Font size:
Setelah Tim Sembilan dan BOPI mengeluarkan rekomendasi yang cukup keras, yaitu agar ISL ditunda hingga persyaratan-persyaratan pokok dipenuhi, reaksi balik akhirnya diberikan PT LI dan kesebelasan-kesebelasan ISL. Melalui rapat darurat yang digelar PT LI bersama kesebelasan-kesebelasan ISL kemarin, keluarlah beberapa respons. Ada beberapa poin yang menarik untuk dicermati.
Pertama, PSSI akan mengirimkan surat kepada Presiden dan Wakil Presiden guna menjelaskan seluruh aspek terkait kompetisi, kesebelasan-kesebelasan yang bermain dan seluruh aspek yang ada di dalamnya. Kedua, melalui Harbiansyah (Wakil Ketua Badan Tim Nasional), mengancam akan membubarkan kesebelasan nasional jika kompetisi ISL tidak bisa dilangsungkan karena BOPI tak kunjung mengeluarkan rekomendasi yang dibutuhkan untuk memutar kompetisi profesional. Ketiga, mereka juga akan mengajukan judicial review terhadap UU Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No. 3 tahun 2005 yang memang mensyaratkan perizinan kompetisi dan pertandingan profesional melalui lembaga yang dibentuk oleh Kementerian Pemuda Olahraga (Kemenpora) yang kemudian menjadi BOPI. Menarik sekali membaca respons PSSI, PT LI dan kesebelasan-kesebelasan ISL di atas. Khusus untuk poin ketiga, tidak ada yang perlu dikomentari karena setiap warga negara punya hak untuk mengajukan judicial review. Siapa pun perlu dan harus menghormati hak tersebut. Jika kesebelasan ISL merasa BOPI tidak berhak mengurusi kompetisi, UU justru mensyaratkan sebaliknya. Soalnya sederhana saja: jika penyelenggara negara tidak melaksanakan UU, itu sebuah pelanggaran hukum. Jika tidak puas dengan UU, ada mekanisme bernama judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, dan selama UU itu tidak dibatalkan maka itu harus dilaksanakan dan berkekuatan hukum tetap.Simak cerita-cerita menarik lainnya tentang sejarah PSSI dan pengelolaan sepakbola Indonesia: Serial Sejarah PSSI Agar PSSI Tak Menjadi Rezim yang Tertutup Inilah Alasan Kenapa PSSI Harus Tetap Amatir Belajar dari Kegagalan PSSI yang Melakukan VerifikasiHal lain yang cukup menarik ialah absennya kosa kata "intervensi" dalam reaksi mereka. Tidak ada lagi tuduhan "intervensi", juga tak muncul ancaman sanksi FIFA. Absennya kosa kata itu merupakan hal baru karena sebelumnya PSSI, juga Asosiasi Provinsi hingga kesebelasan-kesebelasan ISL, sangat getol mengkampanyekan tuduhan "intervensi" dan ancaman disanksi FIFA atas apa yang dilakukan Kemenpora dengan membentuk Tim Sembilan. Kemungkinan hal itu terjadi karena rekomendasi Tim Sembilan umumnya, jika bukan seluruhnya, dialasdasari oleh cara berpikir sepakbola itu sendiri. Rekomendasi dan temuan Tim Sembilan menggunakan logika sepakbola itu sendiri: menggunakan regulasi mengenai lisensi AFC atau AFC Club Licensing Regulation sebagai tolok ukur untuk menilai ISL dan kesebelasan-kesebelasannya. Dengan menggunakan regulasi itu sebagai alat ukur, muncullan poin-poin seperti: aspek legalitas dari badan hukum yang mengelola kesebelasan-kesebelasan ISL, soal finansial, soal pajak, soal pembinaan pemain muda/akademi, soal kontrak stadion (infrastruktur), hingga kejelasan status kontrak para pemain, pelatih dan ofisial. Urusan-urusan yang sifatnya mendasar itulah yang diuji oleh Tim Sembilan dan BOPI. Tidak ada rekomendasi yang sifatnya "politis", seperti mempersoalkan rangkap jabatan di kesebelasan dan di federasi, soal politikus yang ikut mengurusi sepakbola, juga soal-soal sensitif mengenai sepakbola gajah atau mafia sepakbola. Tidak ada rekomendasi yang mempersoalkan kepengurusan PSSI, tidak ada rekomendasi yang berisi mosi tidak percaya terhadap kepengurusan PSSI, tidak ada rekomendasi yang menghalang-halangi kongres, juga tidak ada rekomendasi mengambil-alih kantor PSSI. Maka menjadi sangat menarik ketika persoalan mendasar itu, oleh CEO PT LI yaitu Joko Driyono, coba dijawab juga dengan menggunakan logika yang sama: menyodorkan tafsir mereka sendiri mengenai regulasi lisensi AFC. Simak tafsir Joko Driyono seperti yang ia ucapkan sendiri:
"AFC menambahkan syarat bukan untuk kepentingan domestik, tapi kepada klub yang tampil di kompetisi AFC dan teman-teman harus dilihat klub berjuang sekuat tenaga agar mendapatkan lisensi."Ini tafsir yang aneh dan memutar jarum jam kembali ke zaman "jahiliyah". Jika regulasi lisensi AFC itu tidak ada urusannya dengan kepentingan domestik dan hanya untuk kesebelasan-kesebelasan yang akan berlaga di kompetisi AFC, untuk apa ada verivikasi terhadap kesebelasan yang tidak berlaga di kompetisi AFC? Ya sudah, cukup Persib atau Persipura saja yang diverivikasi, kesebelasan lain tidak perlu, toh cuma Persib dan Persipura saja yang berlaga di Asia. Dampak lanjutan dari tafsiran ini adalah kesebelasan-kesebelasan ISL tidak usah capek-capek memenuhi aspek-aspek lisensi. Jalan saja sudah. Tak perlu ada badan hukum, tak perlu mengurusi infrastruktur, tak perlu juga bebas dari APBD. Jika sudah jadi juara atau runner-up ISL barulah urus lisensi untuk bisa ikut kompetisi AFC. Tafsiran itu jelas tafsir liar yang sama sekali tak merujuk regulasi lisensi AFC itu sendiri (anda bisa membaca dokumen asli regulasi lisensi AFC itu DI SINI). Simak bagian "objectives" yang disusun oleh AFC sendiri (hal 17-18):
- Allowing the development of benchmarking for clubs in financial, sporting, legal, personnel, administrative and infrastructure related criteria throughout Asia.
- Further promotion and continuous improvement of the standard of all aspects of football in Asia and continuing priority given to the training and care of young players in each club;
- Increasing the level of management and organization within the clubs18 AFC Club Licensing Regulations
- Improvement of the economic and financial capability of the clubs, increasing their transparency and credibility, and placing the necessary importance on the protection of creditors;
- Adaptation of clubs’ sporting infrastructure to provide spectators and media with well-appointed, well-equipped and safe stadiums;
- Safeguarding the continuity of international competitions for one season;
- Monitoring the financial fair play in the competitions.
Kami secara berkala melakukan analisis terkait keruwetan pengelolaan kompetisi di Indonesia. Simak beberapa ulasannya: Kepastian Jadwal Liga sebagai Hal Krusial Apa-nya yang (Sudah) Bagus dari Sepakbola Indonesia, Pak Nyalla? Akal Sehat dalam “Bursa Transfer” ISL Masalah Finansial jadi Pintu Masuk Pengaturan Skor & Sepakbola Gajah Korban-Korban Sepakbola IndonesiaMaka menjadi penting untuk memperlakukan rekomendasi Tim Sembilan sebagai "tantangan kreatif" yang diterjemahkan dengan cara terus menerus memperbaiki diri, secara serius, secara benar-benar, dan bukan main-main apalagi terus menerus melakukan pembiaran. Rekomendasi Tim Sembilan harus diperlakukan sebagai suatu dorongan dialektik yang dengan itulah kompetisi sepakbola terus-menerus membaik dan membaik dan bukan berkubang di kubangan yang sama melulu. Sejak digulirkannya ISL per 2008, langkah-langkah perbaikan kompetisi selalu membutuhkan tekanan dari luar PSSI itu sendiri, entah dari FIFA/AFC, dari pemerintah hingga lawan-lawan rezim PSSI sekarang. Tekanan-tekanan itu, terbukti, membuat PSSI dan PT LI dipaksa dan terpaksa untuk memperbaiki diri sendiri. Desakan dari AFC dalam bentuk regulasi lisensi membuat PT LI memang tak bisa leluasa lagi memutar kompetisi segampang memutar roda turnamen tarkam. Kesebelasan-kesebelasan pun dipaksa untuk memenuhi persyaratan itu, walau faktanya, lagi-lagi, persyaratan itu tidak dipraktikkan dengan ketat dan serius sehingga muncullan poin-poin rekomendasi BOPI. Desakkan dari pemerintah, dalam bentuk larangan menggunakan APBD untuk kesebelasan profesional, juga berhasil menghadirkan tantangan kreatif yang membuat manajemen terpaksa memutar otak untuk mencari uang. Dari