Berapa usia termuda seorang pelatih kesebelasan divisi teratas sebuah negara top sepakbola saat ia muncul ke permukaan? Yang paling santer diberitakan, kita mengenal Julian Nagelsmann di Jerman. Usianya saat ini 30 tahun, tapi ia mendapatkan label pelatih termuda di divisi teratas Jerman (Bundesliga) pada usia 28 tahun ketika ditunjuk melatih 1899 Hoffeinheim pada 2015 lalu.
Ternyata, di Indonesia pun ada seorang pelatih muda yang bisa menorehkan tinta emas dengan label pelatih termuda. Usianya saat ini 27 tahun. Lisensinya baru B AFC memang, yang membuatnya tidak bisa menjadi pelatih kepala di kesebelasan Liga 1. Tapi dalam waktu dekat, tepatnya Januari mendatang, ia akan mengikuti kursus kepelatihan lisensi A AFC di Maladewa.
Jika semuanya lancar (keputusan ikut atau tidak tidaknya pada Senin (26/12) mendatang), ia akan menjadi pelatih termuda sepanjang sejarah Indonesia yang mendapatkan lisensi A AFC. Sebelumnya catatan pelatih termuda lisensi A AFC Indonesia diraih oleh Iwan Setiawan, pelatih Borneo FC saat ini, yang mendapatkannya pada usia 29 tahun.
Pemuda itu adalah Muhamad Yusup Prasetiyo. Nama pelatih yang akrab disapa Yoyo ini cukup asing. Tapi belakangan pamor pelatih kelahiran 21 April 1990 ini mulai naik ketika ia ditunjuk sebagai asisten pelatih PSMS Medan, yang berhasil promosi ke Liga 1 2018 bersama pelatih asal Bandung, Djajang Nurjaman.
Meski namanya baru muncul ke permukaan, sebenarnya ia punya rekam jejak melatih yang cukup mentereng, yang membuat sepakbola Indonesia patut berbangga punya pelatih muda potensial yang bisa memberikan warna baru di sepakbola nasional. Tapi lebih dari itu, pengalaman dan pengorbanannya untuk bisa seperti sekarang ini, bisa menjadi asisten pelatih klub Liga 1 di usia muda dan pernah menukangi klub Tiongkok, bisa menjadi inspirasi bagi semua orang yang hendak berkarier menjadi pelatih sepakbola.
Pengorbanan Yoyo untuk menekuni kepelatihan
Kebanyakan pelatih yang malang melintang di kesebelasan-kesebelasan Indonesia saat ini merupakan mantan pemain pro sepakbola Indonesia. Sebut saja Widodo Cahyono Putro, Aji Santoso, Djajang Nurjaman, Rahmad Darmawan, Herrie Kiswanto, Timo Scheunemann, Gomes de Oliveira hingga Jacksen F. Thiago. Begitu juga dengan para asisten pelatihnya, dimulai dari Herrie Setiawan sampai Eko Purdjianto.
Tapi Yoyo memilih berprofesi sebagai pelatih meski ia bukan berasal dari pemain pro. Ia memang sempat menjadi pemain Persita U-18, bahkan dipanggil timnas Indonesia U-17. Akan tetapi kariernya sebagai pemain hanya sebatas itu. Sejak muda, ia lebih menekuni kepelatihan ketimbang menjadi pemain.
Perjuangannya menjadi pelatih pun tidak mudah. Segala macam hambatan menghampirinya, yang bisa membuatnya kapan saja berhenti mengejar mimpi untuk menjadi pelatih.
Yoyo mendapatkan tentangan dari kedua orang tuanya, khususnya Saeni, sang ibu. Ibunya lebih ingin ia kuliah dengan benar, menjadi sarjana dan menjadi guru. Ia pun menuruti saran sang ibu dengan masuk ke salah satu universitas negeri di Jakarta, apalagi ketika itu ia mendapatkan beasiswa di bidang pendidikan.
"Orang tua pengen saya kuliah. Yah, yang namanya orang kampung, orang Betawi, pengen anak-anaknya itu kuliah. Waktu itu (2008) kebetulan ada beasiswa dari UIN Jakarta, klub bolanya butuh pemain. Akhirnya saya masuk di situ, tapi di situ saya justru gak bisa main bola lagi karena sibuk sekali," tutur Yoyo saat kami wawancarai.
