Luis Enrique dan Evolusi PSG

Luis Enrique dan Evolusi PSG
Font size:

Sejak diakuisisi oleh taipan Qatar, Paris Saint-Germain (PSG) gemar mengumpulkan pemain bintang. Neymar, Kylian Mbappe, juga Lionel Messi, sempat sukses dikumpulkan tapi masih saja gagal menjuarai Liga Champions. PSG baru sukses menjuarai Liga Champions setelah melepas ketiga bintang besarnya itu. 

 

Selain mengangkat trofi Liga Champions pertamanya, PSG juga memenangkan Ligue 1 dan Piala Prancis sehingga meraih treble winners pada musim 2024/25. Bagi Luis Enrique, ini adalah pencapaian treble keduanya setelah bersama FC Barcelona pada musim 2014/2015.

 

Ketika PSG menunjuk Enrique sebagai pelatih kepala pada awal musim 2023/24, banyak pihak yang skeptis bertanya-tanya apakah gaya dan filosofi sepak bola kolektif khas Enrique cocok dengan budaya tim yang selama ini bertumpu pada kemampuan individu bintang-bintang besar?

 

PSG memang klub yang ambisius dan juga penuh tekanan. Di tangan banyak pelatih sebelumnya, mulai dari Thomas Tuchel, Mauricio Pochettino, hingga Christophe Galtier, proyek mereka kerap  di Liga Champions. Namun seiring waktu, Enrique  mulai menunjukkan bahwa ia tidak sekadar pelatih "transisi", tetapi arsitek perubahan mendasar dalam identitas PSG untuk meraihnya.

 

Kini Enrique menjawab semua keraguan dengan satu kalimat yang sederhana tapi penuh makna, yaitu “Proses itu penting.”

 

"Juego de Posición" ala Enrique

 

Enrique datang di tengah restrukturisasi besar-besaran PSG. Messi dan Neymar sudah hengkang. Mbappé saat itu masih bertahan, tetapi proyek Enrique di PSG mulai tidak lagi dibangun di atas popularitas individu. Fokus utama adalah kolektivitas dan struktur. 

 

Pelatih kelahiran 8 Mei 1970 ini memiliki reputasi sebagai pelatih yang disiplin taktik. Namun pada musim pertamanya, Enrique mengisinya dengan eksperimen taktik dan membentuk identitas tim. Seperti yang diperlihatkan dalam sebuah video latihan dengan taktik 11 vs 10 saat pra-musim 2023. 

 

Latihan yang dilakukan saat tur pramusim di Jepang itu sangat sederhana namun efektif. Meskipun tampak ringan, latihan ini sangat bagus untuk mematangkan strategi tim. Latihan ini menampilkan gaya permainan yang sangat mengutamakan kontrol bola rapi dan serangan yang dibangun secara kolektif dimulai dari lini  belakang. 

 

Dengan penguasaan bola yang sangat terjaga, para pemain PSG memperagakan bangunan serangan dari bawah dengan permainan simpel dari kaki ke kaki, satu dua sentuhan, dan gerakan dinamis. Ada pemain yang bergerak meminta bola serta menggeser posisi dengan cepat untuk menciptakan ruang. 

 

Setelah melewati garis tengah lapangan, bola kembali dioper ke belakang, seolah-olah untuk memancing lawan lebih jauh ke depan dan kemudian dengan sabar mencari celah untuk melancarkan serangan balik yang mematikan. Kecepatan permainan dan kemampuan membaca situasi di lapangan menjadi kunci utama dalam taktik yang sudah diterapkan sejak tur pramusim tersebut. 

Salah satu ciri khas Enrique tentang kecintaan terhadap eksperimen membuatnya kerap berpindah formasi dasar 4-3-3, 4-2-3-1, hingga 3-4-2-1, tergantung lawannya. Misalnya Enrique bisa memasang formasi 3-4-2-1 ketika menghadapi tim yang menumpuk pemain di belakang. Enrique juga beberapa kali menurunkan pemain di posisi non-ideal demi membentuk struktur permainan tertentu. 

 

Seperti Achraf Hakimi kerap dimainkan lebih invert sebagai gelandang tambahan. Ia membuat Triangulasi antar bek sayap dengan gelandang. Lalu bagaimana Ousmane Dembele dipasang sebagai penyerang bayangan. Atau Joao Neves berperan sebagai penyeimbang, bukan sekadar ball-winner. 

