Kenapa Menjadi Juara Bertahan Itu Sangat Sulit?

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Kenapa Menjadi Juara Bertahan Itu Sangat Sulit?

Mempertahankan kesuksesan lebih sulit daripada meraih kesuksesan. Pernyataan di atas tentunya sudah sangat umum kita ketahui. Jika kita mengaplikasikan pernyataan di atas kepada tabel klasemen sementara di Liga Primer Inggris, maka kita akan menemukan contoh yang sangat pas.

Juara bertahan Liga Primer 2014/15, Chelsea, sekarang sedang berada di peringkat 15 dengan 11 poin dari 10 pertandingan. Ini bukanlah hal yang menggembirakan bagi sang juara bertahan. Kita semua pasti terheran-heran.

Umumnya, setiap juara adalah mereka yang memiliki kekuatan paling tinggi di antara kesebelasan lainnya, apalagi jika alat ukurnya menggunakan liga di mana setiap kesebelasan bertemu sebanyak dua kali selama semusim.

Setiap kesebelasan pasti ingin mengalahkan kesebelasan juara. Jadi, sama seperti sebuah pohon atau bangunan: Semakin tinggi posisi sebuah kesebelasan, semakin tinggi pula tekanan yang harus mereka hadapi.

Jika kita melihat kasus terbaru di Liga Primer ini, sejujurnya apa yang dialami Chelsea sekarang ini bukan sesuatu yang mengagetkan. Untuk memahaminya kita bisa sama-sama menyimak tabel juara bertahan di bawah ini.

Tabel_juara_bertahan_EPL
Tabel juara bertahan Liga Primer Inggris

Ada satu tren yang bisa kita simpulkan dari tabel di atas. Meskipun hanya ada lima kesebelasan yang pernah menjadi juara Liga Primer, ternyata dari 23 musim Liga Primer bergulir, hanya tujuh kali saja kesebelasan juara bertahan di musim sebelumnya yang bisa mempertahankan gelar juara mereka di musim selanjutnya.

Sebanyak 11 kali kesebelasan juara Liga Primer posisinya langsung melorot di musim selanjutnya ke peringkat ke-2, kemudian ada dua kali kejadian di mana sang juara bertahan turun ke peringkat ketiga di musim selanjutnya, begitupun dua kali juga juara bertahan harus melorot terjun bebas ke peringkat ke-7 pada musim berikutnya.

Sejujurnya, hanya Manchester United yang bisa konsisten dengan gelar juara mereka (enam kali mempertahankan juara dari 13 gelar juara mereka). Tapi kalau boleh mau lebih jujur lagi, kesuksesan ini bukan karena Manchester United, namun lebih karena faktor Sir Alex Ferguson.

Jika ada satu manajer lain yang bisa menyamai perolehan Sir Alex, sejarah menjawab ia adalah José Mourinho. Mourinho yang membawa Chelsea juara pada musim 2004/2005, berhasil mempertahankan gelarnya tersebut pada musim selanjutnya di 2005/2006.

Jadi, kalau ini merupakan masalah manajer, seharusnya Mourinho tidak mendapatkan banyak kesulitan di musim ini. Setidaknya kalaupun ia kesulitan, Chelsea tidak terpuruk-terpuruk amat di peringkat ke-15.

Faktor mental yang paling berpengaruh

Masalah yang dihadapi juara bertahan ini tidak sesederhana yang kita bayangkan. Pada prinsipnya, lebih banyak faktor yang berpengaruh mengenai sulitnya menjadi juara bertahan, bukan hanya di Liga Primer dan bukan hanya di sepakbola.

Faktor seperti kelelahan fisik, kekuatan mental, dan kondisi finansial adalah beberapa faktor yang paling berpengaruh di masa modern seperti sekarang ini.

Dalam buku terbarunya yang berjudul "Leading", Ferguson menulis: “Kita semua dihantui oleh kegagalan. Ini dapat menjadi halangan maupun motivasi. Adalah tekad batin saya sendiri untuk menghindari kegagalan yang selalu memberi saya motivasi tambahan untuk berhasil.”

Dari pernyataannya di atas, Ferguson menyatakan bahwa kekuatan mental adalah yang paling utama untuk meraih kesuksesan. Jika kita melihat ke olahraga di luar sepakbola, Elka Graham, seorang perenang legendaris asal Australia, memberikan contoh sempurna untuk mendukung pernyataan Ferguson di atas.