"Mestinya saya jadi guru Bahasa Indonesia (beasiswa yang didapat Yoyo jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia). Ibu saya orang yang paling pengen saya jadi guru, gak mau dia saya jadi pelatih sepakbola," sambungnya. "Tapi sekarang dia mulai percaya sepakbola bisa menghidupi, bahkan alhamdulillah saya bisa memberangkatkan beliau haji hasil dari melatih."
Saat menjadi pemain, bakat Yoyo sebenarnya cukup potensial. Berposisi sebagai winger kiri di Persita Tangerang U-18, ia sempat dipanggil timnas U-17 asuhan Aji Santoso pada 2005. Ketika itu ia dipanggil bersama sejumlah pemain yang beberapa di antaranya kini menjadi pemain top di Indonesia.
"Saya di timnas U17 waktu itu sama Ramdani Lestaluhu, Okto Maniani. Saya itu main di Persita U18. Dulu pelatihnya Aji Santoso.”
Tapi karena kesibukannya saat kuliah, pemuda kelahiran Tangerang ini pun harus mulai meninggalkan sepakbola, tidak lagi aktif menjadi pemain. Di sisi lain, sepakbola merupakan ambisinya yang terpendam, olahraga yang ia geluti sejak kelas 5 SD.
Hampir menyerah di sepakbola, Yoyo kembali termotivasi setelah membaca sebuah jargon "BETTER COACH, BETTER PLAYER, BETTER FOOTBALL". Dari situ ia mulai berpikir untuk menekuni dunia kepelatihan untuk mewujudkan ambisinya di sepakbola. Bermodal nekat, tanpa lisensi kepelatihan, ia melatih sejumlah SSB dan sekolah dekat rumahnya.
"Saya ngerasa jiwa saya terlalu liar kalau di ruangan, akhirnya saya mencoba melatih SSB (Asian Soccer Academy, SSI Arsenal, dan South Tangerang City), melatih eskul [ekstrakulikuler] di sekolah dekat rumah (SD dan SMP Taruna Mandiri), yang penting ada waktu kosong. Karena income sedikit sekali, per datang cuma 50 ribu. Waktu itu saya melatih tanpa lisensi. Setelah dua tahun baru saya sadar kalau melatih itu butuh lisensi, akhirnya saya ambil lisensi D di Tangerang tahun 2012,” kenang Yoyo yang mendapatkan lisensi D pada usia 22 tahun.
Semakin terbiasa melatih, Yoyo semakin merasa bahwa ia bisa menekuni karier kepelatihan di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa. Tapi untuk naik level perjuangannya sangat sulit. Informasi tentang kursus kepelatihan lisensi C AFC di Indonesia sangat terbatas. Bahkan sampai sekarang untuk mengikuti lisensi C AFC di Indonesia pun harus mengantre terlebih dahulu, bersaing dengan para pemain profesional yang akan lebih diutamakan untuk mendapatkan lisensi C AFC.
"Sulit sekali untuk lisensi C AFC. Saya tanya ini-tanya itu, saya tanya Rudy Eka (Priyambada, sekarang pelatih PS TNI), dia bilang harus bahasa Inggris (kalau di luar negeri), harus S1. Saya pun akhirnya harus belajar bahasa Inggris (dua kali dalam seminggu les bahasa Inggris) dan harus menyelesaikan S1."
“Tapi saya memang targetkan, dalam hidup saya, saya selalu bikin kertas buat target saya. Nah, dapet Sarjana S1 dan dapet lisensi C AFC itu dua target saya yang saya tulis di kertas, nempel di ruang tamu, di kamar mandi, di semua tempat pokoknya. Alhamdulillah akhir 2014 target dua itu tercapai semua,” kata Yoyo yang memiliki lisensi C AFC pada usia 24 tahun.
Yoyo menemui jalan berliku untuk mendapatkan C AFC, khususnya dalam menggali informasi kursus kepelatihan C AFC, sampai-sampai ia mencari ke luar negeri. Ternyata mendapatkan lisensi di luar negeri pun tak mudah, ditambah biaya yang amat sangat mahal. Dalam blognya, ia bercerita tentang ia yang sampai menjual laptop kesayangannya untuk biaya transportasi ke Malaysia, hanya untuk mencari informasi, bukan untuk mengikuti kursus. Pada kami ia pun bercerita saat itu ia tak memiliki uang untuk menyewa hotel.
