Orang-orang Kiri di Persimpangan Lapangan Bola

Orang-orang Kiri di Persimpangan Lapangan Bola
Font size:

Di Indonesia, kata "komunis" sama tabunya dengan kata "seks" bagi golongan yang tak mampu mengusir jauh paparan Orde Baru. Komunis lebih sering dikaitkan dengan "ateis" yang "benci" tuhan, dan berperan serta dalam pembunuhan tujuh pahlawan revolusi yang dibuang di Lubang Buaya.

"Komunis" adalah satu bentuk ketakutan yang kerap terlontar dari penguasa. Label seperti apa yang diberi pemerintah Orde Baru untuk melawan pemberontak? Jawabannya "melawan pancasila" dan "komunis". Setiap ada perlawanan dari partai oposisi, pembelaan yang terlontar pastilah tak jauh dari kata-kata ini: komunis bangkit kembali! Di tengah kepungan modal yang kian tak tertahankan dalam jagat sepakbola mutakhir, orang seperti dipaksa untuk mengamini begitu saja betapa kapitalisme telah memenangkan pertaruangan ideologi. Dan dalam kemenangan itulah, sebagaimana yang dinubuatkan Francis Fukuyama, kapitalisme diandaikan sebagai akhir sejarah, karena setelah itu tak akan ada lagi kebaruan. Kritik, rongrongan, dan bolong-bolong yang terdapat dalam ideologi kapitalisme, bagi orang seperti Fukuyama, tak akan pernah menumbangkan kapitalisme, karena kapitalisme selalu dengan cerdik memperbaiki dirinya, terus mengecoh dan menyaru, dan dengan itu selalu siap hadir kembali sebagai juggernaut, truk besar dalam kosa kata Anthony Giddens, yang mustahil dihentikan. Sulit menduga jika ada pesepakbola yang berideologi komunis. Pertama, seberapa dalam pesepakbola mampu mencerna kerangka berpikir rumit Das Kapital yang ditulis Karl Marx. Kedua, bagi masyarakat yang hidup di era modern sekarang akan selalu ada pemikiran bahwa setan macam apa yang merasuki dirinya sehingga mau mengaku sebagai seorang komunis? Tapi dalam setiap aspek kehidupan, selalu ada para pembangkang yang melampaui konformitas. Mereka mempraktikkan gagasan dari suatu ideologi politik yang diyakininya ke dalam berbagai matra kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam sepakbola. Kami merangkumkan empat pesepakbola yang bisa dianggap sebagai pribadi yang menentang konformitas dalam sepakbola modern. Merekalah yang bisa dianggap sebagai orang-orang kiri di lapangan hijau. Halaman Selanjutnya: Ivan Ergich dan Socrates Ivan Ergich Lahir di Kroasia pada 1981, membuat Ergich mendapat terpaan langsung atas pengaruh komunisme dari Uni Soviet. Bersama keluarganya, ia beremigrasi ke Australia beberapa tahun berselang. Di sana, ia berlatih di Australian Institute of Sport dan dibiayai secara penuh oleh pemerintah Australia lewat beasiswa. Kariernya terbilang cepat, karena pada usia 19 tahun, ia sudah bergabung bersama klub Liga Australia, Perth Glory. Hanya butuh setahun baginya untuk menarik perhatian Juventus. Pada tahun 2000, ia resmi hijrah ke Italia. Dengan kualitas yang dimiliki pemain Juventus, sulit bagi Ergich untuk dapat menembus tim utama. Ia pun dipinjamkan ke FC Basel, untuk kemudia menandatangani kontrak permanen bersama tim Swiss tersebut. Di Swiss, ia sempat mengalami depresi. Butuh waktu hingga empat tahun baginya untuk dapat menemukan kembali kehidupan yang sebenarnya. Ergich pun mulai diundang stasiun televisi untuk menceritakan perlawannya dalam mengatasi rasa depresi yang diderita. Lambat laun, ia mulai menulis soal pemikiran-pemikirannya di sepakbola, dikaitkan dengan ideologinya yang berhaluan kiri. Ia menumpahkan isi pikirannya dalam