Satu kali juara dan satu kali juga menjadi runner-up Piala Dunia ditambah dua kali memenangkan Piala Eropa dan sekali menjadi runner-up ajang itu, tentu Prancis bukanlah tim nasional (timnas) sembarangan. Zinedine Zidane, gelandang terbaik era milenium, juga berasal dari negara tersebut walau Aljazair mengalir di darahnya.
Saat ini, Prancis pun memuncaki klasemen sementara Grup A Kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia. Jika mampu bertahan sampai akhir fase grup, maka Prancis bisa lolos otomatis. Walau begitu posisi mereka belum aman karena hanya terpaut satu poin dari Swedia. Dalam waktu dekat ini Prancis akan bertandang ke Bulgaria dan menjamu Luksemburg pada pertandingan lanjutan Grup A Kualifikasi Piala Dunia 2018, dua laga yang di atas kertas mudah bagi Prancis.
Posisi puncak yang ditempati Prancis sendiri cukup membuktikan kekuatan mereka. Apalagi kini mereka memiliki pemain-pemain berkualitas dengan usia muda. Bahkan bisa dibilang bahwa skuat timnas Prancis di Piala Eropa 2016 adalah generasi emas timnas berlogo ayam jantan tersebut. Sekarang, generasi-generasi baru berpotensi pun seolah makin tidak terbendung.
Tengok saja pemain-pemain yang tidak dipanggil pelatih Prancis, Didier Deschamps, dalam menghadapi Bulgaria dan Luksemburg. Ada nama-nama seperti Anthony Martial, Aymeric Laporte, Kevin Gameiro, Nabil Fekir, Tiemoue Bakayoko dan lain-lain. Padahal mereka bukanlah pemain sembarangan dan memiliki peran penting bersama kesebelasannya masing-masing.
Apalagi Martial dan Bakayoko menunjukkan penampilan yang apik dalam beberapa pertandingan terakhir bersama masing-masing kesebelasannya. Tapi meski tanpa adanya Bakayoko, Deschamps masih memiliki N`Golo Kante, Corentin Tolisso atau Adrien Rabiot. Begitu pun dengan tidak terpanggilnya Martial karena Deschamps memanggil Alexandre Lacazette, Antoine Griezmann, Kylian Mbappe dan Kingsley Coman.
Catatan di atas belum termasuk pemain-pemain yang sedang cedera panjang, seperti Benjamin Mendy, serta pemain termahal kedua di dunia Paul Pogba dan Ousmane Dembele. Maka jika skuat Prancis lengkap, betapa mengerikannya kualitas individu pemain setiap lini.
Melihat kondisi semacam ini, muncul konklusi bahwa Prancis saat ini kebanjiran pemain berkualitas. Alhasil, mau tidak mau selalu ada korban pencoretan pemain yang sebenarnya punya kualitas. Pemain yang dipanggil tentu adalah mereka yang, selain tengah on-form, juga sesuai dengan strategi yang hendak diterapkan Deschamps.
Lalu apa penyebab Prancis memiliki segudang talenta berbakat?
Berawal Dari Kejenuhan Dominasi Paris Saint-Germain (PSG)
Berbicara soal timnas Prancis, lebih baik menengok kualitas dari liga domestiknya itu sendiri. Setelah menjadi runner-up Piala Dunia 2006, Prancis cukup terpuruk di berbagai turnamen internasional, terlepas dari pensiunnya generasi Zidane dkk. Selanjutnya mereka tidak lolos dari fase grup Piala Eropa 2008 maupun Piala Dunia 2010.
Tapi pada saat itu, persaingan Ligue 1 Prancis cukup merata. Bordeaux, Montpellier, Olympique Lyonnais, Olympique Marseille dan OSC Lille, bergantian menjadi juara. Dalam sekitar empat sampai lima musim itu, masing-masing kesebelasannya selalu sekuat mungkin memperkuat skuatnya, baik membeli maupun mempertahankan pemain andalannya. Walau tidak sedikit juga yang menjual pemain-pemain andalannya, tapi tidak semasif beberapa tahun terakhir ini. Perbelanjaan pemain pun dibilang biasa-biasa saja.
Semua itu berubah sejak Paris Saint-Germain (PSG) dipresideni Nasser Al-Khelaifi, konglomerat pemilik Oryx Qatar Sports Investments (QSi) pada 2012 lalu. Sejak itulah Ligue 1 didominasi PSG setelah menjuarai kompetisi itu empat kali beruntun sejak musim 2012/2013 sampai 2015/2016. Dominasi PSG dari gelontoran uang presidennya membuat kesebelasan lain tampak pasrah untuk menyainginya. Alhasil, kesebelasan lain lebih banyak memaksimalkan pemain binaan dan pembelian seadanya.