"Perjuangan dapet informasi C AFC juga saya harus tidur di kantor PSSI-nya Malaysia, dikasih gratis (menginap) dua malam, kasihan sama saya karena saya cari-cari informasi sendirian, itu pun gak ada (kursus dalam waktu dekat). Baru ada tahun depannya (karena slot sudah penuh), masih lama banget. Lebih cepet yang di Brunei," beber Yoyo yang ketika itu sempat putus asa karena pulang ke Indonesia dengan tangan hampa.
Yoyo bersama salah satu instruktur senior kursus kepelatihan di Malaysia, Encik Gopal Khrisnan (sumber: coachyoyo.com)
Karena ingin semuanya berjalan sesuai targetnya agar bisa menunjang kariernya dalam kepelatihan, Yoyo pun kembali bermodal nekat mengikuti kursus C AFC di Brunei dengan keuangan seadanya. Ia pun ketika itu rela meninggalkan istrinya selama beberapa pekan, padahal ia belum lama menikah. Terlebih ia sampai menjual cincin pernikahannya untuk membiayai kursus kepelatihan di Brunei.
"Dari segi keuangan, mahal. C AFC sekitar 20 jutaan (rupiah). Dulu saya belum ada kerja. Itu bahkan dua minggu setelah saya nikah, gak ada uang kan. Akhirnya cincin nikah saya jual dulu, dapet 5 juta apa 7 juta. Pinjam sana, pinjam sini. Tapi Alhamdulillah sudah keganti semua."
"Di Brunei kan penginapan sendiri, makan sendiri, transportasi sendiri. Jadi panitia cuma menerima biaya pendaftaran aja (di Indonesia di sediakan mes), di luar itu semuanya sendiri. Yaudah, mau gak mau saya atur sendiri, saya cari informasi Brunei kayak gimana, makannya kayak gimana, tempat nginapnya kayak gimana. Sama B AFC pun seperti itu, di Malaysia. Sampai besok A AFC di Maladewa pun kayak gitu, apalagi mahal banget. Mahal gila,” sambung Yoyo.
Antusiasme berbuah melatih klub Tiongkok
Memiliki lisensi C AFC membuat Yoyo mulai lebih melebarkan sayapnya di dunia kepelatihan usia muda. Ia kemudian mendapatkan melatih di sekolah Singapore International School. Tapi sayangnya kariernya sempat terhambat ketika sepakbola Indonesia mati suri setelah PSSI dibekukan FIFA.
Tapi begitu sepakbola Indonesia kembali pulih, Yoyo tak buang waktu untuk melanjutkan kursus kepelatihannya. Apalagi cita-citanya semakin tinggi, yakni bisa kursus kepelatihan sampai Pro License, lisensi sepakbola tertinggi. Pelatih yang menyukai permainan khas Pep Guardiola ini pun semakin antusias mencari informasi kursus B AFC di luar negeri. Kembali mencari di luar negeri kali ini untuk memenuhi hobinya yang lain, yaitu traveling.
Bersambung ke halaman kedua...
Halaman kedua
Permohonan mengikuti kursus di beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Myanmar, Filipina, hingga Maladewa diajukan Yoyo pada 2016. Namun semuanya ditolak karena slot semua negara tersebut sudah penuh untuk para pelatih lokal di sana.
Kemudian Yoyo mencoba peruntungan di Malaysia, yang ternyata jawaban yang ia dapat masih sama; slot penuh untuk pelatih lokal. Tapi tanpa menyerah ia terus "meneror" FAM, federasi sepakbola Malaysia, sampai akhirnya ia diperbolehkan mengikuti kursus B AFC di Malaysia.
"B AFC sekitar 25 jutaan. Saya dapet slot itu H- (min) 2 minggu. Itu juga perjuangan. Karena yang pengen B AFC di Malaysia itu banyak banget, banyak. Karena di sana yang sudah punya C AFC banyak. Tadinya gak ada slot, tapi saya telepon terus PSSI-nya Malaysia itu tiap hari sampai dia mungkin bosen dan bilang “yaudah, Yoyo. Sekarang kamu beli tiket, kamu boleh ikut sekarang. Yang tadinya peserta cuma 24 orang (di manapun kursus jumlah maksimal 24 orang), jadi 25 orang setelah saya bisa masuk. Dari 25 orang tersebut, 11 orang itu mantan pemain timnas Malaysia, salah satunya Tengku Hazman, lawan BP [Bambang Pamungkas] di Piala Tiger (2002), GBK."
