Dalam sejarah sepakbola Italia, Lazio bukanlah kesebelasan besar. Meski berasal dari ibu kota, daya tarik kesebelasan berjuluk Biancoceleste ini kalah jauh dari Juventus, AC Milan atau Internazionale Milan. Buktinya, Lazio yang sudah berusia lebih dari 110 tahun ini baru dua kali merasakan gelar juara Serie A.
Walau begitu, sama seperti Fiorentina, Napoli, Torino dan rival sekota AS Roma, dan tentunya bersama kesebelasan langganan scudetto, Lazio merupakan kesebelasan yang cukup lama malang-melintang di Serie A. Dari 86 musim bergulir kompetisi teratas Italia, total 75 musim Lazio ikut ambil bagian.
Tapi dalam 75 tahun tersebut, Lazio masih selalu saja kesulitan mengangkat derajat klub. Apalagi setelah juara pada 1999-2000, Lazio mulai terpinggirkan dari kandidat juara Serie A. Untuk berlaga di kompetisi Eropa pun bukan hal yang mudah bagi mereka. Apalagi setelah Cirio, sponsor yang membesarkan mereka di akhir 90an, mengalami krisis finansial pada 2002. Lazio seolah membangun klub dari nol karena susah payah mencari sponsor.
Adalah Claudio Lotito yang menyelamatkan Lazio pada 2004. Meski begitu, pengusaha asal Roma itu bukanlah pengusaha kaya yang siap menggelontorkan banyak dana untuk menyulap Lazio jadi kesebelasan terbaik. Ia memilih jalan panjang dan lambat untuk membangun Lazio. Maka tak heran meski sudah lebih dari satu dekade memimpin Lazio, prestasi tak kunjung datang.
Namun harapan Lotito untuk membuat Lazio bisa berbicara banyak dalam hal prestasi kini mulai muncul. Harapan itu terlihat sejak dimulainya musim 2016/2017. Kegagalannya mempertahankan Marcelo Bielsa sebagai pelatih di awal musim melahirkan sosok yang tepat bagi Lazio dalam berprestasi.
Dia adalah Simone Inzaghi. Lewat jalan dan perjalanan karier yang berliku, Simone mulai menemukan jalur yang tepat bagi kariernya. Bersama kepercayaan Lotito, Simone yang memasuki musim kedua menukangi Lazio ini berpotensi menjadi sosok yang bisa menerbangkan Si Elang lebih tinggi, sekaligus menahbiskan diri bahwa kemampuan melatihnya lebih baik dari sang kakak, Filippo Inzaghi.
***
Simone memiliki karier sebagai pelatih dengan melanjutkan kariernya di sepakbola setelah pensiun sebagai pesepakbola profesional pada 2010. Tapi selama menjadi pemain, kariernya tak terlalu mentereng. Ia hanya menjadi bayang-bayang sang kakak, Filippo Inzaghi. Pencapaian Simone tak seperti Filippo yang sudah mencicipi bermain di kesebelasan besar Italia (Juventus dan Milan) dengan segala trofi bergengsi yang pernah diraihnya (termasuk Piala Dunia).
Simone hanya sekali meraih scudetto. Lazio, yang selalu menjadi underdog, merupakan kesebelasan terbesarnya. Ia pernah dipanggil timnas Italia, tapi hanya tiga kali saja. Hanya enam piala saja yang ia torehkan selama menjadi pemain; setengah dari trofi yang dimiliki sang kakak. Oleh karenanya tak heran nama Inzaghi lebih lekat dengan sang kakak daripada dirinya.
Sebagai pelatih pun awalnya Filippo langsung mengalahkan sang adik. Jika Simone harus merintis karier kepelatihannya di tim junior Lazio selama enam musim, hanya butuh satu tahun bagi Filippo untuk langsung dipromosikan melatih skuat senior. Tahun 2014 Filippo sudah ditunjuk jadi pelatih Milan, setelah setahun melatih Milan Primavera.
Tapi Simone tetap tekun menekuni kariernya walau jauh dari popularitas seperti yang didapatkan kakaknya. Di sisi lain, ia berhasil memoles bakat-bakat muda Lazio untuk bisa promosi ke skuat senior. Dimulai dari Luis Cavanda, Ogenyi Onazi, sampai yang terbaru Keita Balde Diao merupakan pemain-pemain yang bakatnya terasah oleh Simone di Lazio Primavera.
Karena itu juga Lotito tak ragu menunjuk Simone kala Bielsa secara mengejutkan mengundurkan diri ketika musim 2016/2017 belum dimulai. Simone paham betul pemain-pemain muda Lazio yang promosi ke skuat senior. Selain itu, Simone pun merupakan sosok yang lekat dengan Lazio, di mana ia lebih dari 10 tahun membela Lazio sebagai pemain.
Selain itu juga, Simone punya prestasi selama menukangi Lazio U19 tersebut. Dalam enam musim, ia berhasil membawa Lazio juara Coppa Italia Primavera dua kali secara beruntun dan satu kali meraih trofi paling bergengsi di antara klub primavera, yakni Campianato Nazionale Primavera.
Sebelumnya, bakat-bakat muda Lazio kesulitan meraih gelar juara pada kompetisi apapun. Coppa Italia Primavera yang diraih Lazio sebelum ditorehkan Simone pada 2013/2014, terakhir diraih pada 1978-1979. Sementara itu untuk Campionato Nazionale Primavera, Lazio terakhir kali menjuarainya pada 2000-2001. Trofi tersebut nyaris bertambah pada 2015 andai Lazio tak dikalahkan Torino pada partai final lewat adu penalti.
