Menjaga Harapan Bangkitnya Liga Italia

Menjaga Harapan Bangkitnya Liga Italia
Font size:

Pada tahun 1990an, banyak yang setuju bahwa Liga Italia adalah kompetisi yang terbaik. Juventus dan AC Milan menjadi dua tim yang membuat Liga Italia Serie A menjadi liga terbaik di dunia. Ditambah lagi masih ada AS Roma, Lazio, Inter Milan, hingga Fiorentina dan Napoli yang juga sempat merasakan kejayaannya.

Kejayaan Liga Italia masih bertahan hingga awal tahun 2000. AC Milan dan Juventus sempat menyajikan all Italian final pada tahun 2003 di Liga paling bergengsi di Eropa, Liga Champions. Tidak hanya dua tim ini, Inter Milan pun sempat membungkam Eropa ketika pada tahun 2010 lalu menghancurkan semua tim raksasa Eropa dan menjadi juara Liga Champions. Bagi kita yang menjadi saksi mata kejayaan Liga Italia ini memang akan dengan mudah mencerna semua cerita-cerita tersebut. Namun jika kita mengatakannya kepada anak-anak yang baru mulai menyaksikan sepakbola di tahun 2014, mungkin cerita tadi hanya dianggap sebuah legenda yang belum jelas kebenarannya. Dalam sebuah wawancara,John Foot, penulis buku “Calcio, a History of Italian Football”, mengamati soal penurunan yang terjadi pada Liga Italia ini. Dia mengatakan, apa yang terjadi pada Liga Italia terjadi karena apa yang mereka lakukan sendiri. “Mereka berada di zaman keemasan pada tahun 90an, dan mereka menghancurkannya sendiri,” kata Foot dalam sebuah wawancara di CNN. Sepakbola Italia memang mengalami masa-masa yang sulit di awal tahun 2000. Berbagai kasus terjadi yang membuat sepakbola mereka mulai ditinggalkan. Kasus korupsi, kekerasan di dalam stadion, hingga masalah pengaturan skor membuat sepakbola semakin terpuruk. Kasus Calciopoli yang terjadi pada tahun 2005 menjadi puncak permasalahan yang mendorong Liga Italia ke jurang terdalam. Beberapa klub besar terkena kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan calciopoli ini. Termasuk klub dengan gelar juara Serie A terbanyak, Juventus, yang harus terlempar ke Serie B akibat kasus ini. Dari sini, angka penonton di stadion Liga Italia pun semakin menurun. Pada tahun 90an, rata-rata jumlah penonton di stadion Liga Italia bisa mencapai lebih dari 30.000. Bahkan, angka terendah yang jatuh pada musim 1994/1995 saja masih mencapai 29.447. Angka ini masih jauh lebih tinggi dari catatan jumlah penonton di stadion tertinggi dalam 10 tahun terakhir ini yang jatuh pada musim 2008/2009. Pada musim Inter Milan meraih scudetto tersebut jumlah rata-rata penonton yang datang ke stadion Serie A mencapai 25.180. Coba bandingkan dengan catatan jumlah penonton di stadion dari beberapa liga besar lainnya. Liga Jerman, Liga Spanyol, Liga Inggris, bahkan Liga Prancis sama-sama menunjukan peningkatan jumlah penonton. Penurunan yang terjadi pada Liga Italia membuat mereka semakin tertinggal dari liga-liga saingannya tersebut. Dengan kondisi ini, sulit sepertinya membuat orang yang baru menonton sepakbola pada tahun 2014 ini yakin jika kita mengatakan bahwa AC Milan adalah pemilik gelar juara Liga Champions terbanyak kedua setelah Real Madrid. Akan membutuhkan waktu yang agak lama untuk meyakinkan anak-anak tersebut bahwa 11 dari 24 tahun terakhir ini selalu menghadirkan setidaknya satu klub Liga Italia di final Liga Champions. Bagaimana tidak, kondisi Liga Italia saat ini memang jauh dari ciri-ciri liga terbaik di dunia. Dilihat dari posisi mereka di koefisien liga hasil perhitungan UEFA, Liga Italia kini berada di posisi 5 di bawah Liga Portugal. Pada posisi ini Italia hanya berhak mengirimkan 2 wakilnya ke Liga Champions ditambah 1 tim yang harus melalui fase kualifikasi. Gagalnya Napoli malalui babak kualifikasi, membuat Italia kini hanya mengirimkan dua wakilnya di Liga Champions, Juventus dan AS Roma. Itupun AS Roma harus masuk grup neraka bersama Bayern Munich, CSKA Moskow dan Manchester City. Jika AS Roma gagal dan harus gugur pada fase grup, bukan hal yang tidak mungkin jika tahun depan posisi Liga Italia turun dua peringkat pada ranking liga-liga UEFA. Pesaing terdekat mereka, Liga Prancis dan Rusia sama-sama memiliki wakil yang berpeluang untuk melaju lebih jauh di Liga Champions. Inter Milan praktis menjadi tim terakhir yang mampu mengharumkan nama Liga Italia. Setelah Inter Milan juara di musim, 2009-2010 tersebut, wakil Italia hanya mentok sampai babak 8 besar Liga Champions. Mereka kemudian harus tumbang dengan angka yang cukup mencolok menghadapi klub-klub raksasa Eropa lainnya. Dampak yang terjadi kemudian adalah satu per satu pemain bintang yang bermain di Liga Italia pergi ke klub lain di luar Italia. Dari mulai, Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva, dan beberapa pemain lainnya memilih untuk hengkang dari Italia. Bahkan bukan hanya bintang-bintang asing yang hengkang. Beberapa