Final Liga Champions 2024/25 akan menyajikan laga yang menjanjikan antara Paris Saint-Germain (PSG) menghadapi Inter Milan di Stadion Allianz Arena, Munich, Minggu (1/6). Dua klub dengan sejarah, identitas, dan pendekatan berbeda, namun punya satu tujuan sama yaitu mengangkat “Si Kuping Besar”.
Masing-masing tim ini pernah menjadi pesakitan di final di tahun 2020-an ini. Bagi PSG, ini adalah kesempatan menebus trauma final 2020 dan membuktikan bahwa proyek bersama Luis Enrique bukan sekadar pamer kekuatan finansial. Sementara Inter menemui kegagalan di puncak pada 2023.
Bisa dibilang Inter datang sebagai tim yang lebih matang secara struktur dan lebih berpengalaman di panggung ini—setelah mencapai final pada 2023. Namun skuad asuhan Simone Inzaghi ini akan tampil tanpa Benjamin Pavard, Piotr Zielinski, dan Valencint Carboni karena cedera.
Kendati demikian, masalah tersebut tidak akan jadi masalah karena dalamnya skuad Inter. Klub berjuluk I Nerazzurri ini diperkirakan akan tampil dengan formasi 3-5-2. Sementara PSG akan bermain dengan formasi 4-3-3 tanpa ada daftar cedera di skuat yang dibawa ke Munich.
Ruang Sayap untuk Membongkar Struktur Defensif
PSG musim ini tampil lebih pragmatik dibanding era-era sebelumnya. Di bawah asuhan Enrique, tim ini mampu menyeimbangkan kekuatan individu dan permainan kolektif. Hengkangnya Kylian Mbappé justru membuat PSG lebih team-oriented. Pemain Ousmane Dembélé tampil menonjol dan Vitinha semakin menjadi nyawa di lini tengah.
Bersama Enrique, PSG tampil lebih fleksibel. Meski bermain dengan 4-3-3, kesebelasan ini bisa disulap menjadi formasi 3--4. Atas pemain-pemain muda yang diandalkan Enrique, PSG bisa melancarkan gaya permainan dengan transisi cepat dan eksploitasi ruang dari sayap.
Klub berjuluk Les Parisiens ini juga melancarkan tekanan tinggi yang konsisten sejak lini depan. Trio Kvicha Kvaratskhelia, Ousmane Dembele, dan deside Doue, mampu untuk melakukan hal itu. Ditambah dengan pergerakan bek sayap yang agresif dari Achraf Hakimi di sisi kanan.
Namun tingginya intensitas PSG, membuat mereka kerap kehilangan konsentrasi di fase akhir laga. Meski sudah tidak bertabur bintang seperti musim-musim sebelumnya, sindrom seperti ini terkadang masih melekat bersama PSG dengan dibuktikan ketergantungan individu pada situasi genting.
Sementara Inter adalah contoh bagaimana kontinuitas bisa menghasilkan kestabilan. Inter membangun identitas mereka lewat pendekatan 3-5-2 yang solid, diisi kombinasi pemain berpengalaman dan pemain kunci yang sudah menyatu sejak lama.
Nama seperti Lautaro Martínez, Nicolò Barella, dan Alessandro Bastoni menjadi tulang punggung, dengan Marcus Thuram dan Hakan Çalhano?lu jadi penentu di momen penting. Inzaghi sendiri dikenal memiliki struktur defensif yang rapat dan terorganisir.
Hal ini juga membantu dalam penguasaan bola dan build up dari belakang yang tenang dan efektif. Kemudian disempurnakan oleh duet Marcus Thuram dan Lautaro Martinez di lini depan. Tapi menghadapi PSG yang memiliki kecepatan akan menyulitkan Inter.
Sebab Martinez dkk sering kesulitan ketika melawan tim yang bermain lebar dan cepat. Menghadapi-menghadapi kejutan yang terjadi di lapangan juga menjadi kelemahan Inzaghi karena kurang alternatif jika taktiknya mentok. PSG datang dengan semangat menebus masa lalu dan membawa gaya bermain yang lebih dewasa di bawah Enrique.
Namun Inter punya pengalaman, struktur, dan kedalaman skuad yang sudah teruji. Final ini bisa berjalan sangat ketat. Jika PSG mampu memaksimalkan transisi dan bermain klinis di depan, mereka punya peluang besar. Tapi jika laga berjalan taktis dan lambat, Inter lebih diuntungkan.