Setelah itu, banyak pemain binaan yang berkembang tapi sulit menggapai juara bersama kesebelasannya itu. Mereka tampak pasrah. Kecuali jika pemain seperti Lyvin Kurzawa yang memilih meninggalkan AS Monaco untuk bergabung dengan PSG sehingga bisa merasakan gelar juara Ligue 1.
Sementara pemain-pemain berkembang lain justru lebih memilih pergi ke liga lain dengan harapan bisa mencicipi gelar, mendapatkan menit bermain lebih banyak, atau sekadar menambah pengalaman.
Lihat saja pemain-pemain di kesebelasan papan atas di empat kompetisi top lainnya selain Ligue 1. Hampir seluruhnya terdapat pemain Prancis di dalam skuatnya. Sejak dominasi PSG dimulai, pemain-pemain berbakat dari Ligue 1 lebih memilih pergi ke kompetisi lain. Contohnya saja seperti Clement Grenier, Geoffrey Kondogbia, Kurt Zouma, Samuel Umtiti dan masih banyak lagi.
Kingsley Coman dan Lucas Digne pun merupakan korban padatnya skuat bintang PSG sehingga harus memilih pergi ke kesebelasan top liga lain. Selain menambah pengalaman, potensi untuk merasakan gelar juara pun juga ada. Dominasi PSG itu seperti apa yang dikatakan legenda timnas Prancis, Emmanuel Petit tentang situasi Ligue dalam lima tahun terakhir.
"Di Prancis, kita tidak akan pernah tahu (yang akan juara). Rasanya seperti memutarkan koin, kita tidak akan tahu siapa yang akan selesai dengan gelar juara. Tapi dengan Paris Saint-Germain sejak diambil alih orang Qatar, kita selalu berada di dalam posisi yang sama," imbuh mantan pemain Prancis itu seperti dikutip dari Soccerway.
Monaco pun sempat menggeliat melalui uang yang digelontorkan jutawan dari Rusia, Dmitry Rybolovlev. Tapi rupanya itu belum cukup untuk menandingi PSG. Rybolovlev pun seolah menyerah menandingi dominasi PSG. Kebijakan transfer yang sebelumnya jor-joran pun berubah haluan menjadi lebih mengutamakan pemain-pemain binaannya yang dicampur dengan sisa-sisa bintang kekayaannya, seperti Radamel Falcao dan Joao Moutinho.
Namun rupanya cara itu lebih berhasil dan mampu menjuarai Ligue 1 2016/2017. Apalagi saat itu PSG sedang menjalani masa peralihan kepelatihan dari Laurent Blanc kepada Unai Emery. Berbeda dengan kesebelasan lainnya dengan keuangan yang pas-pasan sehingga lebih memilih memaksimalkan pemain binaan sendiri atau rekrutan baru yang biasa saja.
Walau begitu, sisi positif dari monopoli PSG dalam beberapa tahun terakhir tak bisa dimungkiri menjadi penyebab menyebarnya talenta muda Prancis ke luar Prancis. Hal itulah yang membuat pemain berbakat Prancis seolah menyebar di liga-liga top Eropa. Penyebaran mereka jugalah yang membuat Prancis memiliki banyak pilihan untuk skuat timnas mereka sendiri.
Apa yang Diinginkan Pesepakbola Prancis Ada di Clairefontaine
Prancis saat ini bisa dibilang memiliki generasi emas untuk Piala Dunia 2018. Pemain-pemain seperti Griezmann, Mbappe, Paul Pogba dan Raphael Varane berkemungkinan besar bermain pada kompetisi itu jika tidak mengalami cedera. Rupanya, empat pemain itu tidak lepas dari sebuah program yang dicanangkan Federasi Sepakbola Prancis pada 1988 yaitu Le Centre Technique National Fernand Sastre atau yang lebih dikenal dengan sebutan NF Clairefontaine.
Bersambung ke halaman berikutnya
Halaman kedua
Clairefontaine pada dasarnya adalah pusat pelatihan nasional untuk pemain-pemain usia 13 sampai 15 tahun atau timnas junior maupun senior. Clairefontaine merupakan tempat yang sangat menyokong pemain-pemain berbakat kesebelasan Liga Prancis maupun tim nasional juniornya.