sebuah kolom di harian Politika yang terbit di Serbia. Ia membahas sejumlah topik seperti kesetaraan gender, diskriminasi kelas, konstruksi media, depresi di masyarakat, hingga kehidupan masyarakat kapitalis. Dalam tulisannya mengenai kesetaraan gender, ia menyinggung adanya istilah-istilah yang melemahkan perempuan yang berupa ejekan dalam sepakbola. Misalnya, "nenek ku bisa melakukan lebih baik". Istilah yang merendahkan tersebut dianggapnya sebagai ucapan yang tak pantas. Di tulisan yang selanjutnya, perlahan ia mulai memasukkan ideologi tersebut dalam tulisannya. Misalnya, saat sepakbola menjelma sebagai mimpi yang dimaksudkan untuk menina-bobokan kelas menengah. Media mengantarkan ilusi yang terbalut dalam bentuk mimpi sepakbola. Ergich sempat menggetarkan dataran Turki saat ia diwawancara harian Radikal. Pria yang bermain untuk Bursaspor tersebut mengaku Karl Marx sebagai sosok yang selalu membuatnya terinspirasi. "Ayahku adalah seorang anggota Partai Komunis yang ortodok. Ia mengajariku menjadi manusia seutuhnya. Marx telah menguraikan kontradiksi dalam kapitalisme 150 tahun lalu sebelumnya. Uang merusak sepakbola. Aku tak ingin menjadi pesepakbola konvensional. Aku butuh inspirasi yang melampaui sepakbola," kata Ergich. Ergich mengaku terinspirasi tulisan sejumlah filsuf seperti Theodor Wiesengrund Adorno dan Max Horkheimer. Ia juga membaca karya-karya Jean-Paul Sartre. Menurutnya, hal tersebut dapat menjaga prinsip-prinsip yang ia anut. Socrates Menjadi wajar dengan kondisi kehidupan di Brasil, ada pesepakbola yang mau berpikir dan belajar. Ia adalah Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Olivier atau yang lebih dikenal dengan Socrates. Dengan statusnya sebagai pemain yang disegani pada masanya, ia memanfaatkannya dengan bersuara. Ia yang mengajarkan bagaimana pentingnya diskusi dan nilai-nilai demokrasi kala ia bermain di Corinthians pada musim 1978 hingga 1984. Kita lebih mengenalnya sebagai "Corinthians Movement" atau masa di mana pengelolaan klub dijalankan begitu demokratis. Salah satu dampaknya adalah kepedulian para pemain terhadap isu-isu di luar sepakbola. Misalnya, kala mereka menolak pemimpin diktator militer Brasil pada saat itu. Sama halnya dengan Socrates yang hidup dua ribuan tahun sebelum dirinya di Yunani, ia pun senang berjalan di kota, berdialog, dan berdiskusi. Lewat hal itulah, ia terus belajar. Utamanya belajar berpikir kritis. Jika ketiga pemain di atas lebih senang membaca karya Karl Max, lain dengan Socrates. Saat hijrah ke Fiorentina pada 1984, ia malah asyik membaca karya-karya Antonio Gramsci. "Saya di sini untuk membaca dan mempelajari Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh," ucapnya. Lewat teori Hegemoni yang ia tulis di balik tirai penjara, Gramsci menginspirasi sekaligus menyadarkan khalayak bahwa ada kepentingan yang luar biasa hebat dari apa yang kita terima pada masa kini. Hal tersebut tak lekang dari sepakbola. Pemerintahan yang bobrok dapat menggunakan sepakbola sebagai pengalihan isu. Nilai-nilai buruk yang mereka layangkan, diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa perlawanan. Socrates wafat pada 2011 dengan segala kritiknya terhadap Brasil dan FIFA. Meski telah tiada, wajahnya akan selalu tertempel di kaus-kaus, spanduk, dan selebaran kaum pergerakan. Selanjutnya: Cristiano Lucarelli dan Paul Breitner Cristiano Lucareli Nama selanjutnya yang identik berhaluan kiri adalah Cristiano Lucareli. Pemain