Budaya, seperti halnya dalam teori mitos yang diujarkan oleh Roland Barthes, adalah sesuatu yang bisa dibentuk dalam waktu yang cukup lama dan melalui proses yang berulang-ulang. Ia berawal dari sebuah kepercayaan, yang pada akhirnya membentuk sebuah kebiasaan yang mengakar di masyarakat. Ini tercermin juga dalam pembinaan usia muda yang dilakukan Persebaya.
Saat itu siang menjelang sore di Surabaya. Mes pemain Persebaya yang terletak di Karanggayam tampak sepi. Tak ada aktivitas yang terlalu mencolok terjadi di sana. Hanya ada beberapa pekerja yang sedang mengerjakan sesuatu, melakukan proses renovasi mes yang katanya akan membuat mes jadi lebih nyaman ditinggali oleh para pemain. Setidaknya itu yang Koesnadi dan rekannya dengar dari penjaga mes yang terlihat sudah seusia dengan bapak penjaga komplek di wilayah Buah Batu, Bandung, tempat Koesnadi tinggal.
Koesnadi dan rekannya pun memutuskan untuk masuk ke dalam setelah meminta izin untuk sekadar melihat-lihat, mendokumentasikan, serta membuat rekaman dari lemari-lemari trofi dan foto-foto skuat yang terpajang di ruang tengah mes. Banyak sekali trofi, penghargaan, serta foto-foto yang terpasang di sana, bahkan ada yang sudah sejak tahun 1960-an silam. Di sana juga terpajang jersey legenda milik almarhum Eri Irianto, sang pemilik cannon ball yang dipensiunkan oleh manajemen Persebaya.
Selang beberapa lama, Koesnadi dan rekannya mendengar teriakan-teriakan dari arah belakang mes. Terdengar seperti ada yang sedang asyik bermain sepakbola di belakang sana. Koesnadi dan rekannya pun bergegas menuju ke belakang mes, lalu terlihatlah sebuah pemandangan yang cukup menyejukkan baginya. "Oh, ada yang sedang bermain bola, rupanya," ujarnya dalam hati.
Saat sedang tekun menikmati pemandangan tersebut, Koesnadi dan rekannya pun dikejutkan oleh suara bapak-bapak yang sudah berdiri cukup lama di belakang mereka. "Bagaimana, Mas, sudah puas lihat-lihatnya?"
Mereka pun terkaget, dan memerhatikan sosok bapak tersebut sejenak. Bapak yang mengenakan topi, baju polo shirt berwarna merah dengan kerah polo nya yang hitam, serta mengenakan celana panjang bahan katun warna hitam. Dari wajahnya yang terlihat mulai digerogoti keriput, Koesnadi memprediksi bahwa bapak ini sudah cukup berumur, sekaligus paham betul dengan seluk-beluk mes ini serta cerita apa saja yang sudah terjadi di dalamnya.
Berawal dari keterkejutan, akhirnya pertemuan Koesnadi dan rekannya dengan si bapak yang bernama Mariono ini berlanjut kepada sebuah obrolan ringan namun sarat dengan kenangan. Pak Mariono, yang merupakan bagian dari Divisi Pembinaan Usia Muda Persebaya, saat itu kebetulan juga sedang memantau para pemain muda yang sedang bermain di lapangan belakang mes. Lapangan tersebut bernama Lapangan Persebaya ternyata. Ia bercerita banyak hal soal pembinaan pemain usia muda di Persebaya, dulu dan sekarang.
Pembinaan usia muda Persebaya dan hasilnya
Teriakan dan sahut-sahutan anak-anak masih terdengar begitu jelas dari arah lapangan Persebaya. Saat Koesnadi dan rekannya sedang berbincang ringan dengan Pak Mariono, di lapangan itu sedang diadakan uji tanding yang mempertemukan tim Persebaya U14 melawan salah satu tim junior dari kesebelasan internal Persebaya. Pertandingan berjalan menarik, dengan teriakan dari anak-anak yang menggema membelah lapangan yang serupa dengan Mini Estadi yang terletak di Barcelona sana.
