Mudah untuk menjelaskan apa itu "gelandang serang". Tapi begitu diminta menjelaskan apa itu "playmaker", situasinya belakangan menjadi lebih pelik.
Gelandang serang, sesuai namanya, adalah pemain tengah (gelandang) yang bertugas membantu lini penyerangan. Karena tugas utamanya menyerang, maka dia pasti lebih sering berada di depan gelandang bertahan. Tapi karena dia bukan penyerang, maka posisi alaminya juga pasti ada di belakang penyerang.
Jadi, gelandang serang, kira-kira, berarti pemain tengah yang berada di antara gelandang yang bertugas bertahan (gelandang bertahan) dan penyerang.
Ada beberapa tipe gelandang serang. Ada gelandang serang tengah (central attacking midfielder), ada juga gelandang serang sayap (wide attacking midfielder). Sesuai namanya, tengah dan sayap, dua tipe terakhir itu memang bermain di tengah atau di sayap.
Bagaimana dengan playmaker? Pengertian klasik dari playmaker biasanya merujuk pemain yang punya kemampuan mengendalikan ritme serangan sebuah tim. Kata "ritme" disebut karena, dalam definisi klasik, seorang playmaker juga mesti bisa memainkan tempo permainan, kapan menahan bola untuk memberi waktu rekan-rekannya naik, kapan dengan cepat mengalirkan bola guna memanfaatkan posisi lawan yang ringkih.
Dalam pengertiannya yang klasik, playmaker kerap merujuk pemain yang posisinya dalam formasi tim adalah seorang gelandang serang. Seperti yang sudah diuraikan dalam paragraf awal, gelandang serang cenderung lebih sering berada di antara penyerang dan gelandang bertahan.
Sepakbola (pasca)modern memperlihatkan bahwa playmaker tak mesti berposisi sebagai seorang gelandang serang. Nama-nama seperti Andrea Pirlo atau Xabi Alonso memungkinkan lahirnya istilah deep-lying playmaker atau dalam istilah Italia disebut regista.
Belum lagi istilah "central winger", yang mirip-mirip dengan playmaker, tapi posisinya atau awal mula gerakannya lebih sering dimulai dari lebar lapangan. Pemain seperti Eden Hazard di Chelsea atau Samir Nasri di Manchester City, misalnya, bisalah disebut sebagai "central winger": pemain yang banyak menentukan atau mempengaruhi cara atau alur menyerang sebuah tim tapi lebih sering bergerak atau dimulai serangannya dari sisi sayap.
Ini memperlihatkan satu hal penting: jika pengertian gelandang serang relatif tetap, tidak demikian dengan pengertian playmaker. Dari sinilah kemudian muncul sebuah pertanyaan: playmaker itu sebuah posisi pemain dalam formasi tim ataukah peran seorang pemain dalam sebuah tim?
Pertanyaan ini penting untuk digarisbawahi karena bisa digunakan untuk menguji pengertian-pengertian lain dalam taktik sepakbola, misalnya: striker, target man, dan poacher.
Striker atau penyerang biasa dimengerti sebagai pemain yang posisinya berada paling depan dalam sebuah formasi. Sementara target man, yang padanan bahasa Indonesia-nya adalah ujung tombak, juga merupakan pemain yang posisinya berada paling depan dalam sebuah tim.
Istilah target man dan ujung tombak ini lahir ketika pola lima penyerang (2-3-5 atau 2-3-2-3) sedang mendominasi. Dalam pola itu, seorang penyerang tengah (central forward) diapit oleh kiri luar, kiri dalam, kanan luar, dan kanan dalam. Seorang target man, dalam skema demikian, selalu berada di dalam kotak penalti, dan bola hampir selalu diarahkan padanya, terutama melalui umpan-umpan silang.
Tapi, target man kini tak sesederhana itu. Seorang pemain disebut target man tak semata karena posisinya berada paling depan, melainkan juga: punya kemampuan menahan bola, liat dalam menjadi tembok dan pemantul serangan, yang semuanya diabdikan untuk membuka ruang bagi rekan-rekannya (entang dari sayap atau dari lini tengah) untuk naik ke kotak penalti.
