P-Project Telah Berganti, Sepakbola Indonesia Masih Begini

P-Project Telah Berganti, Sepakbola Indonesia Masih Begini
Font size:

Tak sedikit musisi-musisi Indonesia yang coba membuat karya tentang semangat olahraga lewat momen sepakbola. Dewa 19, Padi, Sheila on 7, hingga Netral adalah sedikit di antaranya. Namun mereka semua berbeda dengan yang pernah dilakukan oleh grup vokal bernama Padhyangan Project. Alih-alih melahirkan lagu penyemangat, P-Project —sapaan akrabnya— gemar mengkritik sepakbola Indonesia lewat karya mereka.

Dewa 19 menciptakan lagu "Juara Sejati" pada momen Piala Dunia 2002, begitu pun Padi lewat "Work of Heaven". Sheila on 7 menyanyikan lagu "Pemenang" untuk menyambut Piala Dunia 2006. Netral menjadi pengisi lagu film layar lebar berjudul "Garuda di Dadaku" lewat lagu dengan judul yang sama; lagu yang terus membekas hingga saat ini. Semuanya berbalut lirik-lirik membangkitkan semangat.

P-Project tidak demikian. Mereka menciptakan lagu, jauh sebelum band-band di atas menyanyikan "lagu-lagu sepakbola" masing-masing, untuk menyindir persepakbolaan Indonesia.  

Lagu yang paling sensasional dari P-Project adalah "Lagunya Lagu Bola" pada album Jilid 4. Grup musik yang berdiri pada 4 Desember 1982 ini menciptakan lagu tersebut untuk memanfaatkan momen Piala Dunia 1998. Mereka memparodikan lagu Ricky Martin yang menjadi lagu resmi Piala Dunia 1998, yakni "La Copa de la Vida (The Cup of Life)", lewat lagu berbahasa Indonesia dengan bahasa jenaka sekaligus menyindir sepakbola Indonesia. 

Kita Indonesia nggak ikut ke sana Jadi peserta Piala Dunia Lebih menderita karna huru-hara Liga Indonesia tidak berdaya, tidak berdaya

Bol-bola jadi bete bete Gol gol gol jadi kagak ade Atlet bola daripada memble PHK nganggur-nganggur aje

Ketika itu sepakbola Indonesia tengah mati karena adanya huru-hara Krisis Moneter pada Orde Reformasi. Kompetisi yang sudah berjalan tiga perempat musim terpaksa dihentikan karena kondisi politik dan perekonomian nasional saat itu yang tidak kondusif. Pada penggalan bait berikutnya, P-Project juga menyindir kesebelasan Indonesia yang dililit masalah keuangan. Ketika itu Bandung Raya yang merupakan runner-up musim sebelumnya bangkrut dan bubar sebelum musim 1998 dimulai.

Rencananya Indonesia Kan menuju pentas dunia Bagaimana itu bisa? Liga saja tidak ada

Apa sepak bola mirip bank swasta Tak bermodal lagi dilikuidasi Mending merger saja dengan binaraga Agar atlet bola bisa perkasa, bisa perkasa, bisa perkasa

Menariknya, di penggalan bait akhir lagu ini, P-Project juga menunjukkan kritiknya terhadap Ketua Umum PSSI yang ketika itu dipimpin Azwar Anas. Kala itu sepakbola Indonesia berkali-kali diterjang isu pengaturan skor, dimulai dari pengaturan skor di Liga Indonesia sampai "Sepakbola Gajah" yang mendunia lewat gol bunuh diri Mursyid Effendi.

Mendapat tekanan keras dari publik karena dianggap tidak becus memberantas pengaturan skor, Azwar pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI. 

Mungkin aje (mungkin aje) pemain kite (pemain kite) Pergi ke sane (pergi ke sane) ke pentas dunie Setidaknye (setidaknye) kita bise (kita bise) kirim dute (kirim dute) ketuanye aje Hei, duh amit-amit, hei...

Empat tahun sebelum "Lagunya Lagu Bola" dinyanyikan P-Project, grup vokal asal Bandung yang awalnya beranggotakan Iszur Muchtar, Denny Chandra, Daan Aria, Joehana, Iang Darmawan, Wawan Hanura, dan Denden Hermann ini juga sudah mengkritik buruknya sepakbola Indonesia lewat lagu mereka berjudul "Kop and Headen". 