 

PSG di tangannya, mengandalkan bangunan serangan dari belakang yang sabar. Taktiknya gemar membangun serangan dari belakang dengan pola possession-based yang cair. Gelandang-gelandang kreatif seperti Vitinha dan Fabian Ruiz yang mengisi ruang dan mengatur tempo. Namun berbeda dengan Tiki-Taka klasik, Enrique lebih agresif dan vertikal saat progresi. 

 

Ketika celah terbuka, PSG langsung masuk ke sepertiga akhir dengan cepat. Enrique membawa DNA sepak bola Spanyol ke Paris, yaitu menguasai bola bukan hanya untuk mendominasi, tetapi untuk menciptakan superioritas posisi. Ia mengubah pendekatan tim menjadi lebih kolektif, dengan menekankan high pressing & positional play ala Barcelona 2015.

 

Meskipun banyak aspek positif dengan fleksibilitasnya, Enrique tidak lepas dari kritik. Terkadang eksperimen ini membuat PSG terlihat tidak stabil, terutama dalam laga besar yang membutuhkan kestabilan struktur. Khususnya saat kesulitan membongkar tim dengan blok rendah.

 

Minimnya variasi dari bangku cadangan saat strategi awal juga tidak berjalan. Terkadang Enrique Terlalu idealis di beberapa laga penting semisal melawan Borussia Dortmund pada semifinal Liga Champions 2024/25. Di mana pendekatannya dianggap terlalu "bersih", padahal PSG butuh bermain lebih pragmatis.

 

Selain itu, meskipun lini tengah PSG berkembang, lini depan terkadang tampak tumpul ketika tanpa Mbappé. Ini memperlihatkan bahwa transisi dari superstar dependency ke kolektivitas belum sepenuhnya tuntas. Meski gagal di Liga Champions karena tersingkir di semifinal namun Enrique tetap menjuarai Ligue 1 dan memperlihatkan perkembangan permainan yang stabil. 

 

Dari fase ini, Enrique pun mulai mendapat kepercayaan. 

 

Kematangan dan Puncak Dominasi

 

Enrique bersama PSG memulai musim 2024/25 tanpa ekspektasi besar dari publik, tapi diiringi dengan misi besar dari dalam menciptakan tim yang bermain sebagai kesatuan, bukan sebagai kumpulan superstar. Salah satu pergeseran paling signifikan di bawah Enrique adalah berkurangnya ketergantungan pada sosok individual. 

 

Setelah kepergian Messi, Neymar, dan kemudian Mbappé, PSG tidak lagi memiliki figur tunggal yang menjadi pusat permainan. Ini berbeda jauh dari era sebelumnya, di mana PSG terlalu sering mengandalkan momen ajaib dari bintang-bintang individunya. Musim ini, PSG pun tampil seperti tim yang benar-benar “Enrique banget”.

 

Yaitu dominasi penguasaan bola dan melancarkan tekanan tinggi saat kehilangan situasi tersebut. PSG di bawah pelatih kelahiran Gijon ini menunjukkan rotasi posisi yang cair antara lini tengah dan depan. Pergerakan antar lini yang cair dan rotasi peran tanpa mengorbankan bentuk dasar tim. 

 

Lihat saja bagaimana trio Khvicha Kvaratskhelia, Ousmane Dembele dan Desire Doue bisa bertukar posisi di sepertiga akhir lawan. Enrique juga masih betah dengan penggunaan inverted winger serta pemanfaatan Hakimi sebagai outlet vertikal di kanan. Enrique juga memiliki keputusan memainkan Neves sebagai gelandang tunggal yang memutus aliran serangan lawan. 

 

"Cara mereka melakukannya, membuat terlihat mudah. Datang dengan rencana permainan dan itu berjalan dengan sangat baik untuk mereka. Saya pikir mereka sangat pantas meraih itu. Dia membuat kita menyadari bahwa sepak bola adalah permainan tim. Tak masalah sebagus apa Anda. Kalau Anda tidak bermain untuk tim, Anda tak bisa memenangi apapun," kata Jay Okocha seperti dikutip dari TNT Sport. 

