Ketua umum PSSI, Edy Rahmayadi, melarang Evan Dimas Darmono dan Ilham Udin Armaiyn bermain di Malaysia. Mereka baru saja dikontrak oleh kesebelasan asal Malaysia, Selangor FA. Edy khawatir nantinya permainan keduanya terbaca oleh para pemain Malaysia yang memperkuat timnasnya.
Kekhawatiran ini bisa jadi berlebihan. Logika kelirunya adalah jika para pemain, manajer, dan penonton di Malaysia bisa memata-matai permainan Evan dan Ilham Udin karena mereka bermain di sana.
Namun, narasi dari skenario di atas adalah kekhawatiran dari banyak orang Malaysia karena melihat dua pemain Indonesia. Padahal jika dibalik, justru sebenarnya Evan Dimas dan Ilham Udin adalah dua pemain Indonesia yang melihat banyak orang dan pemain Malaysia. Jadi, sebenarnya siapa yang memata-matai siapa?
“Kalau mata duitan, ya, repot juga kita. Gak ada jiwa nasionalisme. Nanti akan saya kumpulkan segera,” kata Edy, juga mengomentari soal kondisi ekonomi, dikutip dari Indosport.
Pernyataan ini juga terkesan menyalahkan niat seseorang untuk bekerja dan mencari uang. Padahal jika dilarang, bisa jadi yang melarang sudah melanggar hak asasi manusia. Lagipula tidak ada hubungannya pemain yang bekerja di luar negaranya adalah mereka yang tidak nasionalis.
Memahami pernyataan Edy dari perspektif TNI
Dalam pernyataan terbarunya di tvOne, Edy langsung mencontohkan Ilija Spasojevic yang dinaturalisasi menjadi Warga Negara Indonesia (ini berarti Spaso tidak nasionalis terhadap negaranya sebelumnya, Montenegro). Ada baiknya kamu melihat rekaman wawancara Edy di bawah ini.
https://www.youtube.com/watch?v=jVuwKJy_BUw
Ada dua hal yang ia tekankan, yaitu nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) dan finansial. “Masalah tekad, jiwa juang, itu tidak boleh dibatasi. Nyawa pun harus ia berikan untuk bangsa ini,” katanya.
Pernyataan di atas tentu menunjukkan hal yang berkaitan jika tidak diaplikasikan di sepakbola; di TNI (Tentara Nasional Indonesia) misalnya. Kita sebetulnya bisa mewajarkan pernyataan Edy jika kita meninjaunya dari sudut pandangnya sebagai Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat.
Namun, ini tidak lantas membenarkan keseluruhan pernyataannya, karena bagaimanapun, pemain sepakbola bukan lah TNI... kecuali mungkin para pemain PS TNI... mungkin, ya.
Kemudian Edy juga mempertanyakan jika pemain-pemain Indonesia yang bermain di Malaysia, ketika kembali, mereka tidak lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan Edy ini, ada beberapa pemain Indonesia yang pernah berkiprah di Malaysia.
Beberapa pemain itu adalah Elie Aiboy, Ilham Jayakesuma, Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Kurniawan Dwi Yulianto, Budi Sudarsono, Hamka Hamza, Patrich Wanggai, Dedi Kusnandar, dan yang terakhir, juga di Selangor, adalah Andik Vermansyah. Spasojevic bahkan juga sempat bermain di Malaysia sebelum ia dikontrak oleh Bhayangkara FC di tahun ini.
Mereka memang pemain yang sedang dalam masa puncak kariernya ketika pindah ke Malaysia, sehingga ketika mereka kembali ke Indonesia mungkin mereka akan kelihatan seperti biasa saja. Jadi, pernyataan Edy ada benarnya jika kita melihat rekam jejak di atas.
Alasan pemain Indonesia berkarier di Malaysia
Akan tetapi selain uang, ada satu faktor yang membuat para pemain Indonesia tertarik berkompetisi di negara lain di Asia Tenggara, terutama Malaysia. Kita bisa melihat salah satu kesebelasan Malaysia, Johor Darul Takzim, pernah menjuarai Piala AFC 2015. Mereka juga menjadi semi-finalis pada 2016 dan berhasil mengangkat nama Malaysia di Benua Asia.
Hal di atas membuat kita sadar Liga Indonesia sedang ketinggalan dengan Liga Malaysia. Timnas Indonesia boleh saja unggul peringkat FIFA (per Desember 2017), yaitu 154 berbanding dengan Malaysia di posisi 174. Namun dari peringkat liga yang dirilis secara berkala oleh AFC, Liga Malaysia berada di peringkat ke-13 di Asia, sementara Indonesia di peringkat ke-24.
Di Asia Tenggara, Liga Indonesia (peringkat ke-24) bukan saja ketinggalan oleh Liga Malaysia (13), tetapi juga oleh Liga Australia (8), Thailand (10), Vietnam (17), Filipina (21), dan Singapura (23).