Percakapan bersama Pak Mariono berjalan hangat. Bapak yang Koesnadi taksir usianya sudah mencapai angka 50 tahun ini berkisah panjang lebar tentang pembinaan usia muda di Persebaya yang melibatkan kesebelasan internal yang awalnya 30 kesebelasan. Sekarang, kompetisi internal Persebaya hanya menyisakan 20 kesebelasan (konon 10 kesebelasan yang tersisa menyeberang ke tim sebelah).
Pak Mariono, beserta dengan tim Divisi Pembinaan Usia Muda Persebaya, bahkan berencana untuk membentuk tim yang akan dikirim ke Liga 3 (Liga Nusantara) bernama Kota Pahlawan Surabaya. Tim ini kelak diproyeksikan menjadi Kawah Chandradimuka bagi pemain muda sebelum akhirnya mereka kelak direkrut oleh tim senior Persebaya.
"Jadi, di Persebaya sekarang ini ada 20 klub anggota yang sedang berkompetisi, bahkan sudah berlangsung selama setengah musim putaran. Kita ini, kan, 20 klub, kalau tiap klub rata-rata ada 22 pemain, sudah ada banyak stok pemain. Mereka berproses di klub masing-masing, tinggal kita memfasilitasi dengan pertandingan, mereka pun terpantau oleh kami. Ada sebuah jenjang proses yang dilalui pemain-pemain kami, bahkan sejak mereka masih berusia 12 tahun."
"Untuk memasok pemain bagi tim Persebaya, kami sudah siapkan tim untuk berkompetisi di Liga 3 (Linus), namanya Kota Pahlawan Surabaya. Belum, tim ini belum berkompetisi di Liga 3. Kebetulan sudah diseleksi dan mengerucut ke 35 pemain, memang jenjang kita ke sana. Jadi anak-anak ini diharapkan masuk di Liga 3, di amatir dulu, nanti sudah sekian tahun berproses dan kalau cocok, bisa dinaikkan ke tim senior tergantung dari kebutuhan pelatih nantinya," ujarnya.
Suara anak-anak pun kian menggema ketika tim Persebaya U14 sukses mencetak gol dalam pertandingan yang sedang berlangsung di lapangan tersebut. Saat sang anak sudah mencetak gol, Pak Mariono seolah tidak mau kalah. Ia menyebutkan pemain-pemain hasil binaan kesebelasan internal yang sudah kembali ke Persebaya ataupun masuk skuat tim senior di kesebelasan lain.
"Banyak produk hasil kesebelasan internal ini dipakai oleh klub-klub lain, termasuk Andik (Vermansyah) dan Evan (Dimas). Ada juga nama Prasetyo Handoko, Mohamad Erfan, tapi ada juga produk Persebaya yang banyak berproses di luar. Ada Oktaviano Fernando, ada (Sidik) Saimima, ada juga Rahmat Irianto, itu juga produk-produk lokal Persebaya. Angga Febryanto juga produk Persebaya yang berproses di luar, pernah masuk tim Danone," ujarnya dengan bangga.
Koesnadi terhenyak. Sesaat dia merasa bahwa dia pernah mendengarkan perkataan yang sama dengan yang Pak Mariono katakan dari orang lain. Oh ya, Pak Totok Risantono yang pernah dia temui pada suatu sore di Tambaksari juga mengucapkan hal yang mirip. Selain berbicara tentang kekecewaannya atas Persebaya zaman sekarang, Pak Totok juga mengungkapkan sesuatu tentang banyaknya pemain binaan Persebaya yang banyak menjadi pemain-pemain inti, baik itu di kesebelasan lain maupun sudah pulang ke Persebaya lagi.
"Hasil kompetisi Persebaya yang ada di luar itu banyak, seperti Dimas Galih, Syaifudin, itu semua produk internal Persebaya. Ada Sidik Saimima, Rahel (pemain Persegres), ada juga Fandi Eko Utomo, itu semua hasil produk Persebaya. Belum lagi ditambah Evan Dimas, Andik Vermansyah, sama Andika Rama. Tradisi memproduksi pemain memang sudah berjalan sejak dahulu," ujar Pak Totok.
