Belajarlah (Memberantas Match Fixing) Hingga Ke Negeri China

Belajarlah (Memberantas Match Fixing) Hingga Ke Negeri China
Font size:

Oleh: Vetricia Wizach

Untuk mengerti bagaimana kegandrungan penduduk China pada olahraga, tengoklah Yao Ming. Pemain basket yang bertahun-tahun bermain di NBA itu memang jadi kebanggaan nasional. Wajahnya terpampang dalam billboard iklan hampir di semua sudut China. Bahkan ketika ia berjumpa dengan Yi Jianlian, salah seorang pemain NBA asal China lainnya, hampir 200 orang di China menyaksikan pertandingan itu. Salah satu laga paling banyak ditonton dalam sejarah NBA. Ya, urusan olahraga, terutama yang menyangkut atlet dari negaranya sendiri, masyarakat China boleh dikatakan fanatik. Namun, beberapa tahun lampau, kefanatikan terhadap "produk lokal"? ini sempat memudar di sepakbola. Seragam klub-klub lokal semacam Guangzhou Evergrande atau Shanghai Shenhua mulai ditanggalkan, berganti dengan Manchester United atau Houston Rocket. Olahraga yang paling digandrungi umat manusia ini ditinggalkan oleh negara yang penduduknya terbanyak di dunia. Kefanatikan yang semula menyelimuti China pun berganti jadi kemarahan dan kemuakan. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaturan pertandingan. Bagaikan kanker yang telah menyebar luas, hampir seluruh level sepakbola China telah terjangkit virus judi dan match fixing yang tak pernah berhenti. Selama bertahun-tahun, penjudi dan sindikat kejahatan dengan mudahnya mempengaruhi pemain, klub, serta wasit untuk mengatur hasil satu laga. Buat apa menonton pertandingan yang sudah hasilnya sudah diatur, bukan? Pikiran-pikiran seperti itu yang (salah-satunya) kemudian mendorong populernya klub luar dan menggantikan sepakbola lokal. Dan penyakit match-fixing ini boleh dikatakan kronis. Pada 2010, 5 pemain yang berlaga di Liga Hongkong serta 20 pengurus federasi sepakbola China telah ditangkap karena match-fixing. Di antara ke-20 orang ini ada nama Nan Yong dan Yang Mimin, dua pemegang tanggung jawab paling tinggi di CFA (Chinese Football Associaton). Saking mendarah-dagingnya korupsi di tubuh para pemain China, bahkan seorang pemain pun harus membayar jika ingin bermain di tim nasional. Tak tanggung-tanggung, lima belas ribu dollar untuk masuk timnas, dan 18 ribu dollar untuk bermain sebagai substitusi. Saking muaknya publik terhadap kebobrokan sepakbola China, banyak orang tua yang kemudian melarang anaknya untuk terjun di sepakbola. Berdekatan dengan olahraga ini, menurut mereka, hanya akan membuat keturunannya kotor. Selain itu, harga untuk memasuki dunia sepakbola profesional pun semakin lama semakin mahal, saking banyaknya pihak yang harus disuap. Maka jumlah remaja China yang terlibat di sepakbola pun turun drastis. Di akhir tahun 2000, ada sekitar 600 ribu remaja yang bermain sepakbola profesional/terorganisir. Di tahun 2005, jumlah ini turun hingga ke angka 180 ribu. Di tahun 2011, sudah berada di bawah angka 100 ribu anak. Emas yang Jadi Hitam Dari seluruh nama yang terseret oleh arus penangkapan kasus match-fixing, nama Lu Jun mungkin jadi yang paling mengagetkan dunia internasional. Pasalnya, secara kasat mata, Lu seharusnya jadi yang paling tak tersentuh oleh kotornya pengaturan pertandingan. Bagaimana tidak. Lu Jun adalah salah satu wasit paling unggul di China dan Asia. Pada 2002, Lu terpilih sebagai wasit pertama asal China yang memimpin Piala Dunia. Lu juga bahkan sempat dua kali terpilih sebagai pengadil lapangan terbaik oleh federasi sepakbola Asia. Saking baik kinerjanya, Lu sempat dijuluki "Si Peluit emas". Pada 2011, Lu ditangkap untuk kasus yang terjadi pada musim 2003, yaitu saat adanya perebutan gelar juara kompetisi antara Shanghai Shenhua dan Shanghai Internasional. Saat kedua tim itu berada di peringkat dua teratas liga. Menjelang pertandingan antar kedua klub asal Shanghai ini, Zhang Jianqiang, seorang mantan pengurus federasi mendekati Lu. Ia menawarkan sejumlah uang jika Shanghai Shenhua menang. Dengan laga yang disiarkan secara langsung di televisi, sebenarnya agak sulit bagi Lu untuk mengatur pertandingan. Namun Lu kemudian memilih trik psikologis. Ia memberikan berbagai kelonggaran bagi pemain Shenhua, dan bersikap lebih ramah pada mereka. Shenhua pun menang 4-1 di laga itu dan naik ke peringkat satu. Di akhir musim, Shenhua kemudian keluar sebagai juara kompetisi. Untuk "jasa" Lu dan Jianqiang di pertandingan penting itu, Shenhua mengeluarkan uang hingga 700 ribu Yuan, atau sekitar 1,3 miliar rupiah. Bagi penduduk China, penangkapan Lu ini boleh jadi tidak mengagetkan. Pasalnya korupnya para pengadil lapangan hijau ini sudah jadi cerita yang teramat akrab. Ketika mendeteksi satu pertandingan telah diatur, para suporter sering kali menunjukkan kemarahannya. Di atas tribun stadion, mereka akan berteriak: Hei shao! Peluit (kalian) hitam! Selanjutnya: Hidup di Ruang Ganti

Hidup di Ruang Ganti Bagi Declan Hill, penulis buku "The Fix: Soccer and Organized Crime", menyuap wasit seperti dalam kasus Lu Jun adalah cara paling sulit dalam mengatur pertandingan. Mungkin saja sang wasit bisa memberikan penalti, atau kartu merah. Namun, tetap saja pengaruhnya terbatas. Menurut Declan lagi, cara paling mudah kedua adalah dengan mempengaruhi 4-5 pemain yang akan bermain dalam satu laga, sementara cara paling mudah pertama adalah menyuap pemilik klubnya langsung. Di China, ketiga praktek ini sama-sama digunakan. Pemilik klub akan memperoleh pundi-pundi uang dari match fixing ini dengan cara menaruh uang di meja judi. Mereka mendapat keuntungan besar karena sudah tahu hasil pertandingan timnya. Sementara untuk mayoritas pemain, menerima suap jadi cara untuk menyambung hidup. Sebenarnya, menyalahkan faktor ekonomi untuk korupsi, dalam sejarah manusia, hampir sama tuanya dengan praktek korupsi itu sendiri. Tapi, adanya gap kesejahteraan pemain pun memang benar terjadi. John Hollins, salah seorang pemain asing di kompetisi domestik China, pernah bercerita pada koran The Guardian. Membeli pertandingan di China sangat mudah, karena hanya segelintir pemain dan wasit saja yang gajinya meroket. Ketika Hollins bermain untuk Shenyang Tiger Star pada 2004, ia pernah bertemu dengan banyak pemain yang tinggal di ruang ganti. Banyak juga yang kekurangan gizi hanya untuk sekedar menjalani latihan. Situasi ini makin memburuk semenjak timnas China terlempar dari Piala Dunia 2002, tanpa pernah mencetak satu gol pun. Kala itu, kompetisi domestik ditinggalkan sponsor dan investor sehingga kondisi pemain makin terpuruk. Padahal, di sisi lainnya, ekonomi China semakin membaik sehingga uang yang berputar di bandar judi semakin meningkat. Pemain asing lainnya bercerita, bahwa rata-rata gaji yang diterima oleh para pesepakbola lokal China hanya mencapai kurang lebih 4 juta rupiah. Tidak cukup untuk membiayai keluarganya, dan kadang datangnya terlambat. Sebelum pertandingan-pertandingan penting, pemain ini lalu ditawari uang hingga lebih dari 90 juta rupiah, untuk memastikan hasil pertandingan. "Bek jadi pemain yang paling sering ditawari uang suap, karena mereka bisa membiarkan pemain lawan mencetak gol. Kiper juga jadi target yang populer. Kadang-kadang, malah seluruh tim yang ikut disuap. Tapi itu hanya pada kasus-kasus khusus saja," ujar pemain yang tak mau menyebutkan namanya pada The Guardian itu. Gagal Menjual Simpati Kemuakkan akan korupsi, praktek busuk, dan keterpurukan sepakbola China ini pada akhirnya mencapai puncaknya. Pada 2008, di semifinal sepakbola Olimpiade, puluhan ribu suporter China meneriakkan tuntutan pengunduran diri presiden CFA. Pada 2009, gerakan untuk memberantas pengaturan pertandingan ini pun diluncurkan. Di bawah kepemimpinan Wei Di, seorang dengan background olahraga air dan tidak pernah berurusan dengan sepakbola sebelumnya, serangkaian investigasi dimulai. Namun, bisa dikatakan, cara-cara yang dilakukan hampir melanggar batas etika. China memilih melawan kelihaian para match-fixer dengan menggunakan kecerdikan lagi. Sebagaimana dilaporkan BBC, sejak