Array
(
    [article_data] => Array
        (
            [artikel_id] => 214429
            [slug] => https://panditfootball.com/cerita/214429/PFB/210702/dua-chiesa
            [judul] => Piala Eropa: Dua Chiesa, Satu Cerita
            [isi] => 

Tak seperti ketika melalui fase grup, Italia cukup kesulitan di partai 16 Besar lawan Austria. Anak asuh Roberto Mancini direpotkan oleh permainan solid dan pressing agresif tim lawan. Skuad besutan Franco Foda bahkan sempat unggul via Marko Arnautovic, tetapi dianulir karena offside.

Mancini pun mesti melakukan dua kali pergantian untuk menjaga intensitas permainan anak asuhnya. Matteo Pessina dan Manuel Locatelli dimasukkan. Kemudian, Federico Chiesa serta Andrea Belotti diturunkan untuk menjaga kebugaran lini serang.

Skor kacamata membuat pertandingan dilanjutkan ke babak tambahan waktu. Di babak pertama tambahan, Gli Azzurri baru bisa mengoyak gawang Daniel Bachmann. Menerima bola di sisi kanan kotak penalti, Chiesa mengontrol bola dengan tenang dan mengirim sepakan setengah-voli ke sudut gawang. Pessina kemudian menggandakan keunggulan Italia. Austria sempat membalas via Sasa Kalajdzic. Namun, skor 2-1 bertahan hingga bubaran dan Italia lolos ke perempat final.

Chiesa mencetak gol pertamanya bagi Timnas Italia di turnamen besar. Sejauh ini, ia telah mengemas dua gol dari 29 penampilan bersama Gli Azzurri. Ia selalu bermain dalam empat pertandingan Piala Eropa 2020, tiga kali sebagai pengganti. Dalam laga kontra Wales, Minggu (20/6/2021), satu-satunya pertandingan di mana sang pemain menjadi starter, Chiesa tampil apik dan diganjar penghargaan man of the match.

Musim impresif bersama Juventus membuatnya memenangkan tempat di skuad Italia. Meskipun belum menjadi pilihan utama, Chiesa dapat menjadi opsi pembeda bagi Mancini.

Eks Fiorentina ini mendapatkan debut timnas pada Maret 2018. Chiesa sempat rutin masuk 11 utama ketika Italia melakoni edisi perdana UEFA Nations League. Setelah itu, setahun belakangan, ia lebih sering menjadi pelapis Federico Bernadeschi kemudian Domenico Berardi.

Chiesa selalu cemerlang dalam empat musim terkini di Serie A dan banyak yang menjagokannya masuk 11 utama. Namun, fakta bahwa ia tak menjadi starter di Piala Eropa sama sekali tak mengganggunya. Ia lapang dada menerima peran sebagai supersub.

“Pelatih memilih 11 dari kami, tetapi seperti yang saya katakan pada masa lalu, kami adalah 26 pemain pilihan dan malam ini kami menunjukkannya. Inilah mengapa pelatih meminta para pemain di bangku cadangan untuk mengikuti pertandingan secara cermat: untuk masuk dan membuat perbedaan,” kata Chiesa usai pertandingan kontra Austria.

Golnya ke gawang Austria pun menjadi rekor tersendiri. Sepanjang sejarah Piala Eropa, belum ada ayah dan anak yang mencetak gol di putaran final. Sebelumnya, sang ayah, Enrico Chiesa mencetak gol bagi Italia di Piala Eropa 1996.

Federico berada dalam jalur yang benar untuk mengikuti jejak ayahnya. Enrico adalah salah satu bintang Serie A saat kompetisi ini berjaya pada 1990-an.

Pantang Lena oleh Privilese

Federico Chiesa lahir di Genoa pada 25 Oktober 1997. Saat itu, Enrico sedang membela Parma. Federico kemudian tumbuh besar di Florence, bermain sepakbola untuk Settignanese sebelum masuk ke akademi Fiorentina.

Mewarisi gen pesepakbola terkenal, mudah untuk berasumsi bahwa Chiesa menempuh jalan perkembangan yang lapang dan lurus saja. Ia dibesarkan di keluarga yang, mengutip kata-katanya sendiri, “bernapaskan sepakbola” dan suportif dalam pilihan kariernya. Namun, nama keluarga bukanlah alasan utama dari kesuksesannya menjajaki karier profesional. Faktanya, Chiesa sempat sulit berkembang di level akademi.

Enrico tahu betul bahwa sepakbola adalah pilihan karier yang rawan. Demi masa depan, edukasi sang anak pun mesti dijamin betul-betul. Keluarga memasukkan Chiesa ke sekolah bereputasi mentereng, International School of Florence, di mana pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini menjelaskan mengapa Chiesa begitu fasih meladeni wawancara berbahasa Inggris. Seandainya gagal di sepakbola, ia mengaku tertarik menjadi fisikawan.

Perkembangan Chiesa di akademi pada mulanya berjalan lambat. Secara teknis, ia tertinggal dari rekan-rekan seusia. Pertumbuhan fisiknya pun tak sepesat rekan sepantaran. Karena gagal bersaing di kelompok usia yang sama, Chiesa sempat diturunkan ke kelompok usia yang satu tahun lebih muda.

“Saya hanya bermain sekali [di Allievi, U16-17], dan bahkan dari awal mereka sering mengirim saya bersama [skuad kelahiran] ’98, yang lebih muda,” kata Chiesa kepada l’Ultimo Uomo.

Kiprah Chiesa mulai menemui titik terang ketika ia diasuh pelatih Federico Guidi dan ditempatkan di posisi yang lebih sesuai. Tadinya, ia sering dipasang sebagai penyerang tengah di formasi 4-4-2. Sang pemain kemudian diakomodasi oleh Guidi yang menerapkan 4-2-3-1, memasang Chiesa sebagai winger.

Federico Chiesa berkembang cepat sebagai winger. Ia mulai rutin diturunkan di tim Primavera (U-19). Tak seperti ayahnya yang merupakan penyerang tengah mumpuni, karakter permainan Federico lebih sesuai di posisi sayap.

Pemain yang kini berusia 23 tahun itu membela tim Primavera hingga 2016. Pada Agustus 2016, pelatih Paulo Sousa memberinya debut senior ketika Fiorentina menghadapi Juventus di ajang Serie A.

Chiesa segera mencuri perhatian bersama La Viola. Sering diturunkan di sayap kanan, ia mengemas 34 gol dan 25 asis selama tiga musim membela Fiorentina. Pada Juli 2020, ia mencetak hat-trick ke gawang Bologna, 17 tahun setelah Enrico mencetak trigol terakhirnya di Serie A bersama AC Siena.

Penampilan impresif bersama Fiorentina membuat Juventus meminjamnya sejak 2020/21 dengan opsi pembelian. Federico mendapatkan sesuatu yang tak didapatkan Enrico dulu, yakni bermain untuk klub besar yang konsisten bersaing mengejar trofi.

Enrico memang menjalani karier gemilang. Namun, tidak bermain untuk “klub besar” adalah satu dari segelintir penyesalannya.

“Saya selalu dekat untuk itu [masuk klub besar]. Simoni [pelatih Inter Milan, 1997-98], menginginkan saya ke Inter. Juve dan Milan meminati saya, tetapi tidak ada yang pernah terealisasi. Saya mungkin bisa berbuat lebih [sebagai pemain],” kata Enrico Chiesa sebagaimana dilansir These Football Times.

Cerita tentang Enrico lebih mirip petualangan yang tak membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Ia memang dikenang sebagai striker hebat, meraih trofi kontinental bersama Parma dan Sampdoria. Ia merupakan tandem maut Hernan Crespo di Parma, menjadi suksesor Gabriel Batistuta di Fiorentina, serta tampil dalam lebih dari 300 pertandingan Serie A.

Akan tetapi, titel Serie A dan Capocanonniere (top skor Liga Italia) selalu lepas dari genggaman Enrico. Ia bermain untuk Teramo ketika Sampdoria juara liga pada 1990/91, kemudian harus puas di posisi runner-up bersama Parma pada 1996/97. Ketika ia mencetak 22 gol pada 1995/96, Giuseppe Signori dan Igor Protti mencetak dua lebih banyak. Saat ia kembali mengemas 22 gol pada 2000/01, Hernan Crespo mencetak empat lebih banyak.