Persebaya memang gudangnya pemain berbakat sepertinya, gumamnya dalam hati.
lanjut ke halaman berikutnya
Membentuk budaya melalui pembinaan pemain usia muda
Pertandingan yang sedang dilangsungkan di lapangan Persebaya tampak sudah hampir selesai. Para pemain sudah tidak lagi sekuat ketika awal dan tengah pertandingan berlangsung. Mereka juga punya batasan fisik, sepertinya, karena selain mereka hanya sekumpulan manusia biasa, mereka juga hanyalah para remaja yang paru-parunya masih belum sebesar para pemain yang sudah memasuki usia 17 tahun ke atas. Mereka masih butuh waktu untuk mencapai hal tersebut.
Namun, berbeda dengan para pemain yang sudah tampak kelelahan, Pak Mariono semakin semangat bercerita soal pembinaan pemain muda di Surabaya. Ia, meski secara tidak langsung, mengungkapkan bahwa pembinaan pemain muda Persebaya bukan hanya soal mencetak pemain berbakat, tetapi juga soal membentuk serta melestarikan budaya yang sudah ada sejak lama di Persebaya.
"Kita sudah punya visi bahwa anak-anak ini kita bentuk karakternya, menjadi pemain bagus yang berkarakter yang berjiwa nasionalisme dan berjiwa fair play, baru kita tekan kepada prestasi," ujar Pak Mariono.
Ingatan-ingatan kembali berputar di kepalanya. Ucapan Pak Mariono yang ingin mempersiapkan para pemain sembari menyisipkan budaya-budaya khas Surabaya kepada para pemain seperti pernah ia dengar sebelumnya. Ah, kembali Koesnadi terkenang Pak Totok Risantono. Pak Totok sempat juga bercerita panjang lebar perihal pembentukan karakter dan penyisipan budaya khas Surabaya melalui pembinaan.
Di tengah zaman yang sudah semakin maju dan hilir mudik pemain dari satu kesebelasan ke kesebelasan yang lain yang sudah macam bus antar daerah, Pak Totok percaya bahwa ada sebuah dedikasi serta kebanggaan tersendiri yang akan tumbuh jika pemain merupakan hasil binaan. Semangat juang dan mental kuat khas arek Suroboyo, ujar Pak Totok, akan terbentuk lewat pembinaan yang melibatkan kesebelasan-kesebelasan internal Persebaya.
Suasana pertandingan di lapangan Persebaya
"Dedikasi juga akan ada jika pemain merupakan hasil kompetisi internal sendiri. Dulu itu bahkan ketika dipanggil masuk ke lapangan, MC-nya bahkan sampai memanggil nama pemain sesuai dengan daerahnya, dan itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi sang pemain. Sekarang, kan, nggak. Pemain-pemain juga banyak yang keluar, tapi memang situasinya seperti itu (dualisme dan vakum). Jika situasinya normal dan aman, Persebaya akan kuat. Pemain produksi sendiri, gak keluar uang banyak, kuat pasti."
"Itu semua karena kompetisi kesebelasan internal yang berjalan. Anak-anaknya senang, dan mereka semua terlatih, kelanjutan kariernya juga ada kalau pemain berkompetisi di kompetisi internal. Ingin jadi pemain Persebaya, coba masuk dulu ke kesebelasan internal agar mental khas Surabaya tertanam dalam diri Anda," ujar Pak Totok bercerita sembari matanya terlihat menerawang, mengenang masa saat pemain-pemain binaannya membela kesebelasan Persebaya.
Ada juga cerita yang tertutur dari salah satu warga yang pernah mengikuti pertandingan klub internal dan seleksi masuk tim junior Persebaya bernama Fandy. Ia menuturkan kala itu, ketika ada anak-anak muda bermain di lapangan Persebaya, maka para pemain senior yang tinggal di mes akan keluar dan menonton pertandingan itu dari atas genting. Sorakan-sorakan yang bernada bercanda itu membuat para pemain yang bermain menjadi tegang, tapi di sisi lain itu membentuk mental para pemain muda.