akhir 2009 hingga akhir 2011, ratusan orang yang bekerja di sepakbola secara diam-diam dibawa dari tempat kerjanya ke pusat investigasi. Semacam ada penangkapan terselubung. Di tempat penyidikan itu, mereka lalu dipaksa mengeluarkan nama-nama lain yang tersangkut kasus match-fixing. Karena terisolasi dan tak tahu rekan mereka telah mengatakan apa, mereka ketakutan dan akhirnya mengakui semua perbuatan. Dari kelompok kecil yang ditangkap mula-mula, ratusan nama didapatkan polisi. Di akhir penyelidikan, lebih dari 50 orang yang terdiri atas pengurus federasi, wasit, pemain, agen pemain, manager, pelatih, serta sponsor dijerembabkan ke dalam penjara. Dari orang-orang yang ditangkap itu, terdapat mantan kapten timnas China dan empat orang yang bermain di Piala Dunia 2002. Pun demikian dengan ketua komite wasit yang mendapatkan hukuman paling lama, yaitu lebih dari 10 tahun penjara. Dalam hal penangkapan ini, polisi dan komite investigasi tak bekerja sendirian. Saat pemain atau pelatih ditangkap, dan mereka menghilang dari tempat kerjanya, media massa hanya akan melaporkan bahwa atlet/pelatih yang bersangkutan tidak terlihat di tempat kerjanya. Media juga akan menyiarkan pengakuan para pesakitan ini secara langsung, sehingga publik tahu cara-cara mereka mengatur pertandingan. Jutaan rakyat China mendukung aksi ini dan lalu melontarkan berbagai komentar di media sosial. Bahkan, saat mantan petinggi CFA menuduh polisi menggunakan kekerasan dalam penyelidikan, tidak ada yang mau memberikan simpati, atau peduli tentang cara-cara tidak etis polisi. Borok dalam sepakbola sudah kadung membusuk dan mesti dipotong. Meski dengan memakai pisau, dan melakukannya sendirian. Menerka Kapan Subuh Datang Saat paling gelap dan hitam adalah ketika subuh akan menjelang. Demikian pameo itu menyebar. Bagi sepakbola China, belasan tahun korupsi, pengaturan pertandingan, dan inkompetensi itu boleh dikatakan sebagai saat-saat paling gelap dalam sejarah sepakbola mereka. Lalu, dengan berbagai penangkapan itu, apakah subuh telah datang? Bisa jadi iya, dan bisa jadi tidak. Hal pertama yang patut diingat, seperti yang diungkapkan Declan Hill, adalah hasrat akan judi sudah ada semenjak ratusan tahun sebelumnya. Penangkapan bisa terjadi, namun praktek judi belum bisa dihapuskan hingga ke akarnya. Dan ketika pihak yang berperan di sepakbola mulai bertaruh untuk timnya sendiri, ini jadi awal korupsi di sepakbola. Hal kedua adalah, investigasi seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada 2001, CFA juga sempat diselidiki, dan beberapa orang sempat ditangkap. Namun beberapa bulan menjelang berlaganya timnas di 2002, hukuman ini diputihkan. Namun, apapun yang terjadi di masa depan, mesti diakui bahwa saat ini sepakbola profesional China berada pada titik paling bersihnya. Jika memang gelap masih panjang, setidaknya mereka telah mulai menyalakan api.  

Siapa yang Akan Degradasi di Wilayah Timur?
Artikel sebelumnya Siapa yang Akan Degradasi di Wilayah Timur?
FIFA Pastikan Rusia Tetap Jadi Tuan Rumah Piala Dunia 2018
Artikel selanjutnya FIFA Pastikan Rusia Tetap Jadi Tuan Rumah Piala Dunia 2018
Artikel Terkait