25 Mei 2005. Ataturk Olimpiyat Stadium, Istanbul.
Manuel Mejuto Gonzalez meniupkan peluit tanda berakhirnya babak pertama. Para pemain AC Milan cukup tenang berjalan ke ruang ganti atas gol yang dicetak Paolo Maldini dan dua gol Hernan Crespo. Sementara itu, para pemain Liverpool mulai berpikir tak karuan karena di 45 menit pertama, gawang mereka dibobol tiga kali. Tanpa balas.
Pemain sarat berpengalaman Liverpool, Jamie Carragher, juga tak berdaya menghadapi situasi itu. Ketinggalan 3-0 di babak pertama, di pertandingan sekelas final Liga Champions, merupakan sebuah bencana besar. Ia sudah pasrah. Ia tak lagi memikirkan pertandingan. Dalam benaknya, ia merasa kecewa dan menyesal tidak bisa membuat para pendukung Liverpool berbahagia.
"Saat berjalan menuju ruang ganti, saya merasakan kecewa dan menyesal. Saya tidak bisa mengangkat kepala saya untuk melihat keriuhan atau banner dan seragam merah yang menyemut di Ataturk. Mimpi saya sudah musnah. Saya sudah tak lagi memikirkan pertandingan. Saya lebih memikirkan keluarga dan teman-teman saya, `Apa yang akan mereka katakan pada saya atas hasil ini?`," kenang Carragher.
Dalam pikirannya, Carragher memang sudah mengibarkan bendera putih. Bahkan sudah terpikirkan olehnya bahwa ia ingin segera menuju ruang ganti, menghabiskan 15 menit bersama rekan-rekannya yang tertunduk lesu, lalu berusaha menjaga skor tetap 3-0. Ia tidak ingin kalah lebih telak lagi. Apalagi Liverpool sudah kehilangan Harry Kewell yang cedera di menit ke-23.
Harry Kewell saat ditarik keluar karena cedera
Memasuki ruang ganti Liverpool, keheningan sempat terjadi beberapa menit, sesuai dengan yang dibayangkan Carragher. Namun keheningan pecah ketika Rafael Benitez, manajer Liverpool saat itu, meminta perhatian anak asuhnya dengan bahasa Inggris yang kurang sempurna.
Benitez lantas menyuruh Djimi Traore, bek kiri, untuk mandi lebih dulu. Itu merupakan tanda pergantian pemain dari Benitez. Ia hendak melakukan pergantian pemain keduanya pada laga tersebut. Untuk mengejar ketertinggalan, Traore rencananya akan digantikan Djibril Cisse dan Liverpool akan bermain dengan skema 3-5-2.
Pada saat itu, Benitez masih terlihat tenang. Tak ada kekhawatiran atau putus asa atas skor 3-0 yang menimpa timnya. Bahkan ia tidak bereaksi berlebihan ketika tiba-tiba Steve Finnan menginterupsi instruksinya. Bek asal Irlandia itu berkata pada Dave Galley, tim medis Liverpool, bahwa ia mengalami cedera dan tidak bisa melanjutkan pertandingan. Argumennya itu bahkan didukung oleh Galley, yang meminta Benitez mengganti Finnan.
Benitez jelas harus memutar otak. Satu pergantian sudah ia lakukan di babak pertama ketika Vladimir Smicer masuk menggantikan Kewell yang cedera. Ia juga berencana memasukkan Cisse untuk menyempurnakan skema 3-5-2. Jika Finnan ditarik keluar saat itu juga, maka tak ada lagi pergantian pemain di sisa 45 menit pertama.
"Kita hanya punya dua pergantian lagi karena kita sudah kehilangan Kewell yang cedera. Saya tidak bisa mengganti dua pemain sekarang. Dan jika kamu [Finnan] tetap bersikukuh, maka saya akan kehilangan pergantian terakhir saya," ujar Benitez mencoba merayu Finnan untuk tetap bermain.
Tapi Finnan, didukung oleh Galley, tetap menyatakan tidak bisa melanjutkan pertandingan. Benitez lantas sempat terdiam sejenak. Lalu tak lama kemudian, ia mengambil keputusan. Ia mengubah rencananya.
Bersambung ke halaman berikutnya
Halaman kedua
Djimi Traore yang sudah melepaskan seragamnya, tak jadi diganti dan disuruh kembali mengenakan seragamnya. Finnan ia tarik keluar. Skemanya adalah ia memasukkan Dietmar Hamann untuk menggantikan Finnan. Pola 3-5-2 tetap dijalankan, menggantikan 4-2-3-1 andalan Benitez. Hanya saja Smicer digeser ke sayap kanan, sementara Luis Garcia menjadi duet Baros. Selain karena kondisi Finnan, pertimbangan utama perubahan skema ini adalah untuk mematikan pergerakan motor serangan Milan, Andrea Pirlo.
"Hamann akan menggantikan Finnan dan kita akan bermain dengan 3-5-2," Benitez memutuskan. "Pirlo mengontrol jalannya pertandingan dari tengah, jadi saya ingin Luis [Garcia] dan Stevie [Gerrard] bermain di sekitarnya dan berusaha unggul jumlah pemain di tengah agar ia [Pirlo] tidak bisa mengoper."