Ada yang tetap dalam pengertian striker, tapi ada yang berubah dalam pengertian target man. Lagi-lagi pertanyaan yang sama bisa diajukan: target man itu merujuk posisi bermain ataukah peran seorang pemain dalam sebuah tim?
Lain lagi dengan pocher. Seorang poacher, di masa ketika industrialisasi belum menyebar sedemikian masif, dengan merujuk etimologinya, adalah pemburu yang dengan beragam cara (seringkali ilegal) menangkap dan membunuh binatang liar.
Jika seseorang menangkap dan membunuh binatang yang diternakkan, atau dalam kandang, dia tak akan pernah disebut poacher melainkan akan disebut pencuri. Seorang poacher menangkap dan membunuh bukan untuk komoditas (dijual kembali, untuk memperkaya diri, atau sebagai profesi), melainkan untuk bertahan hidup.
Yang tersirat dari pengertian itu: poacher tak pernah menjadikan aktivitas menangkap dan membunuh binatang sebagai aktivitas utama, tapi "aktivitas sampingan" untuk bertahan hidup, jika aktivitas utama dalam hidupnya (misalnya sebagai petani atau pedagang) tak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dapur dan perutnya. Aktivitas "poaching" lahir karena keterbatasan-keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengertian itu bisa menjelaskan dengan baik apa itu poacher dalam sepakbola. Umumnya, poacher dipahami sebagai pemain yang punya kemampuan membunuh di depan gawang, bahkan walau peluang begitu kecil atau ruang begitu sempit, bahkan ketika dia begitu jarang menyentuh bola.
Pemain disebut poacher biasanya merujuk pemain yang geraknya terbatas, lebih sering berkeliaran di dalam kotak penalti, tidak punya kemampuan yang wah dalam menggiring bola atau mengirimkan umpan, tapi begitu mematikan jika sudah mendapat peluang.
Seorang petani kaya atau seorang bankir atau seorang terpelajar yang sejak kecil hidup berkecukupan, nyaris mustahil menjadi seorang poacher karena dia tak punya kecakapan berburu dan bertahan hidup dalam waktu tak tentu di alam liar. Hanya mereka yang tumbuh dalam akses yang terbatas sajalah (petani di pedalaman, misalnya) yang bisa melakukan aktivitas poacher.
Bandingkan juga dengan seorang Roberto Baggio, Ronaldinho, atau Fransesco Totti. Dengan kemewahan skill yang dimilikinya, mereka punya keluasan area dan kemungkinan yang bisa dijelajahi. Jika pun tak mencetak gol, mereka bisa mengumpan, dapat menahan bola dan ritme serangan, sanggup mengeksekusi tendangan bebas, dll.
Dari sini kita bisa sampai pada rumusan yang lain: jika striker kini merujuk posisi bermain dan target man merujuk peran seorang pemain dalam taktik (serangan) sebuah tim, maka poacher itu posisi atau peran?
Saya kira jawabannya tidak dua-duanya. Poacher, menurut hemat saya, bukanlah posisi bermain dan bukan pula peranan taktik yang diemban seorang pemain. Poacher lebih spesifik lagi. Agaknya, beginilah saya menawarkan subjek untuk didiskusikan: poacher itu merujuk "kualitas individu".
Jika gelandang serang dan playmaker atau striker dan target man hampir semuanya merujuk pada suatu bagian yang tak terpisahkan dari sebuah tim (baik posisi dalam formasi tim atau peran dalam taktik suatu tim), poacher sepenuhnya merujuk kualitas individual.
Per definisi, beginilah argumen saya, poacher ini bisa dipadankan dengan "advance playmaker".
Pemerhati sepakbola yang jeli agaknya sudah mafhum bahwa playmaker dengan gaya ala Zinedine Zidane atau Juan Roman Riquelme sudah relatif langka. Misalnya Riquelme.