"Waktu itu saya ingat, saya pernah ikut seleksi Persebaya U16 di lapangan Persebaya. Ada beberapa pemain Persebaya nonton di atas genting mes. Mereka menyoraki kami, dan itu sempat bikin kami tegang," ujar Fandy.
Koesnadi pun menerawang jauh ke kesebelasan kota kelahirannya, Persib Bandung, sembari mengingat masa-masa jaya saat Persib masih diperkuat bibit-bibit lokal asli Jawa Barat (atau talenta lokal yang sudah diasah dengan metode a la Jawa Barat). Seketika ia teringat Robby Darwis, Ajat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara, dan nama-nama lain. Waktu memang terlalu cepat berlalu, sehingga ia sampai sadar bahwa sekarang talenta Jawa Barat yang ada di Persib jumlahnya mungkin hanya bisa dihitung dengan jari.
Apa yang diucapkan Pak Mariono, diselingi dengan fragmen ingatan saat berbincang dengan Pak Totok, membuat Koesnadi menyelami bahwa ada sesuatu yang sedang menjelang hilang dari sepakbola Indonesia, jika tak ada orang yang menyadarinya.
***
Suara alunan lagu Kelingan Mantan terdengar sayup-sayup dari radio seorang pedagang krengsengan di pinggir jalan Karang Menjangan, tidak jauh dari Universitas Airlangga. Malam hari yang dingin membuat sang pedagang tampak tidak kuat, dan akhirnya tidak lama kemudian bergegas membereskan gerobaknya, bersiap untuk pulang. Pelukan hangat istri di rumah adalah hal bijak yang bisa dipilih saat itu, daripada terjebak di tengah udara dingin Kota Surabaya.
Koesnadi dan rekannya sudah kembali ke kamar penginapan, beristirahat setelah melalui sebuah hari yang bisa dianggap seperti sebuah perjalanan menggunakan mesin waktu. Cerita dari Pak Mariono, diselingi juga dengan cerita-cerita lain membuat banyak hal bergumul di dalam pikiran Koesnadi, tentang kesebelasan kota kelahirannya dan juga Persebaya yang konsisten dalam merawat para pemain muda.
Ia berharap, bahwa hal sama akan terjadi lagi. Masa ketika pemain-pemain lokal menunjukkan kualitasnya tanpa dibatasi oleh kehadiran pemain asing. Masa ketika pemain lokal mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di tanah air mereka sendiri, bermain sepakbola secara bebas tanpa merasa harus tersaingi dengan kehadiran pemain asing.
Tapi Surabaya memberikan hal yang lebih daripada itu. Pembinaan lebih dari sekadar mencetak pemain yang baik secara teknik dan fisik. Lebih jauh, pembinaan juga adalah bentuk dari pelestarian dan pembentukan budaya, yang pada akhirnya akan membuat para pemainnya tidak akan pernah lupa bahwa mereka berasal dari Persebaya Surabaya, dari Kota Surabaya.
Bersambung . .
Tulisan ini adalah bagian kedua dari kumpulan hasil liputan khusus kami ke Surabaya untuk mendalami Persebaya Surabaya dan Bonek.
Kumpulan tulisan mengenai Persebaya bisa dibaca pada tautan di bawah ini: Tulisan 1: Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir Tulisan 2: Proses Pembentukan Budaya Itu Bernama Pembinaan Usia Muda Tulisan 3: Menuju Era Baru Persebaya dan Tantangan yang Harus Dijawab Manajemen
Sementara kumpulan mengenai Bonek bisa dibaca pada tautan di bawah ini: Tulisan 4: Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek Tulisan 5: Identitas Bonek Melalui Aksi Estafetan Tulisan 6: Upaya-upaya Bonek untuk Mengubah Stigma Negatif di Media dan Masyarakat Tulisan 7: Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek Tulisan 8: Lebih Dekat dengan Perjuangan Andie Peci