bintang asal negeri pizza ini pun mulai banyak yang memilih untuk bermain di luar Italia. Padahal dulu kita mengenal pemain-pemain Italia yang sangat jarang pergi ke luar Italia. Bintang-bintang muda Italia seperti Marco Veratti, Salvatore Sirigu, Ciro Immobile, Mario Balotelli, Thiago Motta, Davide Santon dan beberapa pemain lainnya. Meski mungkin ada faktor lain yang mendorong mereka untuk hijrah ke luar negri, namun menurunnya kualitas di Liga Italia tentu juga menjadi salah satu faktor yang mendorong hal ini terjadi. Dan yang paling buruk dari keterpurukan ini adalah semakin memburuknya kondisi finansial tim-tim Italia. Minimnya prestasi di Liga Champions serta semakin minimnya pemain bintang tentu akan membuat pemasukan yang diterima klub-klub Italia menurun. Catatan yang dikeluarkan Deloitte menunjukan hal ini. Deloitte Money League atau catatan 20 klub dengan pemasukan terbanyak di dunia menunjukan penurunan yang terjadi pada klub-klub Italia. 10 tahun yang lalu kita masih melihat AC Milan dan Juventus berada di posisi 2 dan 3 klub dengan pemasukan tertinggi di dunia. Kini kedua tim Italia ini terlempar hingga ke posisi 9 dan 10. Italia juga masih menempatkan beberapa wakil lainnya di Football Money League versi Deloitte ini. Sama dengan Juventus dan AC Milan, wakil-wakil Italia lainnya pun menunjukan penurunan sejak tahun 2004. Inter Milan sempat berada di posisi 6 pada tahun 2004 dan kini mereka hanya berada di posisi 15, lebih rendah dari Schalke 04 dan Tottenham Hotspurs. AS Roma yang 10 tahun lalu berada di posisi 11 kini hanya bertengger di posisi 20. Sedangkan Lazio sudah tidak masuk ke dalam 20 besar klub dengan pemasukan terbanyak di dunia. Lalu apa yang bisa dilakukan Liga Italia sekarang? Akankah keterpurukan ini terus berlangsung dan membuat Liga Italia semakin ditinggalkan? Halaman Berikutnya: Langkah Pasti Agar Serie A Bangkit Kembali Langkah Pasti Agar Serie A Bangkit Kembali Perbaikan dari sisi finansial harus menjadi prioritas setiap klub di Italia. Jika kita lihat dari sumber pemasukan, mayoritas pemasukan klub-klub Ligat Italia didapat dari hak siar televisi. Meski jumlah penonton di dalam stadion berkurang, namun klub-klub Italia masih memiliki pendukung setia yang tersebar di seluruh dunia. Nilai siaran televisi dari pertandingan-pertandingan Liga Italia masih bernilai tinggi. Liga Italia bahkan dikabarkan sudah mendapatkan kontrak hak siar baru dari tahun 2015-2019 dengan angka yang fantastis. Karena itu, sepertinya klub-klub Italia tidak perlu khawatir untuk kehilangan sumber pemasukannya dari sisi hak siar ini. Namun mereka juga tidak bisa terus-terusan bergantung dari satu sumber saja. Sumber-sumber dana lain pun harus mulai mereka maksimalkan. Sinyal bahaya seharusnya sudah menyala dari kubu AC Milan mengingat mereka tidak berlaga di kancah Eropa sama sekali. Pemasukan dari Liga Champions inilah yang selama ini menopang AC Milan meski beberapa tahun belakangan ini. Hal ini sepertinya direspon pihak AC Milan dengan tidak banyak mengeluarkan uang untuk belanja pemain musim ini. Langkah Juventus yang melakukan investasi membangun stadion juga sepertinya harus bisa diikuti klub-klub lain di Italia. Meski membutuhkan dana besar, namun dampak yang diberikan dari pemangunan stadion pun cukup positif. Hal ini terlihat dari peningkatakan jumlah pemasukan mereka dari pertandingan-pertandingan yang mereka adakan. Jumlah pemasukan mereka dari sumber ini meningkat hingga dua kali lipat sejak Juventus melangsungkan pertandingan di stadion milik mereka sendiri. Dengan kondisinya yang sedang terpuruk seperti sekarang ini, siapapun yang menjadi tenaga marketing klub-klub Italia pasti sedang pusing memikirkan bagaimana cara memasarkan klubnya. Satu-satunya senjata yang masih mereka miliki sekarang adalah nama besar klub-klub Italia. Mereka masih memiliki basis pendukung yang cukup besar akibat prestasi yang mereka raih di masa lalu. Hal ini pula yang menyelamatkan Juventus ketika bangkit kembali setelah terlempar ke Serie B. Suporter-suporter setia Juventus membuat klub asal Turin ini masih mempunyai nilai jual meski bermain di Serie B. Maka dari itu, satu senjata terakhir ini harus benar-benar mereka jaga. Kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan pada awal 2000an lalu jangan sampai terjadi lagi. Membuat kecewa para pendukung setia mereka untuk kedua kalinya bukan berarti membuat mereka benar-benar kehilangan satu-satunya senjata terakhir yang mereka miliki ini.      
Prediksi Ringkas Seluruh Pertandingan di Giornata 2 Serie A Italia
Artikel sebelumnya Prediksi Ringkas Seluruh Pertandingan di Giornata 2 Serie A Italia
Ketika Klub Menjadi Pengubur Mimpi Seorang Pesepakbola
Artikel selanjutnya Ketika Klub Menjadi Pengubur Mimpi Seorang Pesepakbola
Artikel Terkait