Maka yang membedakan Clairefontaine dengan akademi lain adalah, akademi tersebut tidak mengikat para pemainnya. Pemain yang berasal akademi klub manapun bisa daftar untuk mengikuti pelatihan di sana tanpa meninggalkan akademi klub sebelumnya, tentu saja melalui proses seleksi. Di sini, para pemain terpilih, nantinya akan berlatih dari Senin sampai Jumat. Sementara akhir pekan diberikan waktu untuk mengunjungi keluarga atau bermain di akademi klubnya masing-masing.
Di Clairefontaine, para pemain selain ditingkatkan dari segi fisik, taktik, teknik, dan mental juga akan menemukan kekurangan setiap pemain untuk kemudian ditingkatkan. Dimulai dari meningkatkan kemampuan menggunakan kaki terlemah, membuat pemain bergerak lebih cepat, melatih efektivitas pergerakan pemain, dan lain-lain.
Clairefontaine sendiri sebenarnya terbagi ke dalam 12 akademi di 12 kota berbeda. Dari 12 kota tersebut akan diseleksi sebanyak 22 pemain setiap kota. Nantinya dari lebih 260 pemain, setelah seleksi selama tiga hari, akan disaring maksimal menjadi 22 pemain final. Ke-22 bakat-bakat terbaik itulah yang akan dikarantina secara khusus di Clairefontaine yang terletak di Ile-de-France.
Ile-de-France merupakan tempat terpencil di sebuah desa yang cuma dihuni sekitar 900-an jiwa. Bangunan seluas 56 hektar ini memiliki 302 kamar, 10 lapangan (tujuh rumput asli, tiga sintetis), laboratorium sains, ruang permainan, perpustakaan, hingga bioskop. Letaknya pun dekat sekolah menengah atas Lycée Louis Bascan de Rambouillet, di mana setiap pemain akan bersekolah di sana untuk sementara waktu dan diwajibkan meraih Baccalaureat, gelar akademik setingkat lulus SMA jika di Indonesia.
Selain sekolah, ruang permainan di Clairefontaine pun menjadi poin penting. Salah satu fungsinya untuk berinteraksi sosial. Dari ruangan itu juga Pogba dikenal sebagai raja pingpong, atau Lorient Koscielny dan Hugo Lloris ahli dalam bermain biliar, atau Griezmann, Mathieu Debuchy dan Pogba yang jago bermain Playstation. Koscielny dan Patrice Evra pun dikenal sebagai kutu buku karena paling rajin ke perpustakaan.
Pada intinya, semua kebutuhan pemain sepakbola tersedia di sana. Tidak terkecuali bagi Zidane yang ingin mencukur rambutnya. Clairefontaine sampai harus membawa tukang cukur ke sana karena Zidane sempat kabur karena ingin memotong rambutnya. Tak heran model pemusatan latihan dengan fasilitas lengkap seperti ini ditiru Belgia, Latvia dan Turki.
Di tempat itu juga kesebelasan-kesebelasan besar memantau bakat-bakat dari Prancis. Manchester United dan Arsenal adalah kesebelasan yang cukup rajin mengirim pemandu bakat mereka. Martial sudah masuk dalam pantauan MU sejak di sana. Begitu juga dengan Koscielny dan Giroud bagi Arsenal.
Mbappe pun merupakan salah satu lulusan terbaik Clairefontaine sebelum direkrut Monaco. Masih banyak lagi pemain-pemain yang sempat diasah di Clairefontaine sebelum menapaki kariernya, bahkan termasuk para pemain senior seperti Blaise Matuidi, Louis Saha, Nicolas Anelka, William Gallas, Olivier Giroud, hingga top skor sepanjang masa timnas Prancis, Thierry Henry.
Pemandu bakat klub memang harus jeli melihat bakat-bakat Clairefontaine. Karena tak sedikit juga pemain lulusan ini pun sempat ditolak kesebelasan-kesebelasan Prancis, seperti Griezmann, Dimitri Payet dan Kante. Griezmann bahkan direkrut Real Sociedad setelah ia selesai diasah di Clairefontaine.
***
Sejak PSG mendominasi, bakat-bakat Prancis semakin dipoles untuk bisa kembali memperketat persaingan Ligue 1. Bakat-bakat lulusan Clairefontaine pun dimanfaatkan oleh klub-klub Prancis sendiri untuk meminimalisasi pengeluaran tim. Selain itu para pemain muda Prancis pun menyadari kemampuan dan pengalamannya harus diasah di klub luar Prancis. Dari situlah bakat-bakat muda Prancis terbilang matang untuk bermain di level divisi teratas, yang membukakan jalan mereka ke timnas Prancis.
Sumber lain: Daily Mail, Unibet