Di Italia, Enrico Chiesa seolah ditakdirkan untuk tak pernah mencapai tempat teratas. Di tim nasional pun demikian. Ia hanya sempat membela Gli Azzurri dalam dua turnamen akbar, yakni Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998. Enrico total mengemas 22 caps dan mencetak tujuh gol. Jumlah penampilannya di tim nasional sudah dilampaui sang anak.

Kini, apa-apa yang belum dicapai Enrico berpeluang ditorehkan anaknya. Mereka memang bermain di posisi berbeda dan menorehkan trek karier berbeda. Federico masih bisa meraih medali Scudetto yang belum ada di lemari trofi keluarga Chiesa.

Karier Federico masih panjang dan Enrico tentu akan mendukungnya dengan penuh kebanggaan. Untuk sekarang, Federico masih fokus membantu kiprah Italia di Piala Eropa 2020; bersama Roberto Mancini, sosok yang pernah bermain bersama Enrico dan sempat melatihnya di Fiorentina serta Lazio dulu.

[gambar] => https://panditfootball.com/images/large/Fimage/FEATURE-IMAGE-duochiesa.jpg [tanggal] => 02 Jul 2021 [counter] => 8.058 [penulis] => Ikhsan Abdul Hakim [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/large/2022/Agustus%202022/Logo-transparent.png [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/Ikhsan [penulis_desc] => [penulis_initial] => [kategori_id] => 392 [kategori_name] => Cerita [kategori_slug] => cerita [kategori_url] => https://panditfootball.com/kategori/cerita [user_url] => [user_fburl] => [user_twitterurl] => [user_googleurl] => [user_instagramurl] => ) [tags] => Array ( [0] => stdClass Object ( [artikel_id] => 214429 [tag_id] => 22 [tag_name] => Serie A [tag_slug] => serie-a [status_tag] => 2 [hitung] => 429 ) [1] => stdClass Object ( [artikel_id] => 214429 [tag_id] => 150 [tag_name] => Italia [tag_slug] => italia [status_tag] => [hitung] => 253 ) [2] => stdClass Object ( [artikel_id] => 214429 [tag_id] => 1015 [tag_name] => Piala Eropa [tag_slug] => piala-eropa [status_tag] => [hitung] => 25 ) [3] => stdClass Object ( [artikel_id] => 214429 [tag_id] => 7574 [tag_name] => Piala Eropa 2020 [tag_slug] => piala-eropa-2020 [status_tag] => 1 [hitung] => ) [4] => stdClass Object ( [artikel_id] => 214429 [tag_id] => 9346 [tag_name] => Federico Chiesa [tag_slug] => federico-chiesa [status_tag] => 1 [hitung] => ) [5] => stdClass Object ( [artikel_id] => 214429 [tag_id] => 13555 [tag_name] => Enrico Chiesa [tag_slug] => enrico-chiesa [status_tag] => 1 [hitung] => ) ) [related_post] => Array ( [0] => Array ( [artikel_id] => 4236 [slug] => https://panditfootball.com/cerita/4236/PFB/140411/bocah-kolombia-ini-menangis-terharu-saat-bertemu-falcao [judul] => Bocah Kolombia Ini Menangis Terharu Saat Bertemu Falcao [isi] => Falcao memang masih diragukan untuk tampil di Piala Dunia nanti, terkait cedera ligamen yang dideritanya. Striker tim nasional Kolombia tersebut cedera saat membela Monaco di Liga Prancis. Meski masih menjalani terapi agar mempercepat penyembuhan lututnya di kota Madrid, Falcao masih menyempatkan diri bertemu penggermarnya. Bocah asal Bogota Kolombia yang akhirnya berhasil bertemu dengannya memang bukan sembarangan, melainkan penggemar berat yang memiliki lebih dari 130 foto dan kliping koran terpajang di dinding kamarnya. Berkat bantuan Revel Foundation, bocah 13 tahun bernama Michael Steven akhirnya meledak tangisnya saat bertemu langsung dengan sang idola. Kerasnya tangis seru sempat membuat heran anak - anak lain yang memang juga berkesempatan bertemu dengan El Tigre. Pada akhir pertemuan tersebut Steven juga sempat memegang lutut Falcao sambil mendoakan agar dirinya dapat sembuh dengan cepat. Steven berharap agar di Piala Dunia nanti negaranya Kolombia dapat diperkuat mantan striker Atletico Madrid tersebut. Falcao memang belum dapat dipastikan pulih total saat Piala Dunia nanti. Namun dokter yang menanganinya, Jose Carlos Noronha optimis kesembuhan Falcao dapat terjadi lebih cepat. Get well soon El Tigre!   [video id="SHYpZoNLV9o" site="youtube"][/video]   (amp) [gambar] => http://www.panditfootball.com/wp-content/uploads/2014/04/falcao.jpg [tanggal] => 11 Apr 2014 [counter] => 2.619 [penulis] => PanditFootball [penulis_foto] => https://panditfootball.com/assets/images/logo/Logo-transparent.png [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/PanditFootball [penulis_desc] => Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis sepakbola, baik Indonesia maupun dunia. Analisis yang dilakukan meliputi analisis pertandingan, taktik dan strategi, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya. Keragaman latar belakang dan disiplin ilmu para analis memungkinkan PFI untuk juga mengamati aspek kultur, sosial, ekonomi dan politik dari sepakbola. Akun twitter: @panditfootball contact: redaksi@panditfootball.com [penulis_initial] => PND [kategori_id] => 392 [kategori_name] => Cerita [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/cerita ) [1] => Array ( [artikel_id] => 1930 [slug] => https://panditfootball.com/cerita/1930/PFB/140201/kisah-bir-dan-sepakbola-ala-papua [judul] => Kisah Bir dan Sepakbola ala Papua [isi] =>

Oleh: Paul Cumming

"Pak Paul! Pak Paul!" Terdengar teriakan keras dari lantai atas sebuah hotel di Bekasi. Mulanya saya masih mengabaikan teriakan itu. Tapi intonasi teriakan itu membuat saya sedikit panik. Lalu terdengar lagi teriakan yang lebih jelas: "Pak Paul! Adolof, Pak Paul!" "Hah Adolof?" Saya baru sadar. Di depan seluruh pemain Perseman Manokwari yang sedang bersiap-siap berangkat ke stadion, ternyata ada satu pemain yang belum muncul. Pemain itu adalah Adolof Kabo. Saya refleks memijit-mijit kening sembari bergumam: "Aduh Adolof!" Adolof Kabo adalah pemain kunci Perseman Manokwari saat saya melatih di sana pada 1984-1986. Sebagai seorang striker, dia penyerang yang gol-golnya amat dibutuhkan. Tapi Kabo bukan sekadar goal-getter, dia juga nyawa tim. Dengan skill individunya, yang kadang kala membuatnya terlihat egois, Kabo sering meneror pertahanan lawan seorang diri. Bersama partnernya di lini depan, Elly Rumaropen, dan pemain tengah Yonas Sawor, Kabo bisa sangat percaya diri mengobrak-abrik pertahanan lawan. Nama-nama inilah yang berhasil membawa Perseman sampai ke grand-final Divisi Utama Perserikatan 1986 menghadapi Persib Bandung. Maka ketika saya sadar Adolof tak terlihat bersama rekan-rekannya, ditambah teriakan panik dari lantai atas, saya merasa gelisah bukan main. Padahal sebentar lagi kami harus berangat ke stadion Bekasi untuk berjuang mati-matian melawan Perseden Denpasar. Pertandingan itu amat menentukan bagi kami untuk lolos ke Empat Besar Divisi Satu 1984 yang akan digelar Bandung. "Aduh, Adolof ini kemana, yah?" "Mungkin dia masih di warung?" salah seorang pembantu umum (kitman) mencoba menenangkan saya. Setelah ditunggu beberapa menit, Adolf tak kunjung datang. Imbasnya saya pun berkeringat dingin. "Cari dia! Cepat! Cepat! Cepat! Tidak ada waktu lagi!," teriakan saya menyentak seluruh ruangan. Dua orang pembantu umum yang terlihat kebingungan langsung berlari keluar mencari Adolof ke warung-warung terdekat. Beberapa menit kemudian mereka berhasil menemukan Adolof. Degup jantung saya pun sedikit mereda. Syukurlah! Tapi kegugupan saya belum hilang karena Adolof tiba dengan dipapah dua pembantu umum. Adolof berjalan sempoyongan. "Duh ternyata dia mabuk!" keluh saya dalam hati. Lantas tiba-tiba dia langsung memeluk saya. "Saya minta maaf Paul, saya baru habis sepuluh botol besar," ucap Adolof sambil meringis dengan air mata berlinang. Tampaknya dia merasa sangat bersalah. "Adolof masih bisa main?" saya tanya dia baik-baik. "Bisa, Paul. Walaupun saya mabuk saya janji cetak gol dan kita akan menang dan saya janji saya tidak akan minum lagi sampai kita juara di Bandung!" "Okay Adolof. Saya percaya sama Adolof. Sekarang cepat pakai kostum karena kami menunggu Adolof untuk ikut doa sebelum ke lapangan," Sampai ke stadion Adolof masih loyo, langkahnya masih gontai. Dia masih belum memisahkan dunia nyata dengan alam bawah sadarnya. Waktu pemanasan dia malah sempat dua kali jatuh terpeleset membuat orang terheran-heran melihatnya. Saya sedikit ragu kepada dia, tapi saya percaya janji Adolof pada saya. Karena itulah saya pasang dia sebagai starter. Intinya dia harus berjuang dari awal. Degup jantung saya mengencang sepanjang pertandingan, terutama saat melihat Adolof Kabo di lapangan. Duh! Masalahnya selama pertandingan dia berlari agak miring dan oleng sempoyongan. Tanpa di-tekel atau di-body charge lawan pun Adolof beberapa kali jatuh karena keseimbangannya yang setengah sadar. Tetapi siapa sangka tiba-tiba dia mencetak gol yang sangat spektakuler lewat shooting jarak jauh dari jarak 30 meter. Kami pun menang 1-0 hingga bisa lolos ke 4 Besar di Bandung. Kejadian ini tak pernah saya lupakan, karena baru pertama kalinya saya lihat orang setengah sadar bisa cetak gol. Cerita kemudian berlanjut di Bandung. Sampai ke Bandung saya sangat kecewa karena oleh panitia kami dan tiga tim lainnya ditempatkan dalam satu barak militer yang sama. Saya langsung melarang pemain turun dari bus. PS Bengkulu juga menolak tinggal di komplek militer itu dan memilih sebuah hotel yg sangat mewah. Panitia marah-marah kepada saya, tetapi saya jelaskan kalau tim saya dari PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan darat) saya pasti setuju di situ, tapi kami tim bola sipil bukan militer. Mendengar alasan itu mereka panggil saya "Cowboy Cumming" . Saya tak peduli omelan itu karena sesuai dengan prinsip saya kalau sebuah tim mau berhasil harus dalam keadaan gembira. Tinggal di barak militer, kami tentu tak akan gembira. Beruntung akhirnya kami dapat tempat di Balai Latihan Departemen Tenaga Kerja, di mana situasi sangat kondusif apalagi masyarakat disitu sangat-sangat ramah. Bagi saya, bermain bola dengan kegembiraan, dengan hati yang senang, adalah kunci untuk memunculkan permainan maksimal anak-anak Perseman. Sepakbola adalah kebahagiaan, kesenangan, dan suka cita. Jika bermain dengan tertekan, sukar akan mendapatkan hasil yang diinginkan. Ternyata kegembiraan suasana selama di situ membuat hasil yang positif dan Perseman keluar sebagai juara. Asal tahu saja, sebelum babak empat besar, semua pemain termasuk Adolof berjanji untuk tidak minum alkohol sampai kami menerima trofi juara Divisi Satu. Saya sudah bilang sama mereka, "Kalau kalian janji tidak minum sampai kita juara, malam setelah juara kalian bebas dan boleh minum sepuas-puasnya." Dan ternyata janji itu mereka penuhi. Maka sesudah mengalakan PS Bengkulu 3-1 di final. Mereka langsung menagih janji itu. Saya menepati janji saya untuk membiarkan mereka larut dalam pesta pora.

Lanjut ke halaman berikutnya

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Besoknya pagi-pagi saya sudah gelisah di hotel. Beberapa jam sebelum ke stasiun untuk pulang, para pemain masih banyak yang hilang entah ke mana. Untungnya beberapa mahasiswa asal Papua membantu kami mencari pemain di tempat-tempat hiburan. Beruntung sebelum kereta berangkat ke Jakarta semua pemain sudah ada di atas kereta walaupun sebagian dari mereka masih kurang sadar! Melihat mereka saya tak pernah marah, saya tahu bahwa bir dan sepakbola di Papua memang sulit dipisahkan. Saran saya kepada pelatih yang hendak melatih klub-klub Papua harus mengerti masalah itu. Jika mau berhasil turuti saran saya itu. Soalnya amat jarang pemain Papua yang tidak suka minum, karena itu sudah bagian dari tradisi di sana. Saya masih ingat ketika Adolof dikirim ke Brasil oleh PSSI. Sesudah agak lama di Brasil dia kembali ke Manokwari. Setelah sampai di Manokwari dia langsung mendatangi saya yang waktu itu sedang memimpin latihan Perseman di lapangan Borassi. Ketika saya sedang asyik-asyik di tepi lapangan tiba-tiba saja Adolof berlari dan memeluk saya. Langsung saya tanya dia tentang pengalaman dia selama di Brasil. Maksud saya bertanya soal ilmu sepakbola yang dia dapat disana. Tapi jawabannya ternyata berbeda. Adolof malah menjawab dengan senyum khasnya "Aduh Paul! Bir di Brasil tidak enak!" "Aduh Adolof!" Ada juga cerita lucu lainnya. Saat itu Perseman sedang berlaga di Divisi Utama Perserikatan tahun 1985. Waktu itu tiba-tiba saja Solichin GP (Ketua umum Persib Bandung) membuat acara makan bersama antara pemain Persib dan Perseman Manokwari di restoran Lembur Kuring Senayan. Saya pikir acara itu adalah acara permintaan maaf Solihin kepada saya, mengingat sebelumnya dia pernah meminta PSSI untuk mendeportasi saya hanya gara-gara Jonas Sawor mendorong Adjat Sudrajat ketika Persib jumpa Perseman di putaran 12 besar Dalam acara makan-makan tersebut, pihak Persib amat sangat ramah. Entah itu taktik atau apa, yang jelas para pemain Perseman diberikan masing-masing 5 botol bir besar. Para pemain Persib tak lama-lama di sana mereka pulang duluan. Tapi Pemain Perseman tetap di tempat karena botol-botol yang ada belum habis. "Alamak!" mereka lupa bahwa para pemain Persib cepat-cepat pulang karena keesokan harinya akan melawan Persija Jakarta. Dan yang lebih parahnya lagi, sebelum Persib bertanding di Stadion Senayan malam hari, sorenya Perseman harus melawan PSP Padang. Kalau tidak salah, gara-gara pesta itu, banyak pemain yang mabuk berat dan begadang sampai pagi. Ada berapa pemain inti tidak bisa turun, termasuk Adolof karena cedera. Mau tak mau saya menurunkan pemain pas-pasan, apalagi banyak di antara mereka masih di bawah pengaruh alkohol. Beruntung Sem Aupe mampu menggantikan posisi Adolof sebagai striker dengan baik. Pertandingan berjalan lancar dengan semangat tinggi. Hanya waktu istirahat di ruang ganti saya tidak memberikan intruksi kepada mereka. Sebagian pemain memilih tidur dan harus dibangunkan lagi untuk babak kedua. Meski terlelap sebentar, Perseman di luar dugaan menang 2-1. --------------------------------------------------- Catatan editor: Dalam naskah buku yang akan terbit [Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan] yang disusun oleh Aqwam Fiazmi Hanifan, ada kisah tambahan yang menarik mengenai Perseman dan bir yang tak sempat dikisahkan Paul di tulisannya ini. Wawancara Aqwam dengan Achwani, Sekretaris Umum Persib di saat Persib bertemu Perseman di Grand Final Divisi Utama 1986, menjelaskan bagaimana Persib dengan cerdik menggunakan kebiasaan minum pemain Perseman ini. Menurut Achwani, salah seorang pengurus diberi tugas untuk memancing para pemain Perseman keluar dari kamar hotel untuk ditraktir minum sepuasnya di salah satu bar. "Saya diberi tugas untuk kasih mereka berkrat-krat bir supaya mereka mabuk berat dan tak tidur, ternyata benar saja, ternyata di malam itu misi saya sukses, mereka mabuk dan sama sekali tak istirahat, padahal besoknya mau bertanding lawan Persib," ucap Achwani. Hal ini diakui oleh Paul Cumming. Ia mengakui kelemahannya anak asuhnya selalu dimanfaatkan oleh lawan, hampir semua lawan Perseman, bukan hanya Persib. Dalam laporan Pikiran Rakyat edisi 19 Januari 1985, Adolf Kabo mengakui bahwa minum-minum adalah tradisi yang biasa mereka lakukan bersama rekan-rekannya. Saat itu Perseman baru saja bertanding melawan PSMS dengan skor akhir 1-1. Saat berbicara pada wartawan ketika itu, Adolf sempat memperlihatkan tumpukan kaleng bir. [@zenrs]   Penulis adalah mantan pelatih sepakbola di berbagai klub Indonesia. Kini bergabung dengan Pandit Football Indonesia sebagai penulis tamu. Akun twitter @papuansoccer       image by: travelpapua.blogspot.com perseman-manokwari.jimdo.com

[gambar] => https://panditfootball.com/images/attach/perseman-1986-adolf-kabo-cs.jpg [tanggal] => 01 Feb 2014 [counter] => 115.704 [penulis] => PanditFootball [penulis_foto] => https://panditfootball.com/assets/images/logo/Logo-transparent.png [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/PanditFootball [penulis_desc] => Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis sepakbola, baik Indonesia maupun dunia. Analisis yang dilakukan meliputi analisis pertandingan, taktik dan strategi, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya. Keragaman latar belakang dan disiplin ilmu para analis memungkinkan PFI untuk juga mengamati aspek kultur, sosial, ekonomi dan politik dari sepakbola. Akun twitter: @panditfootball contact: redaksi@panditfootball.com [penulis_initial] => PND [kategori_id] => 392 [kategori_name] => Cerita [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/cerita ) ) [prev_post] => Array ( [artikel_id] => 214428 [slug] => https://panditfootball.com/article/show/analisa-pertandingan/214428/PFB/210702/ledakan-mikkel-damsgaard [judul] => Ledakan Mikkel Damsgaard [isi] =>

Pada 17 Juni 2021, Timnas Denmark melakoni pertandingan pertama setelah kejadian horor dalam laga kontra Finlandia. Anak asuh Kasper Hjulmand menghadapi Belgia. Untuk menggantikan Christian Eriksen, pelatih berusia 49 tahun itu memasukkan wonderkid Sampdoria, Mikkel Damsgaard.

Di atas kertas, Damsgaard dipasang sebagai penyerang kiri, menjadi tandem Martin Braithwaite dan Yussuf Poulsen. Ini adalah partai pertamanya di putaran final turnamen antarnegara. Ia diharapkan menambah daya gedor Denmark yang membutuhkan tiga poin.

Tim Dinamit menekan secara agresif sejak awal laga. Pertandingan baru berjalan dua menit, Denmark membuka keunggulan melalui tembakan Poulsen, waktu itu menjadi gol tercepat kedua sepanjang sejarah Piala Eropa.

Skuad asuhan Hjulmand tak mengendurkan tekanan kendati unggul cepat. Trio penyerang secara konstan memberi ancaman. Dari sisi kiri, Damsgaard seringkali merepotkan pertahanan lawan dengan kecepatan dan gerak kakinya.

Damsgaard menawarkan kecekatan bagi lini serang Denmark. Dalam laga kontra Belgia, ia membuat tiga dribel sukses dan sembilan kali menggiring bola ke area pertahanan lawan. Pemain Sampdoria itu reliabel dalam memecah organisasi pertahanan lawan. Ia membuat 14 tembakan hingga ia ditarik keluar.

Sayangnya, Denmark pada akhirnya terpaksa tunduk 1-2. Damsgaard diganti pada menit 72 dan diganjar kartu kuning akibat simulasi. Itu jelas bukan debut turnamen yang diharapkan sang pemain. Namun, setidaknya, ia menunjukkan daya ancam besar yang membuat Hjulmand percaya bahwa Damsgaard telah siap.

Dalam laga menentukan kontra Rusia, Damsgaard kembali diturunkan sejak menit pertama. Ia pun tak butuh waktu lama untuk membayar kepercayaan Hjulmand. Pada menit 38, Damsgaard menerima bola di depan kotak penalti, sekitar 23 meter dari gawang. Tiga pemain Rusia mengelilinginya, berupaya menutup ruang gerak sang pemain.

Namun, Damsgaard sigap mencari celah. Ia membuka ruang tembak di antara dua bek lawan dan mengirim tembakan akurat ke sudut kiri gawang. Tembakan itu melengkung dan menukik dengan percepatan sempurna sehingga kiper terkecoh dan tak mampu berbuat banyak.

Gol tersebut menjadi awal dari kemenangan dramatis Denmark. Butuh menang besar dan mesti bergantung hasil pertandingan lain untuk lolos, Tim Dinamit mengakhiri laga sebagai runner-up Grup B. Mereka melibas Rusia 4-1. Pada saat bersamaan, Finlandia dibungkam Belgia, mengubah komposisi peringkat grup di matchday terakhir.

“Itu adalah tembakan yang telah dia latih berulangkali. Bergerak menyamping dengan cepat dan menembak. Itu datang dari repetisi di lapangan latihan di sini. Latihan, latihan, dan latihan,” kata eks pelatih Damsgaard di FC Nordsjaelland, Flemming Pedersen tentang golnya ke gawang Rusia.

Sebelum direkrut Sampdoria, Damsgaard ditempa di akademi Nordsjaelland. Ia masuk ke sistem pembinaan pemain muda The Wild Tigers pada 2013. Sebelumnya, Damsgaard bermain untuk klub dari kota asalnya, Jyllinge FC di mana ayahnya sendiri menjadi pelatih.

Permainan Damsgaard menarik perhatian pemandu bakat Nordsjaelland yang sebetulnya sedang memantau rekan setimnya di Jyllinge. Kesempatan pindah ke Farmun, markas Nordsjaelland, sekitar 30 km dari tempat asalnya, tak disia-siakan sang pemain.

Ekosistem Nordjsaelland adalah tempat yang baik untuk mengembangkan bakatnya. Klub ini memang bukan yang terbesar di Denmark, masih kalah pamor dari FC Kopenhagen, Midtjylland, ataupun Broendby. Namun, Nordsjaelland memiliki sistem pengembangan pemain muda yang unggul. Pamor klub asal Farmun itu sebagai penghasil pemain berbakat semakin kuat sejak akuisisi Right to Dream pada 2016.

Pada mulanya, Right to Dream adalah akademi di Ghana yang didirikan oleh Tom Vernon, eks pemandu bakat Manchester United. Organisasi ini kemudian melebarkan sayap dengan membeli Nordsjaelland dan mendirikan akademi baru di Mesir.

Sebelum Damsgaard, Nordsjaelland telah meluluskan sederet bakat muda yang direkrut klub-klub di liga papan atas. Di antaranya adalah Emre Mor, Mohammed Kudus, Andreas Skov Olsen, dan Mathias Jensen.

Di Nordsjaelland, Damsgaard mendapatkan debut pada musim 2017/18. Waktu itu pelatih kepalanya adalah Kasper Hjulmand, pelatih Denmark saat ini. Penampilan impresif sepanjang 2019/20 melambungkan nama Damsgaard. Ia mencetak 11 gol dan enam asis dari 35 pertandingan Superliga, meraih penghargaan pemain muda terbaik pada akhir musim.

Sampdoria merekrutnya dengan mahar sekitar 6,5 juta euro pada awal musim lalu. Di Serie A, Damsgaard diberi kesempatan yang layak oleh Claudio Ranieri. Pada 2020/21, sang pemain tampil dalam 35 pertandingan (18 starter) dengan total menit bermain 1.773 menit di Serie A, mengemas dua gol serta empat asis.

Jumlah gol/asis itu memang tidak fenomenal. Namun, bukan berarti Damsgaard gagal menyesuaikan diri di Sampdoria. Sering dipasang di pos sayap kiri, sang pemain menawarkan alternatif penetrasi yang cukup langka di Il Samp. Ia bisa menggiring bola dengan cepat dan persisten.

Di skuad Sampdoria, tak banyak pemain yang bisa diandalkan untuk menggiring bola ke area berbahaya. Damsgaard adalah satu dari sedikit yang sanggup melakukannya. Ia mencatatkan rata-rata 5,69 progressive carries per pertandingan. Progressive carries adalah aksi menggiring bola menuju daerah pertahanan lawan, minimal sejauh lima yard.

Damsgaard juga menunjukkan kemampuan melewati lawan yang cukup baik. Ia mencatatkan rata-rata 4,37 dribel per pertandingan dengan tingkat kesuksesan 59%. Dua statistik tersebut menunjukkan kecakapan penetrasi sang pemain.

Selain itu, di lini serang, pemain berusia 20 tahun itu cenderung bermain agresif. Melansir FBRef, dibandingkan pemain lain di posisinya, ia menorehkan intensitas pressure, tekel, blok, dan intersep yang sangat tinggi. Agresivitasnya dapat berguna bagi tim dengan intensitas pressing cukup tinggi seperti Timnas Denmark.

Sejauh ini, Damsgaard tampil baik di lini serang Denmark. Setelah bermain impresif lawan Rusia, eks Nordsjaelland ini mengemas satu asis dalam kemenangan 4-0 atas Wales. Dari tiga pertandingan Piala Eropa 2020, Damsgaard aktif dalam sekuens serangan Tim Dinamit, rata-rata membuat 4,03 aksi berbuah tembakan per pertandingan.

Ia memang bukan pengganti yang setipe dengan Christian Eriksen. Damsgaard menawarkan ancaman dengan cara yang berbeda. Jika Eriksen lebih berbahaya dengan umpan-umpannya, Damsgaard memberi ancaman via penetrasi yang bisa mengganggu struktur pertahanan lawan dan kemampuan dribel mumpuni.

Satu hal yang perlu dibenahi Damsgaard di level tertinggi adalah kemampuannya menerima umpan. Di lini serang, normalnya, ia sering mendapatkan umpan sulit dalam kondisi tekanan lini belakang yang lebih ketat, membuatnya rentan kehilangan bola di area penyerangan. Ia mencatatkan rata-rata 4,09 miskontrol per pertandingan, yang mana tertinggi di skuad Denmark. Namun, sekalinya berhasil mengontrol umpan, Damsgaard mempertahankan bola dengan baik; ia belum pernah kehilangan bola akibat tekel lawan di Piala Eropa sejauh ini.

Apabila sang pemain dapat membenahi aspek tersebut, ia dapat menjadi senjata unggulan Timnas Denmark. Damsgaard bisa lebih efisien memanfaatkan kesempatan menyerang, demikian menambah output final, melengkapi performa impresifnya dalam sekuens serangan Tim Dinamit sejauh ini.

“Dia mampu menautkan berbagai hal dan membuat peluang dengan umpan sederhana. Dia juga dapat menciptakan momentum karena dia berlari lebih cepat dibanding setahun lalu. Ketika dia semakin bertumbuh, dan tubuhnya bertambah kuat sedikit lagi, kita akan melihat seorang pemain top,” kata Hjulmand sebagaimana dikutip Sjaellandske Nyheder.

Hjulmand telah mengawasi perkembangan Dasmgaard sejak di Nordsjaelland. Kini, ia menyaksikan eks anak asuhnya itu mekar di level yang lebih tinggi. Mikkel Damsgaard tentu masih akan berkembang lebih jauh. Piala Eropa 2020 dapat menjadi momentum baginya untuk melecut perkembangan diri.

[gambar] => https://panditfootball.com/images/large/Fimage/Feature-Image-Damsgaard.jpg [tanggal] => 02 Jul 2021 [counter] => 5.713 [penulis] => Ikhsan Abdul Hakim [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/large/2022/Agustus%202022/Logo-transparent.png [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/Ikhsan [penulis_desc] => [penulis_initial] => [kategori_id] => 3 [kategori_name] => Analisis [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/analisa-pertandingan ) [next_post] => Array ( [artikel_id] => 214430 [slug] => https://panditfootball.com/article/show/analisa-pertandingan/214430/PFB/210702/belgia-vs-italia-duel-tim-dengan-rekor-terbaik-di-piala-eropa-2020 [judul] => Belgia vs Italia: Duel Tim dengan Rekor Terbaik di Piala Eropa 2020 [isi] =>

Perempat final Piala Eropa 2020 mempertemukan Belgia vs Italia di Fussbal Arena, Muenchen pada Sabtu (3/7/2021) dini hari WIB. Laga ini mempertemukan dua tim dengan tren performa paling impresif sejauh ini. Sejak pembukaan fase grup, Belgia dan Italia adalah dua tim yang bisa mempertahankan rekor 100%.

Belgia mengeliminasi Portugal di babak 16 Besar lalu. Gol semata wayang Thorgan Hazard memaksa juara bertahan Piala Eropa angkat koper. Sedangkan di pihak Italia, anak asuh Roberto Mancini mesti bekerja ekstra menyingkirkan Austria. David Alaba dan kawan-kawan menahan imbang Gli Azzurri hingga babak tambahan waktu.

Total, empat kemenangan beruntun telah diraih Belgia maupun Italia. Jika dihitung dengan hasil babak kualifikasi, rekor mereka lebih impresif lagi. Masing-masing tim juga menorehkan rekor 100% di kualifikasi Piala Eropa.

Tidak ada tim yang bisa memenangkan semua pertandingan Piala Eropa 2020, mulai kualifikasi hingga putaran final, kecuali Belgia dan Italia. The Red Devils menjadi penampil terbaik kualifikasi, mengemas 40 gol dan hanya kemasukan tiga. Torehan gol Italia lebih sedikit tiga angka dan kemasukan dua lebih banyak.

Mengingat tren performa masing-masing, kedua tim patut menyongsong perempat final dengan percaya diri. Mancini telah membawa Gli Azzurri ke level baru sejak menjabat pada 2018 silam. Sedangkan Roberto Martinez sukses memimpin anak asuhnya menempati ranking satu FIFA tiga tahun belakangan.

Ancaman Lukaku, Kontrol Verratti, dan Pembuktian Para Pembeda

Belgia mendapatkan kabar buruk jelang menghadapi Italia. Mereka terancam tidak diperkuat dua pemain kunci, Eden Hazard dan Kevin De Bruyne, setidaknya sejak menit pertama. Dua pemain ini menderita cedera di pertandingan lawan Portugal dan dipastikan tidak 100% fit untuk perempat final.

Martinez kemungkinan besar akan menurunkan 11 pertama tanpa Hazard dan De Bruyne. Yannick Carrasco dan Dries Mertens pun sepertinya akan dipasang sang pelatih di belakang Romelu Lukaku.

Sementara itu, di pihak Italia, Giorgio Chiellini dilaporkan telah pulih dan berpeluang kembali ke 11 utama. Bek Juventus itu dapat menggeser pos yang sebelumnya ditempati Francesco Acerbi. Selebihnya, Mancini diprediksi tetap mempertahankan line-up seperti ketika menghadapi Austria.

Kehilangan De Bruyne dan Hazard tentu kerugian besar bagi Belgia. Keduanya selalu menjadi starter dalam dua pertandingan terkini lawan Finlandia serta Portugal. De Bruyne menjadi pembeda ketika timnya buntu dan kesulitan menghadapi Denmark di pertandingan kedua fase grup.

Akan tetapi, The Red Devils membawa banyak talenta penyerang yang seharusnya bisa menambal peran dua pemain tersebut. Apalagi, Belgia masih diperkuat Romelu Lukaku, penyerang terbaik yang pernah memperkuat timnas.

Lukaku menyempurnakan permainannya di bawah Antonio Conte di Inter Milan. Striker berusia 28 tahun ini berperan krusial dalam kampanye Nerrazzurri mengkudeta dominasi Juventus. Pada akhir 2020/21, Lukaku dinobatkan sebagai pemain terbaik Serie A.

“Dua tahun di Italia telah membuatnya [Lukaku] berkembang. Kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan Antonio Conte telah membuatnya lebih kuat. Dia adalah tank, pencetak gol natural, dia tak pernah hilang dalam pertandingan,” tulis pelatih kawakan Italia, Claudio Ranieri di kolomnya untuk La Gazzetta dello Sport.

Di Piala Eropa 2020, penyerang Inter Milan itu telah mengemas tiga gol. Lukaku sendiri terbiasa menghadapi para pemain bertahan Italia di Serie A. Di Derbi Della Madoninna, ia telah mencetak empat gol dari empat laga ke gawang Gianluigi Donnarumma, kiper utama Gli Azzurri.