Skema ini bukan skema asing bagi para pemain Liverpool. Skema 3-5-2 ini pernah dipakai sebelumnya pada laga melawan Juventus di babak perempat final. Namun skema itu bertujuan untuk bermain lebih defensif, di mana saat itu Liverpool berhasil menahan imbang Juventus tanpa gol untuk memuluskan kemenangan 2-1 di leg pertama.
Maka pada babak kedua, Liverpool bermain dengan skema 3-5-2. Traore menemani Carragher dan Sami Hyppia di depan penjaga gawang, Jerzy Dudek. Hamann berduet dengan Xabi Alonso sebagai double pivot untuk mengunci pergerakan Kaka. John Arne Riise kiri, Smicer kanan. Steven Gerrard di belakang Garcia dan Baros.
Hasilnya, seperti yang kita tahu, adalah keajaiban. Selain Milan kesulitan menciptakan peluang, Liverpool mampu mencetak tiga gol pada babak kedua. Sementara pada ketiga gol tersebut, terbukti perubahan skema yang dilakukan Benitez berjalan sangat efektif.
https://twitter.com/ardynshufi/status/914066390021111808
Pada gol pertama, skema dua penyerang membuat Jaap Stam dan Alessandro Nesta, bek tengah Milan, terfokus pada Baros dan Garcia. Ketika Riise mengirim umpan silang ke kotak penalti, Gerrard menyambutnya tanpa kawalan. Nesta menjaga Baros, sementara Stam bertugas menjaga Garcia. Sempat dibantu Paolo Maldini, namun Stam terlambat untuk mengganggu Gerrard.
Gol kedua, giliran Smicer yang mencetak gol. Hamann, yang masuk pada babak kedua, tercatat sebagai pengasis gol Smicer tersebut. Kehadiran Hamann memang membuat Liverpool unggul di tengah selama babak kedua. Selain itu pada gol yang tercipta dua menit berselang dari gol Gerrard tersebut terlihat bagaimana Garcia dan Baros mengacaukan konsentrasi Nesta dan Stam.
Untuk gol ketiga, pergerakan Garcia membuat Stam meninggalkan kotak penalti. Sementara itu Nesta harus menjaga ketat Baros. Di situlah penyerang asal Republik Ceko tersebut menciptakan ruang kosong untuk Gerrard. Gerrard yang berkesempatan mencetak gol lantas dilanggar Gennaro Gattuso. Penalti untuk Liverpool, yang meski tendangan Xabi Alonso sempat ditepis Nelson Dida, gelandang asal Spanyol tersebut berhasil menyambar bola liar untuk memaksakan imbang 3-3 pada 90 menit.
Pertandingan sendiri dilanjutkan ke babak tambahan, bahkan hingga adu penalti. Liverpool akhirnya keluar sebagai pemenang setelah menang 3-2. Dudek tampil gemilang dengan menahan eksekusi Pirlo dan Andriy Shevchenko untuk melengkapi tendangan Serginho yang melambung tinggi. Sementara kegagalan eksekusi Riise dibayar tuntas oleh Hamann, Smicer, dan Cisse.
Kemenangan Liverpool jelas di luar dugaan. Tak heran juga laga ini dikenal sebagai "Miracle of Istanbul" atau "Keajaiban Istanbul". Liverpool yang kalah 3-0 di babak pertama, mampu menyamakan kedudukan di babak kedua, dan berbalik menang lewat adu penalti, di mana ini menjadi salah satu comeback paling dramatis. Hasil tersebut tentu tak lepas dari kejelian Rafael Benitez yang mengubah taktiknya saat turun minum.
***
Kini, 12 tahun berselang, Benitez akan bertemu kembali Liverpool. Pada pekan ke-7 Liga Primer Inggris 2017/2018, Newcastle United, kesebelasan yang ia tangani saat ini, akan menjamu Liverpool. Laga ini mungkin bukan pertemuan pertama Benitez dengan kesebelasan yang pernah ia bawa berjaya itu, tapi ketika nama Benitez dan Liverpool tergabung dalam satu waktu, ingatan akan "Keajaiban di Istanbul" tampaknya akan selalu kembali teringat.
Bersama Liverpool, Benitez memang semakin dikenal dunia. Apalagi sampai sekarang, dengan pencapaian-pencapaian lainnya, pelatih berkebangsaan Spanyol tersebut masih memegang status sebagai satu-satunya pelatih yang pernah merasakan gelar juara Liga Champions, Liga Europa, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antar Klub.
Liverpool sendiri, dari dua kali pertemuan menghadapi skuat asuhan Benitez, belum sekalipun meraih kemenangan. Pada dua pertemuan sebelumnya, saat Benitez menangani Chelsea dan Newcastle, Liverpool selalu dipaksa bermain imbang 2-2. Benitez sendiri kerap disambut bak pahlawan di Anfield, yang mungkin inilah menjadi penyebab pertemuan antara Benitez dan Liverpool selalu menjadi nostalgia tersendiri bagi "Keajaiban di Istanbul".
Kisah di atas terinspirasi dari apa yang dituliskan Jamie Carragher dalam otobiografinya, Carra: My Autobiograph.