Font size:
Sebelum film terakhir, barangkali tidak ada satupun penggemar film Harry Poter yang mengidolakan Profesor Severus Snape. Bagaimana tidak? Ia adalah sosok yang dingin dan misterius. Terlebih, ia kerap berperilaku kasar kepada Harry.
Snape selalu memperlihatkan kalau dirinya begitu benci kepada Harry. Snape pun kerap membandingkan Harry dengan kepribadian ayahnya, James. Dalam beberapa potongan film, kita tahu bahwa Snape melakukan itu karena ia terbakar api cemburu. Ia mencintai ibu Harry, Lily, meskipun pada akhirnya Lily menikahi James.
Di Hogwarts, Snape terlihat bersebrangan dengan kepala sekolah, Albus Dumbledore. Padahal, Dumbledore adalah pelindung sekaligus penjaga Harry dari kejahatan besar yang mengintainya. Snape pun terlihat mengistimewakan Keluarga Malvoy serta dianggap berkomplot dengan Dia-Yang-Tak –Boleh-Disebut-Namanya; Lord Voldemort. Kejahatan terbesar yang pernah dilakukan Snape adalah meng-aveda-kadavra-kan Dumbledore.
Hal sesungguhnya baru terungkap setelah Snape wafat. Sebelumnya, dalam kondisi sekarat, Snape meminta Harry mengambil air matanya untuk bisa melihat ke masa lalunya. Setetes air mata itu membawa Harry Potter, dan kita semua, menelusuri apa yang sebenarnya terjadi di balik kisah Lily, James, dan Snape.
Kamis (14/1) kemarin, Alan Rickman, pemeran Profesor Snape dalam film Harry Potter, benar-benar meninggalkan dunia untuk selamanya. Alan meninggal setelah berjuang melawan kanker yang ia derita sejak lama.
Di sepakbola, ada sejumlah orang yang kisahnya mirip dengan Profesor Snape. Bukan karena memiliki sihir, tetapi mereka dikenal atas perannya setelah pergi; baik itu meninggalkan klub, pensiun dari sepakbola, ataupun wafat.
[caption id="attachment_193979" align="aligncenter" width="650"] Claude Makelele saat direkrut Real Madrid. Foto: seasonfootball.com[/caption]
Pesepakbola yang paling sering dibahas soal perannya adalah Claude Makelele. Saat masih mengisi lini tengah Real Madrid, perannya terlihat tak berarti. Ia tak mencetak gol. Ia hanya jogging di depan bek Madrid. Ketidakaktifannya inilah yang membuatnya begitu mudah dilego ke Chelsea. Sejumlah pemain dan penggemar meradang setelah ia pergi.
“Kami tak kehilangan Mekelele. Tekniknya biasa saja. Dia kurang cepat dan biasa saja dalam hal teknik merebut bola dari lawan dan 90 persen umpannya hanya ke belakang atau ke samping. Ia bukanlah seorang penyundul bola. Ia tak pernah memberi umpan lebih dari tiga meter. Pemain-pemain yang lebih muda akan datang dan Makelele akan segera ditinggalkan,” kata Presiden Madrid, Florentino Perez usai kepergian Mekelele.
Namun, Zidane mengeluarkan pernyataan bersayap: “Mengapa harus melapisi cat emas pada sebuah Bentley ketika Anda telah kehilangan mesinnya?”
Selamanya, kepergian Makelele menghadirkan penyesalan, karena Real Madrid puasa gelar mayor pada musim 2003/2004 dan 2005/2006. Butuh dua musim bagi Madrid untuk menambal kehilangan di pos lini tengah yang ditinggalkan Makelele.
Lalu, sejumlah analis sepakbola pun menguak apa yang ada di balik kepergian Makelele secara taktikal. Faktanya, meskipun hanya jogging dan umpannya tak pernah lebih dari tiga meter, Makelele berperan penting dalam pertahanan maupun penyerangan tim. Maka, muncul istilah “Makelele Role” untuk gelandang yang berperan sebagai holding midfielder.
[caption id="attachment_193980" align="aligncenter" width="634"] Spanduk sebagai bentuk kekecewaan terhadap Alan Pardew. Foto: dailymail.co.uk[/caption]
Dalam dunia kepelatihan, saat ini nama Alan Pardew akan begitu dirindukan oleh penggemar Newcastle United. Setelah Pardew pergi, nasib Newcastle menjadi tidak pasti. Mereka, kini berkeliaran di zona degradasi.
Entah apa yang ada di benak penggemar Newcastle saat mereka menghina Pardew dengan kasar pada awal musim lalu. Padahal, kekalahan mestinya bukanlah sesuatu hal yang tabu, sehingga tak perlulah mendorong Pardew ke ujung pintu. Pada akhirnya, mereka malu karena Pardew membawa Newcastle keluar dari jalan buntu.
Di tengah hasil positif yang diraih Newcastle, Pardew memutuskan untuk pergi. Ia kembali ke tempat di mana dulu ia dianggap hebat. Manajemen Newcastle pun enggan mengeluarkan uang tambahan untuk mendatangkan manajer baru. Mereka mengangkat John Carver yang sebelumnya bertugas sebagai asisten pelatih. Pada akhirnya, Carver tak lebih dari sekadar penyanyi latar.