Kesungguhan Yoyo dalam mengikuti setiap kursus kepelatihan terlihat pada B AFC di Malaysia tersebut. Karena di akhir kursus, ia menjadi pelatih dengan nilai terbaik. Kembali ke Indonesia pun ia lebih mudah dalam mencari kesebelasan. Ia akhirnya menjadi asisten pelatih Rudy Eka di Celebest yang akan berkiprah di Liga 2 2017.
Ternyata nilai terbaik yang didapat Yoyo pada B AFC tersebut menundanya berkarier di kompetisi Indonesia. Tapi penundaan tersebut memberikannya tantangan yang jauh lebih hebat. Saat itu, instruktur kepelatihannya di kursus B AFC Malaysia, yang berasal dari Tiongkok, menghubunginya lewat surel. Tanpa disangka, Yoyo direkomendasikannya untuk melatih akademi salah satu kesebelasan China Super League U-16, Lijiang FC. Akhirnya di usia 26 tahun, ia melatih sebuah tim U-16 di Tiongkok.
"Kaget juga waktu dapet tawaran itu. Waktu itu saya di Celebest, di liga 2, jadi asisten Rudy Eka. Baru satu bulan setengah saya di sana, saya dapet telepon dari Perserang, liga 2 juga, tapi ditawari jadi head coach. Saya gak bisa, karena saya udah teken kontrak di Celebest. Terus besok paginya saya dapet email (dari Tiongkok), ditanya kabar segala macam terus saya direkomendasikan jadi pelatih salah satu klub China Super League U-16 karena salah satu syaratnya harus B AFC. Akhirnya saya diskusikan dengan Rudy Eka, dan dia mengizinkan sekali."
Yoyo saat memberikan instruksi di Lijiang U-16
Hanya saja karier Yoyo di Tiongkok tidak berjalan mulus. Ia diputus kontrak oleh kesebelasan asal provinsi Yunnan itu setelah enam bulan melatih. Penyebabnya adalah hasil buruk timnya di China Super League U-16. Menurutnya, kendala bahasa menjadi penyebab ia tak bisa mengeluarkan potensi terbaiknya di Lijiang.
"Di Tiongkok saya enam bulan bertahan. Tapi susah sekali. Kalau Luis Milla (di timnas Indonesia) bawa asisten, ya. Kalau saya sulit banget. Sendirian banget. Huruf Tiongkok dan Indonesia itu beda jauh. Mereka sebenarnya siapkan penerjemah. Tapi saking sulitnya, penerjemahnya ini mahasiswi dan dia sulit banget mengerti bahasa sepakbola."
Yoyo dan penerjemahnya berfoto bersama skuat Lijiang FC U-16
"Saya juga harus adaptasi dengan makanan. Saya juga harus adaptasi dengan cuaca, yang selama dua bulan pertama mencapai 1 derajat celcius; saya sampai pakai empat jaket waktu ngelatih. Hal-hal yang buat saya gila banget," kenang Yoyo.
"Itu gak bisa dilupakan, meskipun pada akhirnya saya diputus kontrak. Menurut saya itu hal yang wajar, karena di sepakbola kegagalan itu hal yang beda tipis dengan keberhasilan. Saya kurang cepat berkomunikasi baik dengan pemain, itu menyebabkan kalah. Saya 12 atau 13 pertandingan, cuma empat kali menang, tiga kali seri, sisanya kalah," lanjutnya.
Pengalaman di Tiongkok memang memberikannya pelajaran yang berarti. Di sana juga ia melihat bahwa sepakbola di Tiongkok sangat jauh lebih maju dibanding di Indonesia. Selain fasilitas, federasi di sana, CFA, menurutnya menunjukkan keseriusan dalam membina para pemain muda dengan memberlakukan sistem-sistem yang inovatif.
"PSSI-nya Tiongkok itu strukturnya bagus. Setiap pemain di Tiongkok punya paspor pemain, warnanya hijau seperti paspor kita. Punya itu harus tes MRI, tes gigi, segala macam dilakukan di dokter, untuk memastikan bahwa usianya segitu (menghindari pencurian umur)."
"Pemain muda juga gak bisa asal pindah, misal pemain Persib Bandung U-16 pindah ke Persija U-16 gak bisa pindah kecuali ada tanda tangan Asprov Jabar, Askot bandung dan PSSI pusat, baru dia bisa pindah. Data pemain juga setiap pemain (muda) ada," beber Yoyo.
Bersambung ke bagian dua, tentang kedekatannya dengan Djanur dan Iwan Setiawan.