GsTixW4WwAAEVCy

Desire Doue, Ousmane Dembele, & Khvicha Kvaratskheila

PSG sendiri membuka laga Grup B Klub Piala Dunia 2025 dengan kemenangan 4-0 atas Atletico Madrid. Di pertandingan itu, PSG menunjukkan intensitas tinggi, karakter kuat, dan mampu membangun kultus kepribadian di klub. Timnya bergerak lincah dan penuh kreativitas saat menguasai bola.

 

"Kami memiliki tujuan untuk membuat sejarah musim ini, tetapi ini adalah babak baru. Ini adalah tantangan yang bagus bagi para pemain dan tim untuk ingin terus menang. Klub ini haus kemenangan, para penggemar haus kemenangan, para pemain dan tim haus kemenangan, dan itu adalah perasaan yang sangat baik. Kami memiliki tujuan yang sama seperti di kompetisi lain yaitu untuk melaju sejauh mungkin dan mencoba untuk menang," kata Enrique seperti dikutip dari ESPN.

 

Strategi pressing agresif diganti dengan dominasi bola melalui 817 umpan akurat. Hampir empat kali lebih banyak dari Atletico hanya 275. "Sekarang mereka adalah sebuah tim. Mereka bermain sangat baik. Bahkan saat kami merebut bola, kami tidak bisa lepas dari tekanan mereka," ujar Pelatih Atletico, Diego Simeone.

 

Vitinha kerap mundur ke belakang untuk memberikan ruang bagi Nuno Mendes dan Hakimi untuk menyerang. Pola ini memungkinkan bek sayap bergerak lebih bebas mendukung ofensif. PSG termasuk tim dengan total jarak tempuh terendah di lima liga elit eropa musim lalu. Mereka lebih memilih bertahan melalui penguasaan bola daripada melakukan pressing konstan. 

 

Penampilan di California mungkin tidak sedramatis Bayern, tapi cukup membuktikan evolusi PSG. "Mereka hidup bersama bola. Itulah filosofi Luis Enrique. Tim ini memaksa lawan tetap waspada karena selalu mencari celah sekecil apapun," kata pemain Atletico, Cesar Azpilicueta. 

 

Mereka kini bukan sekedar tim dengan kekuatan finansial, melainkan mesin sepak bola yang mendekati kesempurnaan. Enrique pun menegaskan bahwa menjuarai Liga Champions pun harus melewati perjalanan yang sulit. Keberhasilan itu juga merupakan langkah pertama untuk mendominasi Eropa. 

 

Sebab pelatih yang pernah memperkuat La Brana itu juga mengaku sangat ambisius. Enrique juga memiliki pemain dan manajemen klub yang ingin terus menang. Begitu pun suporter PSG yang ingin mendapatkan banyak kemenangan meski sulit. 

 

"Jadi, ini adalah tantangan yang sangat menyenangkan bagi kami. Semua orang inign bermain melawan kami dan mengalahkan kami. Semua orang berbicara baik tentang kami yang menyenangkan tetapi pada saat yang sama, kami berusaha untuk meningkatkan dengan memanfaatkan kepercayaan itu," ujarnya seperti dikutip dari Goal. 

 

Seperti halnya ketika PSG dihantam 1-0 oleh Botafogo. Enrique mengakui keunggulan Botafogo mampu tampil solid dan disiplin sepanjang pertandingan dan bermain dengan lepas. Hal itu membuat PSG mengalami kesulitan dalam mengembangkan permainan meski sudah terbiasa bermain menghadapi tim yang bermain bertahan. 

 

Botafogo mampu memaksimalkan setiap serangan balik menjadi peluang. "Saya pikir Botafogo adalah lawan kami yang paling baik sepanjang musim. Mereka bermain dengan baik, efisien, dan sangat kompak. Mereka tidak menunggu kami di blok rendah sejak awal, tetapi justru mampu memanfaatkan transisi permainan untuk menciptakan peluang dan mencetak gol," ungkap Enrique seperti dikutip dari Independent. 

 

Warisan Enrique Menjadi Identitas Baru

 

Apapun hasil akhir musim ini, proyek Enrique adalah langkah berani PSG untuk membentuk klub yang tidak hanya kuat secara finansial, tapi juga mempunyai karakter sepak bola yang jelas. Ia telah menjadikan pemain-pemain muda sebagai pilar utama. Termasuk mengubah pola rekrutmen PSG dari bintang ke pemain-pemain potensial. 

