Font size:
“My greatest challenge is not what is happening right at this moment, my greatest challenge was knocking Liverpool right off their f*cking perch. And you can print that.”
Itulah yang dikatakan Sir Alex Ferguson ketika ditanya tentang masa depannya di Manchester United pada 2002. Saat itu United sudah meraih trofi Liga Premier yang ke-12 dari total 20 buah yang akhirnya berhasil ia raih. Pada musim 2010/2011, rekor Liverpool akhirnya bisa disalip. Tim asal Merseyside itu mentok di 18 trofi Liga Inggris. Dua dekade lebih lamanya, terakhir meraih trofi pada 1990, mereka dibuat menderita dan harus menonton rivalnya meraih trofi demi trofi. Rivalitas United vs Liverpool memang sudah banyak diketahui orang. Rivalitas yang usianya sudah panjang ini bahkan bisa membuat para fans United tidak terlalu bersedih melihat rival sekotanya, Manchester City, musim lalu sukses menggondol gelar juara. Setidaknya, demikianlah kira-kira, bukan Liverpool yang juara. Itu sudah melegakan bagi mereka. Ini situasi simalakama yang tak menyenangkan. Bagi seorang ambisius dengan syahwat mengendalikan segalanya (control freak) seperti Fergie, City atau Liverpool yang juara sama-sama hal yang tak bisa ditolerir. Tapi musim lalu Fergie sudah tak duduk di bench. Dia kini duduk di tribun, tak lagi sebagai manajer. Dan inilah, seiring kepergian Fergie, arus sejarah seperti kembali bergerak, dan perubahan pun mulai terlihat. Ironi demi ironi mulai bermunculan dengan puncaknya pada musim ini. Saat United terjun bebas ke peringkat tujuh di musim lalu, dan berakibat gagal masuk Liga Chamions, di saat yang bersamaan Liverpool malah bermain lagi di Liga Champions setelah absen selama tiga musim berturut-turut. Tapi ironi tak berhenti hanya di situ. Ada ironi lainnya: musim ini United harus dipimpin seorang Scouser, ia adalah sang kapten, Wayne Rooney. Rooney lahir di Croxteth, Liverpool, 28 tahun yang lalu. Ia seorang fans Everton dan juga pemain akademi Everton. Meskipun kenyataan mengatakan bahwa ia membenci Liverpool, ia tetap saja adalah seorang Scouser. Scouser adalah sebutan untuk dialek dan/atau orang-orang yang lahir dan besar Liverpool. Para Mancunian, sebutan untuk dialek dan/atau orang-orang yang lahir dan tumbuh Manchester, memang punya cerita yang tak hangat dengan Scousers. Rivalitas United dan Liverpool, sebagaimana sudah diulas oleh ribuan tulisan, berakar panjang dalam sejarah pertumbuhan dua kota ini. Dan persaingan itu, di lapangan hijau, direpresentasikan oleh perseteruan United vs Liverpool, dua tim tersukses di Liverpool dan Manchester sekaligus tersukses di Inggris, dan bukan persaingan Manchester City vs Liverpool atau Everton vs United. Tidak heran jika yel-yel anti Scouser menjadi hal yang jamak di telinga para penghuni kursi-kursi di Old Trafford [ini akan diuraikan di bagian akhir tulisan]. Gary Neville niscaya menggaruk-garuk kepalanya jika lima tahun lalu ditanya kemungkinan seorang Scouser akan menjadi kapten tim para Mancunian. Tapi soal Scouser jadi kapten ini baru satu hal ironis, ada hal lain yang juga ironis di jam-jam terakhir deadline transfer pemain: salah seorang Mancunian yang sudah bermusim-musim bermain reguler di tim utama United, malah pindah ke rival lainnya di London, Arsenal. Berikutnya: Welbeck dan Identitas Mancunian Welbeck dan Identitas Mancunian Daniel Nii Tackie Mensah Welbeck, atau Danny Welbeck. Pemain kelahiran Longsight, Manchester, 23 tahun silam ini, harus menerima kenyataan bahwa tempatnya di tim sudah tidak dibutuhkan lagi. Ia, bisa dibilang, “dipaksa” pindah di saat-saat akhir. Sebanyak 90 penampilannya di Liga Inggris bersama United dan 20 gol yang berhasil ia cetak, tidak