Sebenarnya tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi menonton langsung pertandingan sepakbola dari tribun stadion, apalagi pada pertandingan-pertandingan dengan atmosfer tinggi. Namun bagi yang tidak bisa atau tidak ingin ke stadion, sebenarnya bisa saja merasakan atmosfer menonton seperti di tribun. Teknologi virtual reality (VR) atau realitas maya memungkinkan hal tersebut sekarang.
Melalui konten audio-visual dengan format 360 derajat, kolaborasi antara olahraga (terutama sepakbola) dan teknologi VR memungkinkan penonton untuk menyaksikan aksi-aksi yang terjadi di tempat yang jauh menjadi “dekat” dan hidup.
Pada 2016, UEFA (badan sepakbola Eropa) pernah memberikan izin pemasangan kamera-kamera 360° di stadion-stadion yang digunakan pada Piala Eropa (Euro) 2016. Tidak hanya di tribun, tetapi di ruang ganti, lorong pemain, ruang konferensi pers, dan bahkan di atas lapangan.
Teknologi seperti ini di sepakbola bisa membuat penonton seolah-olah hadir menyaksikan pertandingan di stadion tanpa harus melakukan banyak hal merepotkan sebelumnya seperti perjalanan, antre tiket, berdesakan, dan lain sebagainya, belum lagi jika semuanya memiliki biaya yang tinggi.
Bayangkan jika teknologi seperti VR sudah mainstream, kita bisa menyaksikan pertandingan Liga Primer seolah langsung di stadion, padahal kita berada di Indonesia, lebih dari 10.000 km dari tempat pertandingan.
“Aku memprediksi, berdasarkan aktivitas saat ini, plus perangkat keras dan pengujian yang telah aku lihat, pengguna awal akan dapat menikmati sepakbola VR dalam waktu tiga tahun dan itu akan menjadi hal yang biasa dalam lima tahun,” kata Simon Gosling, ahli VR Unruly dalam wawancaranya dengan Dream Team pada Juni 2017.
Bukan Hanya dari Tribun
Pada final Liga Champions UEFA 2017 (Juventus 1-4 Real Madrid), FOX Soccer sudah mempublikasikan teknologi VR meski belum dilakukan secara live.
FA (asosiasi sepakbola Inggris) juga pernah melakukannya bersama Tim Nasional Inggris saat mereka melakukan pertandingan persahabatan melawan Belanda pada 2016. Pada pertandingan yang diselenggarakan di Wembley tersebut, Inggris kalah 1-2.
Dari dua contoh di atas, pengalaman menonton pertandingan memang terasa lebih hidup. Apalagi penonton juga dibawa ke ruang ganti, lorong pemain, bench, bahkan melihat pertandingan dari sudut pandang pemain atau wasit, yang bahkan penonton di stadion biasa—dengan harga tiket termahal sekali pun—hampir pasti tak bisa mendapatkannya.
“Pencipta konten dan penyiar perlu mempertimbangkan bagaimana memberi penonton perasaan berada di sana (stadion) tanpa meninggalkan kenyamanan sofa,” kata Gosling.
“Misalnya penggemar sejati akan senang mengetahui bagaimana rasanya berada di ruang ganti selama turun minum, atau bagaimana rasanya berjalan keluar dari terowongan dan ke lapangan di depan kerumunan orang yang menderu.”
“Ketika pertandingan, kemampuan untuk menyesuaikan pandangan untuk menonton aksi dari mana pun adalah game-changer yang nyata.”
“Bayangkan melihat aksi dari kamera 360 [derajat] kecil yang dipasang di mistar gawang, memberi pandangan mata kiper terhadap pertandingan. Kamu dapat menonton saat lawan menerobos masuk, mengikuti [alur] bola saat umpan silang menuju kepala penyerang dan diselamatkan atau terbang melenceng keluar.”
“Kamu kemudian dapat mendengarkan sorak-sorai yang mengguncang di sekitarmu,” lanjut Gosling.
Namun apakah teknologi VR bisa semudah itu diterapkan untuk pertandingan-pertandingan langsung (live)?
“Aku tak yakin bahwa kami akan ingin menonton seluruh permainan mengenakan headset,” kata Gosling. “Aku pikir kita mungkin akan sampai pada titik di mana kamu menonton pertandingan TV 2D biasa tetapi memiliki opsi untuk melihat tayangan ulang menggunakan headset VR-mu.”
Masa Depan VR dan Kendalanya
Di Jepang, teknologi VR banyak berkembang untuk kebutuhan seks swalayan (self sex). Namun bidang ini bukan satu-satunya yang berkembang. VR juga digunakan dalam simulasi latihan militer, jurnalisme, gim, arsitektur, perancangan tata kota, terapi psikologis, dan bahkan pengadilan.
Untuk bidang jurnalisme, New York Times mengabadikan Pertempuran Fallujah (militer Irak melawan ISIS) dengan memanfaatkan VR. The Guardian juga menggunakan VR untuk mengajak pembaca merasakan pengalaman 80.000 warga Amerika Serikat yang mendekam di ruang isolasi penjara. Pada konsumsi yang lebih ringan, Washington Post memiliki rubrik VR Room yang menyajikan berbagai foto 360 derajat tempat-tempat historis di Amerika Serikat.