 

PSG juga tidak lagi bergantung pada satu pemain bintang. Rotasi pun dilakukan bukan hanya karena padatnya jadwal, tapi sebagai bagian dari sistem adaptif. Pemain seperti Gonçalo Ramos dan Dembélé menjadi lebih konsisten karena tahu peran dan tanggung jawab mereka di sistem.

 

Keputusan-keputusannya itu berhasil menghilangkan PSG dari ketergantungan kepada nama-nama besar. Jika diberi waktu dan dukungan penuh, Enrique berpotensi menciptakan PSG versi baru yang lebih tangguh, dinamis, dan berkelanjutan. Bukan hanya untuk Ligue 1, tetapi juga untuk mimpi besar mereka, yaitu dominan di Eropa. 

 

Enrique bukan sekadar pelatih pengganti atau manajer transisi. Mantan pemain Gijon ini adalah seorang pembangun ulang identitas PSG. Meski tantangannya besar dari ekspektasi tinggi hingga dinamika ruang ganti, Enrique sudah menunjukkan bahwa PSG bisa lebih dari sekadar “tim bintang.” 

 

Satu hal yang juga berubah PSG kini tidak lagi menjadi klub yang identik dengan glamor berlebih. Fokus mereka berubah dari “headline-grabbing transfers” ke pembinaan internal dan keseimbangan skuad. Keberaniannya memainkan pemain-pemain muda pun membuatnya mulai menyiapkan tulang punggung untuk musim berikutnya. 

 

1bd1ed3b1b190203dbc64cd4b748d830

 

Nama-nama seperti Bradley Barcola, Goncalo Ramos, Lucas Beraldo, Nuno Mendes, Senny Mayulu, Warren Zaire-Emery, Yoram Zague, dan lainnya dimunculkan. Ini efek langsung dari pendekatan Enrique yang mengutamakan kerja kolektif. Akademi PSG mulai kembali diperhitungkan. 

 

Zaïre-Emery bukan satu-satunya, kini banyak pemain muda mulai diberi menit bermain. Filosofi ini menular ke seluruh struktur klub. Enrique telah melakukan transformasi luar biasa di PSG. Bukan hanya soal membeli pemain bintang seperti Kvaratskhelia atau Barcola, tapi bagaimana dia menciptakan tim yang lebih dari sekadar kumpulan bintang dan uang bukan segalanya. 

 

Enrique berhasil menciptakan alkimia yang menyatukan bakat individu, menjadi mesin permainan yang mematikan. PSG sekarang bukan hanya mengandalkan bakat, tapi juga memiliki identitas permainan jelas, stamina fisik yang prima dan mental juara yang dibutuhkan untuk meraih trofi Champions League pertama mereka musim lalu. 

 

Ia sedang menciptakan tim yang bekerja sebagai satu kesatuan, dan itu mungkin adalah senjata terbaik PSG yang belum pernah benar-benar mereka miliki sebelumnya. Enrique bukan pelatih flamboyan. Ia tidak suka drama di media, jarang menyalahkan pemain secara terbuka. 

 

Mantan pemain Real Madrid ini pelatih yang percaya bahwa sistem yang rapi akan melahirkan kejayaan. Enrique masih memiliki kontrak hingga 2026, dan masa depannya tampak cerah. Namun pertanyaan yang kini muncul adalah: Apa selanjutnya? PSG kini bukan hanya tim kaya yang menang, tapi tim besar dengan identitas kuat. 

 

Ini warisan terbesar mantan pemain Barcelona tersebut. Enrique membuktikan bahwa trofi bukanlah segalanya, setidaknya di awal. Dia membangun dari bawah, menghapus bayang-bayang proyek ambisius PSG yang sebelumnya gagal, dan menciptakan tim yang menang bukan karena siapa yang bermain, tetapi karena cara mereka bermain.

 

Dengan trofi Liga Champions yang telah diraih, PSG kini tidak lagi disebut klub yang gagal memenuhi ambisi Eropa. Mereka adalah juara, dan Enrique adalah arsitek di balik revolusi itu.

 

Siri’ Na Pacce Dalam Diri Yuran Fernandes
Artikel sebelumnya Siri’ Na Pacce Dalam Diri Yuran Fernandes
Artikel selanjutnya
Artikel Terkait