Musim ini, Newcastle mendatangkan Steve McClaren, mantan manajer Inggris yang dipecat karena gagal membawa The Three Lions ke Piala Eropa 2008. McClaren pun dibekali para pemain mahal seperti Georginio Wijnaldum, Aleksandar Mitrovic, Chancel Mbemba, dan Florian Thauvin. Namun, angin di St. James Park seperti terus menerus meniupkan nama Alan Pardew. Soalnya, McClaren tak lebih baik ketimbang Pardew. Belum lagi ada kecemburuan karena Pardew saat ini berhasil membawa Crystal Palace kedelepan klasemen sementara.
Seseorang akan dinanti setelah ia pergi; seorang pesepakbola menjadi dicintai setelah ia berhenti.
Halaman berikutnya, berkaitan dengan cerita karier Eric Cantona.
Nama Eric Cantona tentu tidak asing buat penggemar sepakbola. Selain karena ia membela Manchester United, berbagai hal negatif di luar sepakbola pun kerap mengangkat namanya.
Saat masih membela MU, tidak sedikit penggemar sepakbola yang membencinya. Di atas lapangan, serta yang sering digambarkan media, Cantona adalah sosok yang congkak dan angkuh. Ia pun bermain dengan penuh tempramen. Tentu, salah satu hal yang kita ingat dari Cantona adalah tendangan kungfu-nya, yang ia anggap sebagai momen terbaiknya sampai saat ini.
Setelah pensiun sebagai pesepakbola, Cantona mulai banyak bicara. Ia menjabarkan berbagai fenomena berdasarkan sudut pandanganya. Salah satunya adalah saat resesi yang melanda dunia pada 2008-2010. Ia membuat kampanye yang bertajuk “Real Revolution”; Revolusi yang betulan.
“Revolusi amat mudah dilakukan saat ini. Apa itu sistem? Sistem dibangun atas kekuatan bank. Jadi, sistem harus dihancurkan lewat bank. Sebuah revolusi yang betulan,” kata Cantona.
Cantona pun telah lama dikenal sebagai salah seorang pemikir di sepakbola. Ucapan-ucapannya menjadi pembahasan karena dituturkan dengan tidak langsung ke pokok persoalan. Siapa yang tidak tersenyum saat mendengar ia bicara seperti ini, “Saya tidak bertanding melawan sebuah tim. Saya bertanding melawan pikiran akan kekalahan.”
Ada banyak ucapan Cantona yang membuat pembacanya berpikir. Malah, sejumlah media sampai harus membuatkan 10 ucapan terbaik Cantona. Lewat ucapan-ucapan tersebut, masa lalu Cantona seolah terpinggirkan; terwajarkan. Kita memandang Cantona sebagai seseorang yang baru, yang lebih paham arti hidup daripada kita sendiri.
[caption id="attachment_193982" align="aligncenter" width="970"] Socrates dengan kostum Corinthians dan tulisan "Democracia" di atas nomor punggung. Tulisan tersebut merupakan salah satu bentuk protes terhadap rezim militer Brasil.[/caption]
Soal perjuangan melawan kekuasaan, hampir sulit untuk melupakan nama Socrates. Saat ia meninggal pada 2011 silam, banyak orbituari yang membahas apa yang pernah ia lakukan, untuk menegakkan demokrasi di tanah Brasil.
Dalam tulisannya jelang Piala Dunia 2014, Pemimpin Redaksi Pandit Football, Zen RS, menyoroti soal perjuangan Socrates dengan Diego Armando Maradona. Nama terakhir menato tubuhnya dengan wajah Fidel Castro dan Che Guevara. Kedua nama tersebut merupakan simbol perlawanan Kuba terhadap kelompok barat. Namun, jika dibandingkan, Zen menulis seperti ini,
"Itulah sebabnya, di hadapan riwayat Socrates yang seperti ini, Maradona yang men-tattoo tubuhnya dengan gambar Che Guevara dan Fidel Castro rasanya lebih mirip seorang anak muda kasmaran yang merajah tubuhnya dengan wajah pacarnya di sekolah."
Apa yang diungkapkan Zen tak lain karena gambar Guevara dan Castro di tubuh Maradona tak lebih dari sekadar gambar. Padahal, dua gambar tersebut identik dengan perjuangan kelas dalam melawan kekuasaan. Di sisi lain, Maradona tidak demikian. Ia hidup dalam kemewahan, sembari merajam tubuhnya agar terlihat keren dan kekinian.
Penyelenggaraan Piala Dunia 2014 mendapatkan perlawanan dari masyarakat Brasil. Brasil yang negeri sepakbola itu, justru menolak warga asing berpesta pora, tetapi negerinya sendiri masih berada dalam kesusahan. Socrates memang telah mati, tetapi idenya tidak; seperti kata Alan Moore, dalam V for Vendetta-nya yang termahsyur: "Di balik topeng ini ada sesuatu yang lebih dari sekadar daging. Di dalam topeng ini ada sebuah ide, dan ide itu tahan peluru."
***
Di Hogwarts, Profesor Snape, terbaring kaku. Serangan ular Voldemort, Nagini, membuatnya tak berdaya. Setelah memberikan air matanya kepada Harry, Snape pun lega. Ia memandang wajah Harry sembari mengucapkan kata-kata terakhirnya, “Kau memiliki mata ibumu.” Dalam beberapa jam, pandangan Harry kepada Snape berubah. Ia tahu kalau apa yang diucapkan Snape soal ayahnya adalah hal yang benar. Snape adalah orang yang melindungi ibu Harry, Lily, sejak ia kecil hingga akhir hayatnya. "Lily, after all this time?" | "Always!"