bukan cuma masalah kesehatan, tapi juga berkaitan dengan masalah emosi, kurang tidur, dan tingginya tingkat tekanan.
Umumnya rekan-rekan penulis yang masuk ekstrakurikuler sepakbola atau futsal, sudah terlebih dahulu berlatih di sekolah sepakbola (SSB). Maka banyak dari rekan-rekan penulis yang tersisih saat diadakan seleksi karena mayoritas yang masuk tim utama adalah mereka yang lebih berpengalaman. Karena buat sejumlah sekolah, ekstrakurikuler populer bukan lagi soal âberlatih dan belajarâ melainkan memberi prestasi bagi sekolah.
Menjadikan ekstrakurikuler sebagai satu-satunya pegangan untuk masa depan sebenarnya kurang begitu tepat, terutama soal olahraga. Ekstrakurikuler dibuat sedemikian rupa untuk mengalihkan kepenatan dari rutinitas sekolah.
Mereka yang masuk di SSB umumnya berlatih mulai dari dua kali seminggu, tiga kali seminggu, hingga setiap hari. Saat hari sekolah, latihan biasanya diadakan saat sore, sedangkan pada akhir pekan dilangsungkan pagi dan sore hari.
Memasukkan anak ke SSB secara tidak langsung menginginkan anak tersebut menjadi pesepakbola, atau setidaknya lebih pandai bermain bola. Pasalnya, berlatih di SSB, selain membuang waktu dan uang, juga berpotensi menurunkan prestasi akademik karena terlalu fokus berlatih.
Untuk menjadi pesepakbola yang unggul, tentu diperlukan latihan secara konstan. Kalaupun tidak bersama tim SSB, setidaknya berlatih menggunakan bola untuk menguasai sebanyak mungkin sentuhan. Mendambakan prestasi akademik yang bagus sejalan dengan prestasi non-akademik agaknya agak sulit tercapai, terutama dalam bidang olahraga.
Olahraga prestasi memerlukan ketekunan bagi yang menggelutinya. Tidak ada yang namanya prestasi instan. Semua dilakukan lewat proses panjang yang menguras waktu dan tenaga. Dalam olahraga biliar, tidak ada yang namanya pensiun. Mereka yang pensiun adalah mereka yang tidak berlatih, karena di biliar pengalaman dan latihan menjadi hal yang penting sebagai barometer prestasi atlet. Jangan heran kalau tidak sedikit juara turnamen yang berusia di atas 40 tahun.
Mayoritas rekan-rekan penulis yang pernah bermain sepakbola untuk tim lokal, tidak ada satupun yang menonjol dan berprestasi di bidang akademik. Terkadang untuk mencapai prestasi di bidang tertentu, mesti ada yang dikorbankan.
Dikutip dari quartz terdapat dua kelompok yang silang pendapat soal kegiatan di luar sekolah. Kelompok pertama menganggap kalau ekstrakurikuler bisa membangun kemampuan baru, memperluas cakrawala, meningkatkan pertemanan, hingga mengurangi waktu yang dihabiskan anak di hadapan layar. Anak-anak yang banyak beraktivitas di luar memiliki kemampuan akademik yang lebih baik dan turunnya tingkat depresi.
Sementara itu kelompok kedua mengungkapkan bahwa justru dengan terlalu banyak aktivitas membuat masa kanak-kanak menjadi terlewatkan. Kegiatan di luar sekolah pun mengantarkan anak menjadi lebih tertekan, kurang tidur, depresi, dan cemas.
Denise Pope melakukan survey terhadap 8.838 siswa dari 16 SMA yang berbeda. Sebanyak 86% anak-anak yang menghabiskan 9,6 jam di luar rumah beralasan mereka mengikuti aktivitas ekstrakurikuler karena memang menikmatinya, bukan karena perintah orang tua atau pihak luar.
Dari penelitian tersebut bisa terlihat kalau tekanan yang sebenarnya bukan dari kegiatan ekstrakurikuler melainkan dari tugas-tugas akademik. Kegiatan ekstrakurikuler membuat waktu untuk mengerjakan dan belajar tugas-tugas akademik menjadi lebih singkat. Sebanyak 69% siswa menyatakan kalau mereka merasakan tekanan akibat tugas-tugas akademik.
Tugas-tugas akademik memang menjadi hantu yang menakutkan bagi para âaktivisâ. Mengombinasikan kegiatan akademik dengan ekstrakurikuler memang masih belum bisa dicapai formulanya.
Dalam sebuah penelitian, JA Fredericks mengemukakan kalau anak kelas 10 yang melakukan aktivitas lebih dari 14 jam setiap pekan bisa mengganggu aktivitas akademik. Ini yang dilakukan dua rekan penulis yang mengorbankan karirnya di sepakbola dan menjadikannya hobi semata. Keduanya merasa kalau latihan menyita waktu mereka untuk belajar dan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, keduanya berniat untuk melanjutkan ke universitas negeri yang menggunakan tes ujian masuk yang bikin ngeri.
Psikiatris dan penulis Childhood Roots of Adult Happiness, Ned Hallowell, menyatakan kalau dorongan berlebihan dari orang tua bisa membuat anak menderita. âTerlalu banyak berarti memberi penderitaan. Masa kanak-kanak semestinya tentang petualangan, kegembiraan, masa-masa untuk bermimpi dan keingintahuan, usil, jatuh dari sepeda, berteman, musuhan, dan kembali berteman,â ucap Ned.
Salah satu faktor lainnya tentu dari lingkungan terdekat yakni keluarga. Tidak sedikit orang tua yang menginginkan anaknya aktif, tapi tak ingin mengorbankan prestasi akademik. Padahal, seperti diungkapkan oleh Ned, dorongan berlebihan dari orang tua itulah yang membuat anak-anak tertekan dan menderita.
Adakah di antara pembaca yang pernah mengalami dilema yang sama antara memilih pendidikan atau sepakbola?
foto: bfa.hk
Komentar