Sementara untuk bidang pengadilan, Staffordshire University (Inggris) pernah menguji teknologi ini untuk “mengantarkan” anggota-anggota juri ke tempat kejadian perkara untuk menyaksikan rekonstruksi kejahatan secara langsung dan lengkap. Penerapan teknologi ini bukan hanya meningkatkan pengalaman dan mutu peradilan, melainkan juga menghemat biaya.
Baca juga: Hadirnya Teknologi Optik di Sepakbola, Kemajuan atau Ancaman?
Selain VR, ada pula teknologi AR (augmented reality) atau realitas tertambah yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan/atau tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata tiga dimensi lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut dalam waktu nyata.
Tidak seperti VR yang sepenuhnya menggantikan kenyataan, AR sekadar menambahkan atau melengkapi kenyataan. Teknologi AR sudah mulai dikembangkan terutama untuk arsitektur dan desain interior dalam perannya menggantikan maket dan melengkapi model 3D. Institut Teknologi Bandung bahkan sedang mengembangkannya.
Sebagai pengguna, ada tiga cara umum yang digunakan untuk menikmati teknologi VR, yaitu cardboard (hanya bisa digunakan dengan telepon pintar), headset VR, dan room-scale VR (tidak perlu diam di tempat selama digunakan).
Google Cardboard merupakan perangkat paling murah seharga 15 dolar AS (bahkan ada pula yang seharga kurang 20 ribu rupiah) namun memberikan efek pengalaman yang tidak maksimal.
Sementara room-scale VR bisa memberikan pengalaman maksimal namun harganya bisa mencapai 600 dolar AS (harga paket komplet Oculus Rift dari Facebook).
Sementara bagi produsen konten, mereka bisa menggunakan peralatan VR broadcasting yang sudah ada di pasaran. Masalahnya ada pada bandwidth dan izin siarannya. Jika itu sudah bisa diatasi, siaran bisa dilakukan dari YouTube atau Facebook, yang keduanya memiliki fasilitas live.
Salah satu kendala paling serius dari VR adalah pada para penggunanya. Mereka biasanya mudah limbung. Menurut Wired, aplikasi VR yang memuat konten video 360 derajat rata-rata ditonton dalam waktu 14 menit dan 27 detik per hari.
Pertandingan sepakbola saja 90 menit. Jika itu dianggap terlalu lama dan bisa membuat pusing dan lelah, maka VR lebih cocok hadir untuk cuplikan-cuplikan pertandingan, bukan siaran langsung pertandingan.
Namun itu semua adalah hasil dari teknologi hari ini. Entah teknologi seperti apa yang akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Mengutip Fast Company, penerapan dan penggunaan teknologi VR (beserta AR) akan menghasilkan pendapatan hingga 150 miliar dolar AS pada 2020. Jadi secara umum, VR diprediksi memiliki masa depan cerah.
Penerapan VR di Sepakbola Indonesia
Pengembangan VR untuk sepakbola berjalan perlahan tapi pasti. Akan tetapi bagi Indonesia, sepertinya ada urgensi untuk mengembangkan dan mencoba VR dalam siaran langsung pertandingan.
Baca juga: Menonton Indahnya Sepakbola Melalui “Laba-Laba”
Persib Bandung dan Arema FC mendapatkan larangan penonton hadir di stadion, setidaknya (seharusnya, jika tidak berubah) sampai tahun depan. Banyak yang menyayangkan keputusan ini.
Pada saat-saat yang tak mengenakkan ini, mungkin menjadi saat yang tepat untuk memperkenalkan teknologi VR terutama kepada Bobotoh dan Aremania agar mereka bisa merasakan seolah-olah tetap menonton dari dalam stadion, bahkan mungkin sampai ruang ganti pemain.
Dengan penerapan teknologi ini, pengalaman matchday tetap bisa dirasakan. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, pengalaman hadir di stadion kandang lawan—yang selama ini hampir tidak pernah ada—juga bisa dirasakan.
Namun teknologi ini memang secara umum tidak berpengaruh kepada fungsi suporter untuk mendukung kesebelasannya. Bagaimanapun kesebelasan yang suporternya tak hadir langsung di stadion tidak bisa merasakan atmosfer dukungan dari mereka.
Meski demikian, jika dikombinasikan dengan aplikasi lain, bentuk dukungan tersebut bisa saja direalisasikan dengan menggunakan teknologi. Misalnya dengan memanfaatkan telepon pintar yang terhubung dengan pengeras suara stadion.
Sementara bagi kondisi finansial kesebelasan, teknologi ini juga tak memiliki pengaruh besar kecuali pihak kesebelasan sendiri yang mengembangkan dan menjualnya kepada para suporter.
Apa yang membuat VR begitu spesial adalah bahwa teknologi ini bisa membuat para penggunanya seperti merasakan pengalaman langsung, membuat orang merasa seolah-olah ada di sana, dan memunculkan reaksi emosional yang lebih kuat. Ini semua adalah sensasi tingkat lanjut dalam menonton sepakbola.
Gambar: LiveLike - Medium
Komentar