Dia mewakili pengertian klasik tentang playmaker sebagai pemain yang sungguh-sungguh bisa mengatur ritme permainan, bukan hanya mengatur ritme serangan. Saat bola di kakinya, permainan yang tadinya bisa demikian cepat bisa mendadak melambat. Dia tidak banyak diberi tanggungjawab untuk melakukan tindakan bertahan, tapi diberi keleluasaan untuk terlibat dan mempengaruhi alur serangan, sehingga diizinkan berlama-lama menguasai bola.
Jika sering mendengar istilah "The Classic No. 10", kira-kira istilah itu merujuk arketipe pemain macam ini.
Xavi, Jack Wilshere, Marco Veratti, Toni Kroos atau Bastian Schweinsteiger, misalnya, kerap berperan sebagai playmaker tapi sukar untuk disebut "advance playmaker" atau "the classic no. 10". Karena tidak semua playmaker punya kemampuan membunuh atau memperlambat arus permainan dan (ini yang terpenting) tidak semua tim atau pelatih mengizinkan atau menyukai ada pemain yang bisa seenaknya bertingkah dengan bola.
Jika gelandang serta striker serang merujuk posisi dan target man serta playmaker merujuk peran pemain dalam taktik sebuah tim, maka poacher dan the classic number 10 lebih kurang merujuk suatu kualitas individu (atau saya ajukan istilah "arketipe").
Jika diperpanjang polanya, maka demikianlah kira-kira: tidak semua gelandang serang punya kemampuan dan peran sebagai playmaker apalagi advance playmaker atau "the classic no. 10", sebagaimana tidak semua playmaker bisa menjadi seorang advance play maker alias the classic no. 10, atau tidak semuaplaymaker kini berada di posisi sebagai gelandang serang. Begitu pula polanya dengan striker, target man, dan poacher.
Kemampuan untuk memilah mana posisi, peran dan arketipe penting untuk menghindari kekacauan berpikir yang bisa berimbas pada kesalahan analisis atau untuk mengelak dari reproduksi terus menerus berbagai klise.
Memahami tiga hal itu (posisi, peran, dan arketipe) ini bisa membantu untuk memahami banjir-bandang istilah sepakbola yang dari hari ke hari terus bertambah kosa katanya. Misal: box to box midfielder, suffaco ataudefensive forward, back three and half, inverted winger atau full back, dll.
Saya katakan "bisa membantu", bukan "pasti membantu", karena sepakbola adalah permainan yang begitu cair dan kompleks. Tiga hal itu pun tak bisa digunakan secara mandiri dan mana-suka karena selalu ada konteks yang mesti dilibatkan dalam analisis. Konteks itu bisa berupa taktik, formasi, konteks zaman, kultur bermain, dll. Sehingga bukan tidak mungkin antara posisi, peran dan kualitas individu itu bisa satu sama lain saling berhimpitan dan saling menyusup.
"Ketidaksepakatan" menjadi hal jamak dalam diskusi mengenai sepakbola, apalagi saat mencoba mengajukan sebuah pengertian atau definisi. Di mana-mana, pengertian selalu menyederhanakan kompleksitas kenyataan.
Pengertian "potlot", jika kita merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, selalu menghilangkan kenyataan-kenyataan lainnya: seperti warna potlot, jenis kayu, jenis arang, dibuat kapan dan di mana, dll. Demikian juga pengertian atau definisi kata-kata apa pun yang bisa kita pilih secara acak dari kamus apa pun.
Ketidaksepakatan dalam mendiskusikan sepakbola juga menjadi hal lumrah bukan karena tiap kepala punya isi yang berbeda, melainkan karena kandungan sepakbola sendiri yang memang kompleks dan dinamis. Menjadi penting yang namanya argumentasi, dan menjadi hal pokok yang namanya konteks.
Karena sepakbola tak sesederhana 4-4-2 vs 4-2-3-1 dan Ancelotti atau Mourinho tak sedang bermain Football Manager.
====
Komentar