Lukaku dapat memberikan ancaman dengan berbagai cara. Selama membela Inter, ia terbiasa bermain membelakangi gawang dan menautkan permainan timnya secara brilian. Eks Chelsea ini juga bisa memecah organisasi lawan dengan pergerakan disruptifnya.

Sang pemain pun dapat menjadi outlet serangan balik mumpuni. Meskipun berpostur besar, ia memiliki kecepatan yang tak bisa diremehkan. Lukaku memadukan kemampuan fisik dan intelegensi yang membuatnya menjadi penyerang komplet papan atas.

Di Timnas Belgia, Lukaku sendiri cenderung bisa mempertahankan level performa. Eks penggawa Everton ini telah mencetak 46 gol dari 45 pertandingan terakhir di bawah asuhan Roberto Martinez.

Selain itu, dua gelandang serang yang menjadi tandem Lukaku pun mesti diwaspadai Italia. Kendati De Bruyne dan Hazard absen, dua gelandang serang Belgia dapat memberi masalah serius bagi Gli Azzurri. Secara posisional, dua pemain itu bisa merepotkan Jorginho yang sering dijadikan pivot tunggal.

Jika Mancini hendak memasang Marco Verratti, gelandang Paris Saint-Germain itu sepertinya harus rela bermain lebih defensif. Ini untuk menanggulangi Jorginho yang rawan dikepung dua gelandang serang, kemungkinan Carrasco serta Mertens.

Verratti sendiri amat berpengaruh di fase menyerang Italia dalam dua pertandingan terkini. Baru pulih saat Italia menghadapi Wales, eks Pescara tersebut rutin membuat peluang bagi para penyerang. Di Piala Eropa 2020, ia rata-rata membuat 5,29 umpan kunci dan 1,18 umpan yang masuk ke kotak penalti per pertandingan.

Memberi Verratti tanggung jawab defensif yang lebih dapat mengurangi kreativitasnya di sepertiga akhir. Namun, tiga penyerang Belgia wajib diwaspadai dan ruang antara lini tengah dan lini belakang mesti dijaga untuk membatasi daya serang lawan. Opsi lain bagi Mancini adalah menurunkan Manuel Locatelli yang terbiasa bermain lebih defensif di Sassuolo.

Di lain sisi, laga ini dapat menjadi ajang unjuk gigi para pembeda dari bangku cadangan. Di babak 16 Besar lalu, lolosnya Italia tak bisa dilepaskan dari peran pemain pengganti mereka. Mancini mengganti empat pemain di lini tengah dan lini serang pada waktu normal.

Dua pemain pengganti, Federico Chiesa dan Matteo Pessina mencetak gol kemenangan Italia atas Austria. Pessina dapat memberi masalah dengan late run cerdasnya ke kotak penalti. Gelandang Atalanta itu telah mencetak dua gol sepanjang turnamen.

Sementara itu, Chiesa dapat mengekspose lini pertahanan Belgia dengan kecepatannya. Memasukkannya di babak kedua, ketika energi bek veteran lawan (Toby Alderweireld dan Jan Vertonghen) telah terkuras, dapat menjadi strategi jitu Mancini.

Di pihak Belgia, para pemain non-starter juga berpeluang mendapatkan kesempatan. Absennya Hazard dan De Bruyne membuka peluang bagi Carrasco atau Mertens. Selain dua pemain ini, Leandro Trossard atau Jeremy Doku dapat mengisi posisi tersebut.

Doku memiliki kecepatan dan kelincahan yang bisa memicu disorganisasi pertahanan lawan. Winger Stade Rennais ini juga cakap mengatasi adangan bek. Di Ligue 1 2020/21, ia mencatatkan rata-rata 5,91 dribel per pertandingan dengan persentase kesuksesan 59,1%. Hanya ada tiga orang dengan menit bermain reguler yang mencatatkan rata-rata dribel lebih tinggi di Ligue 1.

Reuni Martinez vs Mancini

Perempat final Piala Eropa 2020 kembali mempertemukan Roberto Martinez vs Roberto Mancini. Dua pelatih ini sudah delapan tahun tidak beradu taktik. Mereka sempat bersaing di Premier League. Waktu itu, Mancini melatih Manchester City sedangkan Martinez mengasuh Wigan Athletic.

The Cityzens hampir selalu tampil superior atas Wigan. Di ajang liga, Mancini selalu mengalahkan The Latics asuhan Martinez. Namun, di pertemuan terakhir, Martinez berhasil menorehkan kejutan dengan mengalahkan Man City. Laga yang dimenanginya pun amat prestisius, yakni final Piala FA.

Pelatih asal Spanyol itu memimpin Gary Caldwell dan kawan-kawan membungkam Man City yang berstatus runner-up liga. Gelar yang diberikan Martinez itu adalah satu-satunya trofi mayor yang pernah diraih Wigan Athletic.

Selama melatih Wigan, Martinez bermodalkan skuad yang lebih inferior dibanding Mancini. Kali ini, ceritanya berbeda. Ia membawa skuad berpengalaman dengan kualitas individual yang mumpuni. Bersama Timnas Belgia, sang pelatih meraih 23 kemenangan dari 27 laga terkini.

Di lain sisi, Gli Azzurri bermodal tren 31 pertandingan tanpa kekalahan. Mereka terakhir kali kalah lawan Portugal pada September 2018 lalu. Kini, anak asuh Mancini mesti menghadapi tim nomor satu FIFA sekaligus tim yang mengeliminasi Portugal.