berarti apa-apa lagi untuk van Gaal. Seorang Mancunian telah pergi. Pemain yang sudah bergabung dengan Akademi United saat berusia delapan tahun ini memang bukan berdarah Inggris sepenuhnya. Orang tuanya berasal dari Ghana. Hanya saja dia lahir di Longsight, sebuah distrik di Manchester, dan tumbuh, berkembang serta menjadi pemain bola seluruhnya di Manchester -- dan karenanya dia seorang Mancunian. Ada banyak Mancunian yang orang tua, kakek atau buyutnya berstatus sebagai pendatang. Misalnya ada Irish Mancunian, kelompok yang cukup banyak di Manchester dan rutin membuat Irish Mancunian Festival. Saat kabar hengkangnya Welbeck ke Arsenal muncul, seorang wartawan BBC, Simon Stone, mengatakan: "Welbeck adalah satu-satunya pemain senior Mancunian yang masuk dan tersisa di tim utama United." Debutnya di tim senior sudah dimulai pada September 2008. Semusim kemudian (2009/2010) dia dipinjamkan ke Preston North End. Musim berikutnya dia dipinjamkan ke Sunderland. Pada musim 2011/2012, Welbeck ditarik kembali oleh Ferguson dan sejak itu dia selalu berada di tim senior. Fergie menarik kembali Welbeck pada musim itu bersamaan dengan pensiunnya salah seorang Mancunian paling masyhur, Gary Neville. Di saat yang sama, seorang Mancunian lainnya, Wes Brown, yang juga lahir dan besar di Longsight, juga meninggalkan United untuk bergabung dengan Sunderland. Secara tersirat, Fergie hendak mengatakan bahwa United mesti tetap diperkuat oleh pemain yang bisa dianggap mewakili para Mancunian -- dan saat itu Welbeck yang mengisi kepergian Gary dan Wes. Tak semua Mancunian adalah suporter United, sebagian lagi mendukung Manchester City. Tapi dalam konteks sepakbola Inggris, khususnya persaingan antara dua kota Liverpool dan Manchester, Mancunian lebih identik dengan United. Survey yang dilakukan Rightmove pada 2012 lalu, misalnya, menyebutkan bahwa United didukung oleh 56% penduduk Manchester sementara City hanya 15%. Sedangkan Liverpool didukung 66% penduduk lokal Liverpool, berbanding 24% yang hanya mendukung Everton. Uraian di tulisan ini juga penting untuk menggarisbawahi banyak kesalahpahaman mengenai hal ini. Mancunian dan Scouser jelas merujuk orang yang lahir dan tumbuh di Manchester dan Liverpool, dan umumnya mereka juga berbicara dengan dialek khas yang disebut Manc(unian) dan Scous(er). Keliru jika fans United atau Liverpool yang lahir dan tinggal di London, Dubai atau Surabaya menyebut dirinya dengan istilah Mancunian dan Scouser. Dari total seluruh fans United dan Liverpool di seantero dunia, dengan merujuk survey yang dilakukan Rightmove, hanya 9% pendukung Manchester berlatarbelakang Mancunian dan hanya 11% pendukung Liverpool yang merupakan Scouser. 91% dan 89% sisanya tersebar di luar kota Manchester dan Liverpool. Berikutnya: Para Mancunian di Manchester United Para Mancunian di Manchester United Perginya Welbeck ini menyisakan sebuah ironi lainnya untuk United. Sekarang ini Mancunian di tim utama United hanyalah Tyler Blackett, William Keane, Thomas Thorpe, dan Michael Keane yang malah dipinjamkan ke Leicester City. Praktis, di atas kertas, hanya Blackett yang punya kemungkinan menambah jam terbang di tim utama. Itu pun dia mesti bersaing dengan tiga pemain lain yang sama-sama kuat kaki kirinya yaitu Luke Shaw, Marcos Rojo, dan Daley Blind. United kini semakin miskin Mancunian. Bukan hal mudah bagi Mancunian "pemula" seperti Blackett untuk bersaing dengan nama-nama itu. United sendiri punya sejarah panjang dengan daftar pemain-pemain mereka yang berasal dari Manchester. Satu kampung halaman dengan Welbeck, adalah Wesley Brown yang juga berasal dari Longsight. Longsight adalah sebuah daerah kecil di Manchester