Kualitas liga ini yang menjadi salah satu sorotan. Sementara di Indonesia, regulasi saja bisa berubah-ubah. Akan tetapi, Edy menyangkal. “Regulasi tidak berubah, tapi kepentingan timnas kita wadahi di klub ini. Pembinaan-pembinaan ini ada di klub,” dalihnya.
Lanjutan dari halaman sebelumnya
Edy Rahmayadi berkata jika aturan U23 sudah berkontribusi pada kemajuan Liga Indonesia. Seperti yang kita tahu, PT Liga Indonesia Baru yang sempat menerapkan aturan pemakaian pemain U23 malah menghapus aturan tersebut di tengah liga, ketika SEA Games sedang berlangsung. Hal ini membuat semua kesebelasan di Liga 1 menjadi korban, sementara penampilan timnas juga tidak lantas menanjak.
Menurut penelitian, banyak hal positif jika pemain sepakbola bermain di luar negeri
Sepakbola adalah permainan global. Hal ini membuat banyak pemain berpindah-pindah kesebelasan, dan bahkan pindah ke luar negara asal mereka. Sudah banyak penelitian mengenai globalisasi sepakbola dan efeknya terhadap permainan itu sendiri.
Jika Edy mengatakan bahwa pemain yang bermain di luar negaranya tidak nasionalis, faktanya banyak pemain yang bermain di luar negeri bukan karena alasan ini, melainkan karena ini sudah menjadi kebutuhan mereka dan juga sepakbola secara umumb.
Peneliti dari University of Ulster menunjukkan jika para pemain Ghana bisa tersebar ke seluruh Afrika Barat, Eropa, dan Asia, untuk selanjutnya menguatkan timnas mereka dari segi peringkat FIFA, bermain di tiga Piala Dunia berturut-turut (2006, 2010, dan 2014), dan menjadi runner-up Piala Afrika (empat kali sejak penelitian dilakukan).
Sementara itu, penelitian dari University of Bangor menunjukkan jika persebaran pemain-pemain bertalenta dari Afrika, Amerika Latin, dan Amerika Tengah bisa terjadi karena mereka membutuhkan kompetisi yang lebih baik untuk meningkatkan, bukan hanya kualitas permainan mereka dan tim nasional, tetapi juga kondisi ekonomi di negara merekad.
Kalau kita merasa sangsi dengan dua penelitian di atas yang mengambil contoh negara-negara dengan budaya sepakbola lebih baik daripada Indonesia, kita bisa mengamati penelitian lainnya dari University of Leuven. Mereka menyimpulkan jika penampilan pemain tingkat nasional bisa meningkat pesat ketika mendapatkan dukungan kuat untuk bermain di luar negeri, terutama bagi negara-negara yang kualitas sepakbolanya masih rendaha. Kecuali kita merasa Indonesia tidak memiliki kualitas sepakbola yang rendah.
Hal ini terjadi karena perpindahan pemain ke kesebelasan asing membuat pemain meningkatkan pola permainan yang berbeda, sehingga bisa beradaptasi kepada banyak skenario di dalam maupun di luar lapangan. Pada akhirnya mereka bisa meningkatkan kualitas liga sepakbola yang bersangkutan dan juga timnas mereka masing-masing.
Terakhir, soal nasionalisme, kebetulan sekali sebuah penelitian dari Queen’s University Belfast justru menunjukkan jika perpindahan pemain, peraturan (baik yang membatasi maupun yang tidak membatasi) perekrutan pemain dan pelatih asing, dan kepemilikan kesebelasan tidak berdampak kepada nasionalisme para pelaku sepakbola, termasuk penonton, karena efek globalisasi lebih besar dan lebih dibutuhkan bagi sepakbola untuk berkembangc.
Keempat penelitian di atas malah menunjukkan sangat baik jika pemain sepakbola bermain di negara lain. Misalnya pemain Indonesia, maka akan sangat bagus bagi perkembangan negara dan regional Asia Tenggara jika mereka mampu tampil di liga selain liga negara mereka sendiri.
Konkretnya untuk para pemain Indonesia, mereka jadi mengetahui atmosfer sepakbola di luar, terutama Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti apa. Jadi jika nanti para pemain bertemu di Piala AFF, SEA Games, Asian Games, Piala Asia, atau turnamen lainnya, mereka tidak akan kaget, karena mereka sudah merasakannya sendiri.
Respons pihak Malaysia serta Evan Dimas dan Ilham Udin
Bagaimanapun, Edy Rahmayadi sudah menunjukkan pandangannya soal isu Evan Dimas dan Ilham Udin pindah ke Selangor, Malaysia. Sementara itu, Presiden Asosiasi Sepakbola Selangor juga sudah membalas pernyataan Edy tersebut.
“Ia (Edy) boleh mengatakan apa saja yang ia mau. Bagaimana bisa tampil di luar negara dan memperoleh pendapatan lebih tinggi dianggap tidak patriotik?” kata Presiden Selangor, Datuk Seri Subahan Kamal, dikutip dari Berita Harian.