[gambar] => https://panditfootball.com/images/large/Fimage/FEATURE-IMAGE-BELITA.jpg [tanggal] => 02 Jul 2021 [counter] => 2.033 [penulis] => Ikhsan Abdul Hakim [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/large/2022/Agustus%202022/Logo-transparent.png [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/Ikhsan [penulis_desc] => [penulis_initial] => [kategori_id] => 3 [kategori_name] => Analisis [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/analisa-pertandingan ) [categories] => Array ( [0] => Array ( [kategori_id] => 18 [kategori_name] => Editorial [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/editorial [status] => 1 [counter] => 203 ) [1] => Array ( [kategori_id] => 4969 [kategori_name] => Advetorial [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/advetorial [status] => 1 [counter] => 46 ) [2] => Array ( [kategori_id] => 6729 [kategori_name] => tentang [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/tentang [status] => 1 [counter] => 0 ) [3] => Array ( [kategori_id] => 334 [kategori_name] => Sains [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/sains-bola [status] => 1 [counter] => 183 ) [4] => Array ( [kategori_id] => 454 [kategori_name] => PanditSharing [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/pandit-sharing [status] => 1 [counter] => 613 ) [5] => Array ( [kategori_id] => 6719 [kategori_name] => Terbaru [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/terbaru [status] => 1 [counter] => 0 ) [6] => Array ( [kategori_id] => 599 [kategori_name] => Berita [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/berita [status] => 1 [counter] => 3271 ) [7] => Array ( [kategori_id] => 151 [kategori_name] => Fantasy Premier League [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/fpl-football-culture [status] => 1 [counter] => 930 ) [8] => Array ( [kategori_id] => 1385 [kategori_name] => Jadwal Siaran Televisi [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/jadwal-siaran-televisi [status] => 1 [counter] => 2 ) [9] => Array ( [kategori_id] => 3 [kategori_name] => Analisis [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/analisa-pertandingan [status] => 1 [counter] => 1270 ) [10] => Array ( [kategori_id] => 5 [kategori_name] => Football Culture [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/football-culture [status] => 1 [counter] => 31 ) [11] => Array ( [kategori_id] => 2049 [kategori_name] => Nasional [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/nasional [status] => 1 [counter] => 87 ) [12] => Array ( [kategori_id] => 392 [kategori_name] => Cerita [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/cerita [status] => 1 [counter] => 3163 ) ) [populer_tag] => Array ( [0] => stdClass Object ( [tag_id] => 20 [tag_name] => EPL [tag_slug] => epl [status_tag] => 0 [hitung] => 1279 ) [1] => stdClass Object ( [tag_id] => 7021 [tag_name] => Indonesia [tag_slug] => indonesia [status_tag] => 2 [hitung] => 867 ) [2] => stdClass Object ( [tag_id] => 6143 [tag_name] => Manchester United [tag_slug] => manchester-united [status_tag] => 0 [hitung] => 639 ) [3] => stdClass Object ( [tag_id] => 6502 [tag_name] => Liga Champions Eropa [tag_slug] => liga-champions-eropa [status_tag] => 0 [hitung] => 495 ) [4] => stdClass Object ( [tag_id] => 63 [tag_name] => Chelsea [tag_slug] => chelsea [status_tag] => [hitung] => 479 ) [5] => stdClass Object ( [tag_id] => 42 [tag_name] => Arsenal [tag_slug] => arsenal [status_tag] => [hitung] => 474 ) ) [populer_sidebar] => Array ( [0] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/taktik/215443/PFB/240317/sekarang-thiago-motta-tidak-akan-diejek-lagi [judul] => Sekarang, Thiago Motta Tidak Akan Diejek Lagi [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/2022/FI%20BOLOGNSA.jpeg [tanggal] => 17 Mar 2024 [counter] => 7.470 ) [1] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/analisa-pertandingan/215427/PFB/240117/indonesia-vs-irak-mengapa-wasit-tidak-menganulir-gol-kedua-irak [judul] => Indonesia vs Irak : Mengapa Wasit Tidak Menganulir Gol Kedua Irak [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/FPL%202023-2024/WhatsApp%20Image%202024-01-16%20at%2010.26.01%20PM.jpeg [tanggal] => 17 Jan 2024 [counter] => 5.399 ) [2] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/analisa-pertandingan/215442/PFB/240302/siapa-bisa-hentikan-inter-di-serie-a [judul] => Siapa Bisa Hentikan Inter di Serie A? [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/2022/Italia/FI%20-%20Dominasi%20Inter.jpeg [tanggal] => 02 Mar 2024 [counter] => 4.889 ) [3] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/cerita/215428/PFB/240117/eritrea-dan-kisah-pemain-yang-kabur-dari-negaranya [judul] => Eritrea dan Kisah Pemain yang Kabur dari Negaranya  [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/Afrika/FI%20ERITREA.jpeg [tanggal] => 17 Jan 2024 [counter] => 1.911 ) ) [terbaru_sidebar] => Array ( [0] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/pandit-sharing/215481/PFB/240923/ [judul] => Penunjuk Jalan Menuju Panah Hijau di FPL [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/FI%20-%20PANDIT%20SHARING%20FPL/PS%20-%20PENUNJUK%20JALAN.png [tanggal] => 23 Sep 2024 [counter] => 277 [penulis] => panditsharing [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/attach/panditsharingsmall.jpg [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/panditsharing [kategori_name] => PanditSharing [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/pandit-sharing ) [1] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/pandit-sharing/215487/PFB/240918/ [judul] => Simulasi Pemain Timnas Jadi Aset FPL [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/FI%20-%20PANDIT%20SHARING%20FPL/PS%20-%20SIMULASI%20PEMAIN%20TIMNAS%20JADI%20ASET%20FPL.png [tanggal] => 18 Sep 2024 [counter] => 208 [penulis] => panditsharing [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/attach/panditsharingsmall.jpg [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/panditsharing [kategori_name] => PanditSharing [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/pandit-sharing ) [2] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/pandit-sharing/215482/PFB/240912/ [judul] => Kupas Misteri Naik Turun Harga Aset di FPL [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/FI%20-%20PANDIT%20SHARING%20FPL/PS%20-%20HARGA%20ASET.png [tanggal] => 12 Sep 2024 [counter] => 389 [penulis] => panditsharing [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/attach/panditsharingsmall.jpg [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/panditsharing [kategori_name] => PanditSharing [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/pandit-sharing ) [3] => Array ( [slug] => https://panditfootball.com/pandit-sharing/215480/PFB/240912/ [judul] => Dilema Kepemilikan Erling Haaland: Madu atau Racun? [gambar] => https://panditfootball.com/images/large/FI%20-%20PANDIT%20SHARING%20FPL/PS%20-%20HAALAND%20MADU%20ATAU%20RACUN.png [tanggal] => 12 Sep 2024 [counter] => 618 [penulis] => panditsharing [penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/attach/panditsharingsmall.jpg [penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/panditsharing [kategori_name] => PanditSharing [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/pandit-sharing ) ) [categories_with_count] => Array ( [0] => Array ( [kategori_id] => 18 [kategori_name] => Editorial [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/editorial [status] => 1 [counter] => 203 ) [1] => Array ( [kategori_id] => 4969 [kategori_name] => Advetorial [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/advetorial [status] => 1 [counter] => 46 ) [2] => Array ( [kategori_id] => 6729 [kategori_name] => tentang [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/tentang [status] => 1 [counter] => 0 ) [3] => Array ( [kategori_id] => 334 [kategori_name] => Sains [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/sains-bola [status] => 1 [counter] => 183 ) [4] => Array ( [kategori_id] => 454 [kategori_name] => PanditSharing [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/pandit-sharing [status] => 1 [counter] => 613 ) [5] => Array ( [kategori_id] => 6719 [kategori_name] => Terbaru [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/terbaru [status] => 1 [counter] => 0 ) [6] => Array ( [kategori_id] => 599 [kategori_name] => Berita [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/berita [status] => 1 [counter] => 3271 ) [7] => Array ( [kategori_id] => 151 [kategori_name] => Fantasy Premier League [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/fpl-football-culture [status] => 1 [counter] => 930 ) [8] => Array ( [kategori_id] => 1385 [kategori_name] => Jadwal Siaran Televisi [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/jadwal-siaran-televisi [status] => 1 [counter] => 2 ) [9] => Array ( [kategori_id] => 3 [kategori_name] => Analisis [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/analisa-pertandingan [status] => 1 [counter] => 1270 ) [10] => Array ( [kategori_id] => 5 [kategori_name] => Football Culture [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/football-culture [status] => 1 [counter] => 31 ) [11] => Array ( [kategori_id] => 2049 [kategori_name] => Nasional [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/nasional [status] => 1 [counter] => 87 ) [12] => Array ( [kategori_id] => 392 [kategori_name] => Cerita [kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/cerita [status] => 1 [counter] => 3163 ) ) [meta_title] => Piala Eropa: Dua Chiesa, Satu Cerita [meta_desc] => Tak seperti ketika melalui fase grup, Italia cukup kesulitan di partai 16 Besar lawan Austria. Anak asuh Roberto Mancini direpotkan oleh permainan solid dan pressing agresif tim lawan. Skuad besutan... [meta_keyword] => Serie A,Italia,Piala Eropa,Piala Eropa 2020,Federico Chiesa,Enrico Chiesa [meta_image] => https://panditfootball.com/images/large/Fimage/FEATURE-IMAGE-duochiesa.jpg [meta_url] => https://panditfootball.com/article/show/cerita/214429/PFB/210702/piala-eropa-2020 [js_custom_page] => [socmed_facebook] => [socmed_instagram] => Array ( [id_option] => 26 [name_option] => socmed_instagram [value_option] => https://www.instagram.com/panditfootball/ [desc_option] => @panditfootball ) [socmed_youtube] => Array ( [id_option] => 25 [name_option] => socmed_youtube [value_option] => https://www.youtube.com/@pandit.football [desc_option] => @pandit.football ) [socmed_twitter] => Array ( [id_option] => 24 [name_option] => socmed_twitter [value_option] => https://x.com/panditfootball [desc_option] => @panditfootball ) ) 1
PANDIT FOOTBALL INDONESIA

Piala Eropa: Dua Chiesa, Satu Cerita

Piala Eropa: Dua Chiesa, Satu Cerita
Font size:

Tak seperti ketika melalui fase grup, Italia cukup kesulitan di partai 16 Besar lawan Austria. Anak asuh Roberto Mancini direpotkan oleh permainan solid dan pressing agresif tim lawan. Skuad besutan Franco Foda bahkan sempat unggul via Marko Arnautovic, tetapi dianulir karena offside.

Mancini pun mesti melakukan dua kali pergantian untuk menjaga intensitas permainan anak asuhnya. Matteo Pessina dan Manuel Locatelli dimasukkan. Kemudian, Federico Chiesa serta Andrea Belotti diturunkan untuk menjaga kebugaran lini serang.

Skor kacamata membuat pertandingan dilanjutkan ke babak tambahan waktu. Di babak pertama tambahan, Gli Azzurri baru bisa mengoyak gawang Daniel Bachmann. Menerima bola di sisi kanan kotak penalti, Chiesa mengontrol bola dengan tenang dan mengirim sepakan setengah-voli ke sudut gawang. Pessina kemudian menggandakan keunggulan Italia. Austria sempat membalas via Sasa Kalajdzic. Namun, skor 2-1 bertahan hingga bubaran dan Italia lolos ke perempat final.