Salah satu lagu pada album Jilid 2 tersebut merupakan lagu parodi dari Color Me Bradd yang berjudul "Close to Heaven". P-Project memang besar lewat lagu-lagu parodi luar dan dalam negeri dengan lirik yang jenaka dan nyeleneh.

Pada lagu "Kop and Headen", P-Project menyoroti sepakbola Indonesia yang asalnya menjadi kebanggaan negara karena cukup berprestasi, mulai berubah menjadi olahraga yang penuh dengan kekerasan saat pertandingan berlangsung, jauh dari azas fair play. Lewat lagu ini, P-Project juga menyayangkan insiden-insiden wasit yang kerap diserang oleh para pemain di mana saat itu begitu marak terjadi. 

Semenjak zamannya Maladi Hingga ke zaman Ronny Pattinasarani Mereka berjuang demi negeri Untuk satu nama: PSSI Namun kini zamannya telah berganti Pemain seringnya malah berkelahi Permainan sudah tidak fair lagi Hanya jadi ajang bela diri Sadarilah, bila, bermain bola Lawan jangan cedera Sadarilah, bila, dia sengsara Kita jadi bikin dosa Wasit ada di posisi yang rumit Karena keputusannya yang sulit Tak heran pemain banyak yang berkelit Mengejar wasit terbirit-birit Sadarilah, bila, di sepak bola Ingat aturannya Sadarilah, bila, di sepak bola Wasit berkuasa 

Penonton yang mulai kerap mengganggu jalannya pertandingan pun tak luput dari sorotan P-Project. Pada zaman tersebut, penonton yang membludak memang kerap menyaksikan hingga pinggir lapangan. Inilah cikal bakal penonton sepakbola Indonesia kerap nekat memaksakan diri masuk ke stadion meski tak memiliki tiket atau tiket pertandingan sudah habis.

Sadarilah, bila, penonton tertib Kita pun gembira Sadarilah, bila, penonton tertib Bukan cari gara-gara Ruud Gullit, Van Basten, dan Maradona Contoh pemain kelas dunia Yang telah ternama Sucipto, Suntoro, Anjas Asmara Nobon, Oyong Liza, Ronny Pasla Semua pernah jaya Kang Jajang, Kang Asep, Kang Tatang, Bu Yati Mereka bukan pemain bola atuh Mereka itu adalah saudara saya semua Paling top adalah Abdul Kadir Mencetak gol dari pinggir Kipernya pun terjungkir Menahan tendangan bagaikan petir Jala terkoyak, penonton sorak Kiper terkilir Mereka harus ditiru Sepakbola harus fair play

***

P-Project atau Padhyangan Project kini sudah bubar. Walau begitu, pada 1998, mereka sudah membentuk Project Pop yang beranggotakan Gumilar Nurochman (Gugum), Wahyu Rudi Astadi (Odie), Mochammad Fachroni (Oon), Kartika Rachel Panggabean (Tika), Djoni Permato (Udjo), Hermann Josis Mokalu (Yosi), dan Hilman Mutasi (Hilman) untuk mempertahankan eksistensi.

Tidak seperti P-Project, Project Pop diberi keleluasaan dalam menciptakan lagu, walau pada akhirnya lirik-lirik mereka tetap bernuansa komedi. Project Pop sendiri sampai saat ini belum menyatakan bubar namun mulai jarang muncul di layar kaca setelah salah satu personil mereka, Oon, meninggal dunia.

Akan tetapi dari P-Project kita patutnya menyadari, bahwa setidaknya sejak 1994, sepakbola Indonesia sudah familier dengan kekerasan di pertandingan, kerusuhan suporter, sampai pengaturan skor dan pengurus PSSI yang dianggap tidak kompeten dalam menjalankan organisasi. Hal-hal tersebut masih terasa setiap tahunnya termasuk hingga saat ini bukan?

Pada 1998, Indonesia bermimpi untuk bermain di Piala Dunia. Kini 20 tahun kemudian, kita masih juga bermimpi. Ini artinya, dengan segala permasalahan yang masih ada dan itu-itu saja, sepakbola Indonesia tidak pernah ke mana-mana; sepakbola Indonesia masih begini-begini saja.

Pemain Spekulatif FPL PanditFootball: Gameweek 15
Artikel sebelumnya Pemain Spekulatif FPL PanditFootball: Gameweek 15
Pantaskah Modric Meraih Ballon d`Or 2018?
Artikel selanjutnya Pantaskah Modric Meraih Ballon d`Or 2018?
Artikel Terkait