yang terkenal dengan tingkat kemakmuran para penduduknya. Brown adalah mantan pemain United dari tahun 1996 sampai 2011. Pada tahun 2011, ia ditransfer ke Sunderland dan sampai sekarang masih bermain sebagai bek tengah yang kadang berduet dengan sesama mantan rekannya di United dulu, John O’Shea. Selain Brown, ada Brian Kidd yang berasal dari Collyhurst. Kidd adalah mantan pemain United dan juga Manchester City, yang sekarang menjadi asisten manajer di Etihad Stadium. Collyhurst juga memproduksi salah satu legenda United, Nobby Stiles. Stiles adalah mantan gelandang United yang bermain pada tahun 1960 sampai 1971. Jauh sebelum mereka semua, ada sosok Dennis Viollet. Seorang Mancunian yang lahir di Fallowfield ini adalah seorang penyerang produktif yang berhasil mencetak lebih dari 150 gol untuk United dari tahun 1953 sampai 1962. Dari itu semua, puncak kejayaan Mancunian bisa dibilang adalah pada masa Class of ’92. Paul Scholes (asal Salford), Nicholas Butt (Gorton), dan Neville bersaudara (Bury), Gary dan Philip, adalah produk asli kelahiran Manchester yang diasuh langsung oleh akademi Manchester United. Hal di atas menunjukkan kepada kita bahwa memang ada darah Mancunian yang mengalir di Manchester United. Sesuatu yang tentunya para fans asli Mancunian akan sangat banggakan. Inilah yang ditangkap oleh Mike Phelan, mantan pemain United dan asisten Ferguson dari 2008-2013. Begitu Welbeck resmi dijual, dia menyebut hal ini sebagai indikasi bahwa United telah kehilangan ciri khasnya. Welbeck, kata Phelan kepada BBC, "sudah menjadi bagian dari identitas United dan hal itu kini sudah hancur." Welbeck dalam kata-kata Phelan di atas, disebut sebagai "bagian dari identitas United", bukan semata merujuk Welbeck sebagai individu, tapi juga latar belakangnya sebagai pemain yang lahir dari akademi United, sebagai wakil dari bakat-bakat lokal (home-ground talent), dan tentu saja apa yang disebut sebagai Mancunian. Inilah juga yang dengan sedih ditangkap oleh David Beckham. Mantan pemain United yang tetap diberi sambutan hangat di Old Trafford, juga tetap bersemayam di hati banyak para fans United, mengungkapkan kesedihannya terkait kepergian Welbeck ini. "Melihat Welbeck pergi meninggalkan Manchester United adalah hal yang menyedihkan," kata Beckham. Welbeck, kata Beckham lagi, sudah menjadi bagian United sejak usia 8 tahun. Dengan kata-kata bernada elegi, Beckham berkata: "Hatinya ada di Manchester." Kata-kata yang lebih telengas datang dari Eric Harrison, orang yang berada di balik kisah sukses Akademi United dan otak di balik kelahiran Kelas-92 yang masyhur itu. Simaklah kata-kata Harrison ini: "Saya tak percaya Welbeck telah pergi. Saya tak bisa memaklumi kepergian dia ke Arsenal. Kehilangan pemain yang sejak bocah sudah menjadi bagian dari United menunjukkan tim ini kehilangan hati dan jiwa klub." Bagi Harrison, Welbeck itu penting karena satu hal yang baginya pokok: "Anda membutuhkan pemain yang bisa menghidupkan atmosfir kekeluargaan United." Dan itu semua terjadi tepat saat seorang Scouser ditunjuk sebagai kapten tetap Manchester United. Berikutnya: Perang Nyanyian antara Mancunian vs Scouser Menyimak Rivalitas Melalui Nyanyian Kembali lagi kepada pembahasan di atas, memang ada tensi yang tinggi antara fans Liverpool dan Manchester United dan sampai batas tertentu berarti juga Scouser dan Mancunian. Contoh paling kejam terjadi pada Oktober 2005 di Old Trafford. Saat itu para legenda seperti Denis Law, Ian Callaghan, Bobby Charlton, dan Roger Hunt berparade keliling lapangan sebelum pertandingan dimulai. Mereka kemudian mengadakan kompetisi penalti antar para fans rival. Namun, itu tidak berjalan dengan baik.