Chiesa mencetak gol pertamanya bagi Timnas Italia di turnamen besar. Sejauh ini, ia telah mengemas dua gol dari 29 penampilan bersama Gli Azzurri. Ia selalu bermain dalam empat pertandingan Piala Eropa 2020, tiga kali sebagai pengganti. Dalam laga kontra Wales, Minggu (20/6/2021), satu-satunya pertandingan di mana sang pemain menjadi starter, Chiesa tampil apik dan diganjar penghargaan man of the match.

Musim impresif bersama Juventus membuatnya memenangkan tempat di skuad Italia. Meskipun belum menjadi pilihan utama, Chiesa dapat menjadi opsi pembeda bagi Mancini.

Eks Fiorentina ini mendapatkan debut timnas pada Maret 2018. Chiesa sempat rutin masuk 11 utama ketika Italia melakoni edisi perdana UEFA Nations League. Setelah itu, setahun belakangan, ia lebih sering menjadi pelapis Federico Bernadeschi kemudian Domenico Berardi.

Chiesa selalu cemerlang dalam empat musim terkini di Serie A dan banyak yang menjagokannya masuk 11 utama. Namun, fakta bahwa ia tak menjadi starter di Piala Eropa sama sekali tak mengganggunya. Ia lapang dada menerima peran sebagai supersub.

“Pelatih memilih 11 dari kami, tetapi seperti yang saya katakan pada masa lalu, kami adalah 26 pemain pilihan dan malam ini kami menunjukkannya. Inilah mengapa pelatih meminta para pemain di bangku cadangan untuk mengikuti pertandingan secara cermat: untuk masuk dan membuat perbedaan,” kata Chiesa usai pertandingan kontra Austria.

Golnya ke gawang Austria pun menjadi rekor tersendiri. Sepanjang sejarah Piala Eropa, belum ada ayah dan anak yang mencetak gol di putaran final. Sebelumnya, sang ayah, Enrico Chiesa mencetak gol bagi Italia di Piala Eropa 1996.

Federico berada dalam jalur yang benar untuk mengikuti jejak ayahnya. Enrico adalah salah satu bintang Serie A saat kompetisi ini berjaya pada 1990-an.

Pantang Lena oleh Privilese

Federico Chiesa lahir di Genoa pada 25 Oktober 1997. Saat itu, Enrico sedang membela Parma. Federico kemudian tumbuh besar di Florence, bermain sepakbola untuk Settignanese sebelum masuk ke akademi Fiorentina.

Mewarisi gen pesepakbola terkenal, mudah untuk berasumsi bahwa Chiesa menempuh jalan perkembangan yang lapang dan lurus saja. Ia dibesarkan di keluarga yang, mengutip kata-katanya sendiri, “bernapaskan sepakbola” dan suportif dalam pilihan kariernya. Namun, nama keluarga bukanlah alasan utama dari kesuksesannya menjajaki karier profesional. Faktanya, Chiesa sempat sulit berkembang di level akademi.

Enrico tahu betul bahwa sepakbola adalah pilihan karier yang rawan. Demi masa depan, edukasi sang anak pun mesti dijamin betul-betul. Keluarga memasukkan Chiesa ke sekolah bereputasi mentereng, International School of Florence, di mana pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini menjelaskan mengapa Chiesa begitu fasih meladeni wawancara berbahasa Inggris. Seandainya gagal di sepakbola, ia mengaku tertarik menjadi fisikawan.

Perkembangan Chiesa di akademi pada mulanya berjalan lambat. Secara teknis, ia tertinggal dari rekan-rekan seusia. Pertumbuhan fisiknya pun tak sepesat rekan sepantaran. Karena gagal bersaing di kelompok usia yang sama, Chiesa sempat diturunkan ke kelompok usia yang satu tahun lebih muda.

“Saya hanya bermain sekali [di Allievi, U16-17], dan bahkan dari awal mereka sering mengirim saya bersama [skuad kelahiran] ’98, yang lebih muda,” kata Chiesa kepada l’Ultimo Uomo.

Kiprah Chiesa mulai menemui titik terang ketika ia diasuh pelatih Federico Guidi dan ditempatkan di posisi yang lebih sesuai. Tadinya, ia sering dipasang sebagai penyerang tengah di formasi 4-4-2. Sang pemain kemudian diakomodasi oleh Guidi yang menerapkan 4-2-3-1, memasang Chiesa sebagai winger.

Federico Chiesa berkembang cepat sebagai winger. Ia mulai rutin diturunkan di tim Primavera (U-19). Tak seperti ayahnya yang merupakan penyerang tengah mumpuni, karakter permainan Federico lebih sesuai di posisi sayap.

Pemain yang kini berusia 23 tahun itu membela tim Primavera hingga 2016. Pada Agustus 2016, pelatih Paulo Sousa memberinya debut senior ketika Fiorentina menghadapi Juventus di ajang Serie A.

Chiesa segera mencuri perhatian bersama La Viola. Sering diturunkan di sayap kanan, ia mengemas 34 gol dan 25 asis selama tiga musim membela Fiorentina. Pada Juli 2020, ia mencetak hat-trick ke gawang Bologna, 17 tahun setelah Enrico mencetak trigol terakhirnya di Serie A bersama AC Siena.

Penampilan impresif bersama Fiorentina membuat Juventus meminjamnya sejak 2020/21 dengan opsi pembelian. Federico mendapatkan sesuatu yang tak didapatkan Enrico dulu, yakni bermain untuk klub besar yang konsisten bersaing mengejar trofi.

Enrico memang menjalani karier gemilang. Namun, tidak bermain untuk “klub besar” adalah satu dari segelintir penyesalannya.

“Saya selalu dekat untuk itu [masuk klub besar]. Simoni [pelatih Inter Milan, 1997-98], menginginkan saya ke Inter. Juve dan Milan meminati saya, tetapi tidak ada yang pernah terealisasi. Saya mungkin bisa berbuat lebih [sebagai pemain],” kata Enrico Chiesa sebagaimana dilansir These Football Times.

Cerita tentang Enrico lebih mirip petualangan yang tak membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Ia memang dikenang sebagai striker hebat, meraih trofi kontinental bersama Parma dan Sampdoria. Ia merupakan tandem maut Hernan Crespo di Parma, menjadi suksesor Gabriel Batistuta di Fiorentina, serta tampil dalam lebih dari 300 pertandingan Serie A.

Akan tetapi, titel Serie A dan Capocanonniere (top skor Liga Italia) selalu lepas dari genggaman Enrico. Ia bermain untuk Teramo ketika Sampdoria juara liga pada 1990/91, kemudian harus puas di posisi runner-up bersama Parma pada 1996/97. Ketika ia mencetak 22 gol pada 1995/96, Giuseppe Signori dan Igor Protti mencetak dua lebih banyak. Saat ia kembali mengemas 22 gol pada 2000/01, Hernan Crespo mencetak empat lebih banyak.

Di Italia, Enrico Chiesa seolah ditakdirkan untuk tak pernah mencapai tempat teratas. Di tim nasional pun demikian. Ia hanya sempat membela Gli Azzurri dalam dua turnamen akbar, yakni Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998. Enrico total mengemas 22 caps dan mencetak tujuh gol. Jumlah penampilannya di tim nasional sudah dilampaui sang anak.

Kini, apa-apa yang belum dicapai Enrico berpeluang ditorehkan anaknya. Mereka memang bermain di posisi berbeda dan menorehkan trek karier berbeda. Federico masih bisa meraih medali Scudetto yang belum ada di lemari trofi keluarga Chiesa.

Karier Federico masih panjang dan Enrico tentu akan mendukungnya dengan penuh kebanggaan. Untuk sekarang, Federico masih fokus membantu kiprah Italia di Piala Eropa 2020; bersama Roberto Mancini, sosok yang pernah bermain bersama Enrico dan sempat melatihnya di Fiorentina serta Lazio dulu.

Ledakan Mikkel Damsgaard
Artikel sebelumnya Ledakan Mikkel Damsgaard
Belgia vs Italia: Duel Tim dengan Rekor Terbaik di Piala Eropa 2020
Artikel selanjutnya Belgia vs Italia: Duel Tim dengan Rekor Terbaik di Piala Eropa 2020
Artikel Terkait