yang bersinar bersama Livorno ini sampai-sampai menggunakan jersey nomor 99 dan menato tangannya dengan tulisan "99", sebagai penghormatan atas terbentuknya ultras berhaluan kiri, Brigate Autonome Livornesi. Lucarelli menjadi sedikit dari pesepakbola Italia yang secara terbuka mengemukakan pandangan politiknya ke lapangan. Saat merayakan gol, ia biasanya melakukan salam hormat ala Partai Komunis. Secara terbuka, ia menyatakan dirinya sebagai pendukung komunisme. Sama halnya dengan Breitner, ia merupakan penggemar Che Guevara. Wajah sang idola kerap terlihat dalam banner yang dibawa fans, ataupun dalam kaos yang dikenakan. Di kota kelahirannya, Livorno, Lucarelli berinisiatif untuk membentuk sebuah harian, karena di kota berpenduduk 200 ribu jiwa tersebut, hanya ada satu koran yang beredar. Artinya, akan adanya monopoli informasi bagi masyarakat Livorno. Koran tersebut diresmikan pada 9 September 2007. Bukan sebuah hal yang kebetulan kalau ia memilih 9/9 sebagai tanggal ulang tahun koran tersebut. Ia ingin berita yang dihasilkan seobjektif dan senetral mungkin. Ia tak ingin pandangan jurnalis masuk ke dalam berita. Pun dengan pandangan politiknya. Dalam sebuah momen, ia sempat mendedikasikan golnya bagi 400 pekerja pabrik yang di-PHK. Meski tak menolong secara langsung, tapi ia turut prihatin atas kejadian tersebut, dan ia akan selalu mendukung para buruh. Paul Breitner Lain halnya dengan Ergich, Paul Breitner lahir dalam pengaruh fasis yang kuat. Lahir di Kolbermoor, Jerman Barat pada 1951, Breitner tidak tumbuh dalam pandangan mayoritas. Perlahan, ia mengagumi Che Guevara. "Kematian Che Guevara memiliki dampak yang besar bagiku," kata Breitner, "Hal tersebut merupakan babak terpenting dalam perkembangan hidupku." Memang, di awal kariernya Breitner terbilang berani. Bagaimana tidak, pada usia 18 tahun, ia memilih bergabung bersama Bayern Munich ketimbang melanjutkan studinya di universitas. Breitner berposisi sebagai fullback kiri (kebetulan?). Ia memiliki kemampuan tekel yang kuat serta tendangan yang keras. Nyatanya, bermain di Bundesliga tak membuatnya puas. Ia menganggap Bundesliga selalu bicara tentang uang sehingga tak ada tempat untuk sosialisme. Ia sudah dididik untuk selalu bertanya kritis. Ia heran karena para pesepakbola selalu menuruti apa yang diperintahkan pelatih tanpa bertanya. Hal yang paling kontroversial adalah saat menyebut menyanyikan lagu kebangsaan sebelum bertanding akan merusak konsentrasi belaka. Di sepakbola, Breitner bersama tiga pesepakbola lain, Pele, Vava, dan Zidane, merupakan pencetak gol di dua final Piala Dunia. Atas pandangan politiknya tersebut, Breitner menjadi salah seorang pesepakbola yang dihormati. Bahkan, harian The New York Times menyebutnya sebagai "The newest hero of German counter-culture".   *** Empat pesepakbola tersebut mungkin hanya bagian kecil dari pesepakbola yang mau menentang arus, dengan mengutarakan pandangan politiknya. Menjadi seorang komunis atau sosialis atau yang berhaulan bukanlah perkara mudah. Mereka mesti siap dengan label-ing negatif dari masyarakat. Padahal, berada di kiri hanyalah sebuah pilihan, karena hidup adalah sebuah persimpangan jalan. Sumber gambar: efp.org.uk
Derita si Ular yang Kini Sedang Merana
Artikel sebelumnya Derita si Ular yang Kini Sedang Merana
Hindarilah Stroke dan Darah Tinggi dengan Bermain Sepakbola
Artikel selanjutnya Hindarilah Stroke dan Darah Tinggi dengan Bermain Sepakbola
Artikel Terkait