Dalam suatu kesempatan, ia menyatakan bahwa dalam setiap latihan, kebanyakan atlet 90% terfokus pada fisik mereka dan hanya 10% mental. Namun pada saat pertandingan, 90% hal yang paling berpengaruh adalah mental daripada fisik.

Bayangkan jika hal di atas terjadi sebanyak 38 kali yang mana adalah jumlah pertandingan Liga Primer dalam satu musim. Seorang juara adalah mereka yang bisa mempertahankan fisik dan mental mereka dalam kondisi tingkat tinggi sepanjang satu musim penuh, sekitar 9 sampai 10 bulan lamanya setiap tahun.

Belum lagi mereka juga harus beberapa kali berkompetisi di tingkat Eropa yang lebih menguras fisik dan mental, begitu juga dengan kompetisi piala domestik, beberapa pertandingan internasional bersama kesebelasan negara mereka masing-masing, serta sorotan media yang tiada henti-hentinya. Jadi, tentunya tak terbayangkan betapa melelahkannya menjadi seorang juara.

Berani melakukan perubahan

“Meskipun saya selalu mencoba untuk membuktikan sebaliknya, saya percaya jika siklus kesuksesan sebuah tim adalah tidak lebih dari empat tahun. Setelah itu, dibutuhkan perubahan. Jadi kita selalu melakukan visualisasi tim kita untuk tiga sampai empat tahun ke depan, kemudian kita akan membuat keputusan berdasarkan hal tersebut,” kata Ferguson.

Stagnansi adalah musuh utama kesuksesan. Jika kita stagnan pada kondisi sukses, mungkin kita masih bisa menerimanya. Tapi jika kita stagnan dan sulit untuk sukses lagi, maka kita sedang ketinggalan.

Film ‘Spider-Man’ mengajarkan kepada kita bahwa semakin besar kekuatan yang kita miliki, maka akan semakin besar juga tanggung jawab yang kita emban. Begitu juga dengan kesuksesan, semakin kita sukses maka akan semakin besar juga rasa puas diri yang bisa timbul. Ini adalah hal yang berbahaya.

Dalam sepakbola, perubahan adalah hal yang sangat penting secara taktikal maupun psikologi. Pemain-pemain lama harus tetap mendapatkan tantangan dari pemain baru, begitu juga pemain baru yang ingin membuktikan diri, tidak ada zona nyaman.

Ferguson sendiri melakukan regenerasi yang penuh trial and error. Seperti kegagalannya mencari pengganti kiper Peter Schmeichel setelah mereka meraih treble pada 1999. Butuh lima tahun bagi Ferguson untuk mendapatkan Edwin van der Sar melalui Mark Bosnich, Fabien Barthez, Massimo Taibi dan Tim Howard.

Jika kita melihat Chelsea, sepertinya Mourinho memang sudah salah langkah dengan minimal dan terlambatnya perubahan yang ia lakukan di kesebelasannya, terutama pada jendela transfer musim panas kemarin.

Paradigma “don’t change the winning team” sudah sering membuat kesebelasan terbaik hanya sedikit melakukan perubahan di musim berikutnya. Padahal, melalui banyak studi psikologi olahraga, paradigma ini sudah seharusnya berubah.

Apalagi jika kita menambahkan faktor lainnya, yaitu dengan kondisi keuangan yang sudah mulai “gila”. Banyak kesebelasan papan tengah dan papan bawah yang “bangkit” dan semakin memperbaiki diri mereka.

West Ham United kemarin berhasil mempecundangi Chelsea dan bertengger di peringkat tiga, Leicester City sekarang berada di peringkat lima, begitu juga dengan Crystal Palace (7), West Bromwich Albion (10), dan Watford (13, di atas Chelsea).

Melihat data dan fakta di atas, sepertinya masih sulit bagi kesebelasan juara bertahan di Liga Primer untuk menjadi juara kembali di musim selanjutnya.

Mempertahankan kesuksesan memang lebih sulit daripada meraih kesuksesan. Tambahan khusus untuk Chelsea sekarang, mengobati penyakit lebih sulit daripada mencegahnya.

Selengkapnya: Sulitnya Menjadi Juara Bertahan Premier League

AADChelsea

Sumber: FourFourTwo, The Premier League, Harvard Business Review

Komentar