Bersambung ke halaman berikutnya
Halaman Kedua
Bakat melatih Simone memang sudah terlihat selama menukangi Lazio Primavera. Tak heran sebenarnya, karena pelatih yang mendapatkan lisensi UEFA Pro dengan tesis berjudul Dinamiche allenatore-gruppo squadra ini sudah punya aura kepemimpinan sejak kecil. Bahkan aura kepemimpinannya lebih menonjol dibanding sang kakak.
Simon Kuper, dalam tulisannya mengenai Inzaghi bersaudara di Guardian, menyebutkan bahwa pada usia 8 tahun Simone menjadi kapten tim klub sepakbola daerahnya meski dalam timnya tersebut terdapat Filippo yang lebih tua tiga tahun. Simone memang dikenal punya kepribadian lebih dewasa dibanding Filippo yang manja.
Saat Filippo memulai karier profesionalnya, sang ibu, Marina Inzaghi, harus memilihkan pembantu rumah tangga untuk Filippo. Bahkan saat itu Marina masih sering membantu Filippo dalam mencuci baju dan berbelanja untuk keperluan sehari-hari. "Saya pikir Filippo selalu mendapatkan kesulitan ketika harus pergi ke supermarket," terang Marina.
Dalam tulisan lain, Paolo Bandini mengisahkan bahwa Filippo akan selalu mengajak Simone untuk bermain sepakbola ketika keduanya masih kecil. Anak-anak tetangga seringkali mengajak Filippo bermain sepakbola karena ia punya kemampuan mencetak gol yang tak dimiliki anak-anak lainnya. Akan tetapi, Filippo tak akan pergi jika sang adik tak ikut.
"Ketika temannya datang mengajak Filippo bermain, Filippo bersedia ikut tapi selalu dengan jawaban, `boleh, asalkan Simone bisa ikut bermain juga`," kenang Marina mengenai masa kecil Inzaghi bersaudara di Piacenza.
Kemampuan bermain sepakbola Simone, sejak dulu, memang tak pernah lebih baik dari sang kakak. Maka tak mengherankan juga selama berkarier sebagai pemain Simone selalu berada dalam bayang-bayang Filippo. Ketika Filippo bergabung ke Juventus, Simone masih bermain di divisi tiga bersama Brescello. Filippo paling rendah bermain di Serie B, Simone paling rendah bermain di Serie D. Simone pun akhirnya pensiun lebih cepat dari sang kakak.
Meski begitu, Filippo tak pernah merasa besar kepala pada sang adik. Sebaliknya, keduanya terus saling mendukung sejak keduanya masih menjadi pemain. Begitu juga setelah keduanya menjadi pelatih. Hanya saja soal kepelatihan, Filippo mengakui bahwa sang adik punya bakat melatih yang lebih baik dibanding dirinya.
Filippo sendiri mengakui meneruskan karier sebagai pelatih pun terinspirasi dari Simone yang terjun ke dunia kepelatihan lebih dulu. Ketika Filippo menukangi Milan, Simone adalah orang pertama yang ia mintai saran. "Kami bicara terus menerus, beberapa kali sehari. Saya menghubunginya (Simone) untuk menanyakan keponakan saya, karena saya sangat dekat dengan mereka. Tapi kami selalu membicarakan sepakbola," kata Filippo seperti dikutip Football Italia.
"Saya mendengarkannya, karena dia lebih baik dari saya. Betul, dia mulai (kepelatihan) lebih dulu dari saya, karena dia melatih tim muda Lazio dan saya masih bermain. Saya mengambil jalan ini (menjadi pelatih) justru karena saya melihat antusiasmenya," sambungnya.
***
Kini, apa yang dikatakan Filippo jadi kenyataan. Simone, yang awalnya berstatus caretaker Lazio sepeninggal Stefano Pioli, sekarang sudah meneken kontrak tiga tahun sebagai pelatih Lazio. Walau dengan sebuah rencana tak terduga (pengganti Bielsa), Simone membuktikan kualitasnya dengan mampu meloloskan Lazio, sang underdog, ke Liga Europa dan final Coppa Italia. Selain itu, satu trofi Super Coppa Italia di awal musim 2017/2018 pun menjadi bukti lainnya bahwa Simone memang punya bakat melatih mumpuni.
Ketika Lazio asuhannya menaklukkan Milan dengan skor telak 4-1 pada pekan ketiga Serie A 2017/2018, banyak pihak yang terkejut. Padahal pada musim 2016/2017, Lazio asuhannya beberapa kali pesta gol ke gawang lawan. Pescara dan Palermo dihajar dengan skor 6-2. Sementara itu Sampdoria dibantai 7-3. Skor-skor tersebut terbilang langka di Italia, apalagi Italia dikenal sebagai liga dengan pertahanan yang sulit ditembus.
Dengan pencapaian-pencapaian Simone belakangan, situasi Simone dan Filippo mulai berbalik. Jika saat masih jadi pemain Simone yang bermain di divisi tiga sementara Filippo di Serie A, sekarang giliran Simone yang bisa bertahan di Serie A sementara sang kakak harus bersusah payah mempromosikan Venezia di Serie C pada musim lalu. Dalam kepelatihan, Filippo memang kalah dari sang adik.