situlah muncul kesebelasan bertabur sponsor seperti, misalnya, Persib hingga Persipura. Tanpa "tantangan kreatif" berupa larangan menggunakan dana APBD, entah akan berapa milyar uang rakyat yang akan dijejalkan ke kantong pemain-pemain asing dan entah akan berapa lagi pengurus sepakbola yang akan berurusan dengan KPK. Desakkan dari lawan-lawan rezim PSSI dan PT LI, taruhlah itu Indonesian Premier League (IPL), memang melahirkan dualisme dengan kerumitan yang memusingkan. Tapi dari "interupsi" yang diberikan oleh IPL itulah PSSI/PT LI/ISL akhirnya (dipaksa) tahu bahwa hak siar kompetisi selama ini, yang diserahkan kepada ANTV selama bertahun-tahun, terhitung kecil (10 milyar per musim). Dan kini, PSSI/PT LI/ISL meminang buahnya dengan kucuran uang yang tidak kecil dari televisi yang membeli hak siar ISL atau kesebelasan nasional Indonesia. Infus yang memberi nafas panjang pada PSSI sekarang mayoritas datangnya dari hak siar. Tanpa hak siar yang didatangkan melalui negosiasi yang sepadan, entah dari mana PSSI bisa mendapatkan pemasukan sebesar 131,448 milyar selama 2014 lalu. Desakan dari sistem hukum di Indonesia, misalnya dari Komite Informasi Publik (KIP) yang menyatakan bahwa PSSI adalah badan publik, membuat PSSI melampirkan laporan keuangan tahunan di situs mereka sehingga bisa diakses oleh publik. Orang boleh mengkritik detail laporannya, tapi PSSI setidaknya sudah melampirkan laporan pengelolaan sepakbola di tahun 2014. Ini perlu dibaca sebagai perkembangan dialektik, ketika desakan eksternal (publik yang mengajukan tuntutan ke KIP) direspons dengan cara mengunggah laporan keuangan. Dan itu perkembangan yang baik dari PSSI. Sebagai langkah awal layak diapresiasi walau itu mula-mula dipicu oleh desakan dari pihak luar-- dan itulah pentingnya orang luar yang menyodorkan tantangan-tantangan kreatif. Empat ilustrasi di atas, sekali lagi, memperlihatkan bahwa desakan dari luar tubuh PSSI terbukti menjadi sebuah "tantangan kreatif" yang (diakui atau tidak diakui) membuat PSSI, PT LI, ISL dan kesebelasan-kesebelasan di Indonesia terdorong untuk mengubah dirinya hingga seperti sekarang. Tanpa desakan dari luar, mungkinkah hal-hal tersebut akan muncul dalam sepakbola Indonesia? Saya kira tidak. Boleh jadi malah sepakbola Indonesia hingga hari ini masih akan dipimpin oleh narapidana kasus korupsi yang itu tuh, bukan? Keterbukaan dan transparansi macam apa yang bisa diharapkan jika organisasi dipimpin oleh terpidana korupsi? Sejarah perkembangan ISL, untuk sebagian, bisa dibaca sebagai kisah mengenai desakan dari pihak eksternal PSSI. Dan sejarah itu, masih akan berjalan, kali ini datang dari Tim Sembilan dan BOPI. Dan itu sebaiknya disikapi sebagai, sekali lagi, "tantangan kreatif". Peradaban, tak terkecuali peradaban sepakbola, selalu tumbuh dan berkembang dengan menjawab tantangan-tantangan yang muncul. Dalam teori peradabannya Arnold J. Toynbee, seorang filsuf sejarah, peradaban berkembang karena mampu menjawab tantangan-tantangan sulit yang muncul dengan tiba-tiba maupun tidak tiba-tiba. Peradaban melaju bukan karena superioritas genetik seorang pemimpin, tapi kesigapan sebuah masyarakat untuk menjawab tantangan-tantangan yang memaksa mereka untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Peradaban, kata Toynbee, adalah sebuah gerak dan bukan keadaan, merupakan suatu perjalanan dan bukannya pelabuhan (civilization is a movement and not a condition, a voyage and not a harbor). Gerak dan bergeraklah, dengan menjawab tantangan kreatif, bukan malah menghindari tantangan kreatif dengan cara meminta permakluman dan pengecualian melulu. Sebab kita semua tak mau peradaban sepakbola Indonesia betah bersandar di pelabuhan tanpa prestasi dan nunggak melulu. Sekali lagi: gerak dan bergeraklah, dan bukan sekadar gerak-gerik! Malulah minta pengertian negara dengan menyurati Presiden padahal sebelumnya ada pengurus PSSI yang bilang sepakbola milik FIFA.