Subahan menyatakan bahwa ia tidak bisa melakukan pembatalan transfer. “Itu (pembatalan transfer) tidak mungkin terjadi karena kami memiliki kontrak bertanda tangan dan stempel dari kedua pemain tersebut. Kami juga sudah melakukan pembayaran kepada kedua pemain tersebut,” kata Subahan.
Kemudian Sekjen Asosiasi Sepakbola Malaysia (FAM), Datuk Hamidin Mohd Amin, juga angkat bicara. “PSSI menghubungi saya untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Saya diberi tahu [pernyataan] itu lebih kepada semacam masukan ketimbang larangan pemain berkiprah ke Malaysia. PSSI berhak khawatir karena ekspektasi terhadap timnas di Asian Games sangat tinggi,” ujar Sekjen FAM, Datuk Hamidin Mohd Amin, dikutip dari Harian Metro.
“Apapun itu, PSSI hanya menasihati pemain dan tidak mencegah pemain untuk hijrah ke Malaysia. Pemain punya hak untuk menentukan langkah mereka,” lanjutnya.
Dari sini, kita harus memahami jika Edy Rahmayadi hanya khawatir, meski seharusnya ia tidak perlu terlalu berlebihan, apalagi sampai membawa-bawa nasionalisme.
Padahal jika alasannya berbeda dan lebih masuk akal, misalnya khawatir Evan dan Ilham Udin repot ketika bergabung di pelatnas, kita mungkin bisa lebih menerimanya. Hal tersebut bisa saja menjadi kekhawatiran karena mereka berdua harus berkoordinasi lebih intens dan menurut aturan FIFA kesebelasan hanya bisa melepas pemain untuk timnas negaranya di jeda internasional.
Kedua pemain tersebut sebenarnya sudah berkomentar. “Selangor tidak menyadari apa yang dikatakan Edy, bahkan jika mereka melakukannya, itu tidak masalah. Saya yakin Selangor akan memberikan izin untuk kami membela tim nasional,” ujar Evan, dilansir dari New Straits Times.
“Saya tidak ingin berkomentar. Pastinya saya akan hadir saat dipanggil tim nasional, saya selalu siap,” kata Ilham Udin. Jadi, faktor bergabung dengan timnas seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.
Nasinalisme semu
Kenapa kita bangga menjadi warga negara Indonesia dan kenapa kita harus memiliki sikap nasionalisme? Narasi yang umumnya muncul ada tiga, yaitu karena Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, Sumber Daya Manusia (SDM) yang membanggakan, dan kekayaan kebudayaan.
Pemain sepakbola masuk ke kategori SDM. Tapi kebanyakan argumen soal kita yang bisa membanggakan SDM adalah jika mereka sukses di luar Indonesia, misalnya ada pengusaha sukses asal Indonesia di Amerika Serikat, ilmuwan Indonesia sukses di Jerman, fashion designer Indonesia sukses di Amerika Serikat, salah satu orang terkaya di Indonesia memiliki saham di kesebelasan besar di Italia, dll.
Dalam sepakbola lebih-lebih, ada pemain yang diincar kesebelasan Spanyol saja sudah jadi topik yang ramai diperbincangkan, meski pada akhirnya pemain tersebut tidak jadi bergabung.
Hal ini merupakan ciri-ciri rendah diri. Masalahnya, jika argumen seperti ini yang dikedepankan, apa tujuannya? Apakah untuk menginspirasi agar SDM mau bekerja dan sukses di luar Indonesia? Seperti TKI misalnya.
Lantas jika pemain sepakbola Indonesia ingin berkarier di luar Indonesia dianggap tidak nasionalis, saya rasa ini adalah logika yang keliru. Apa jadinya komentar kita terhadap para TKI atau para ekspatriat?
Dari sini jelas, kenapa kita bangga dengan Indonesia. Karena kita menjadikan bangsa lain sebagai patokannya. Kita butuh pengakuan bangsa lain, apalagi pengakuan dari bangsa yang lebih maju. Akan menggelikan jika isu ini menjadi ramai “hanya” karena ada pemain Indonesia yang bermain di Malaysia.
Jadi, Malaysia itu lebih maju dari Indonesia? Sayangnya, dari tadi bukan itu pertanyaannya.
Sumber gambar fitur: PSSI
Referensi jurnal penelitian:
a. Berlinschi, R., Schokkaert, J., Swinnen, J. (2012) When drains and gains coincide: Migration and international football performance. Labour Economics, Vol. 21, April 2013, Pages 1-14.
b. Darby, P. (2013) Moving players, traversing perspectives: Global value chains, production networks and Ghanaian football labour migration, Geoforum, 50 (2013) 43–53.
c. Penn, R. (2013) Football, nationalism and globalisation: A comparison of English and Italian football between 1930 and 2010. European Journal for Sport and Society, Vol. 10, Iss. 4, 2013.
d. Vasilakis, C. (2017) Does talent migration increase inequality? A quantitative assessment in football labour market. Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 85, December 2017, Pages 150-166.
Diakses dari laboratorium sains olahraga, KK Ilmu Keolahragaan, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung.