Potret Minimnya Kuantitas dan Kualitas Pelatih Indonesia

Potret Minimnya Kuantitas dan Kualitas Pelatih Indonesia
Font size:

Setiap menyambut musim baru Liga Indonesia, ada satu topik yang selalu menarik jadi obrolan warung kopi di kalangan pencinta sepak bola nasional, yaitu soal pelatih lokal. Bahasan ini tak pernah basi dan kerap membuat kita mengerutkan dahi. Bagaimana tidak, bicara soal pelatih lokal, trennya memang terus merosot, setidaknya dalam lima musim terakhir.

Pada awal Super League 2025/2026 saja, Hendri Susilo di Malut United jadi satu-satunya yang menantang dominasi pelatih asing. Sekecil itukah level kepercayaan para pemilik klub terhadap pelatih dalam negeri? Jangan-jangan, memang jumlahnya saja yang terlalu sedikit?

Jika bicara kuantitas, Indonesia seolah tak pernah kehabisan "lapangan" untuk para pelatih. Dari Sabang sampai Merauke, menjamurnya sekolah sepak bola (SSB), akademi, hingga klub-klub amatir dan profesional menciptakan kebutuhan yang masif akan juru taktik. Di setiap sudut kota, kita bisa menemukan anak-anak berlatih dengan seragam kebanggaan, dan di samping mereka, seorang pelatih dengan peluit dan papan taktiknya.

Data dari PSSI menunjukkan peningkatan jumlah pelatih berlisensi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2024, Indonesia memiliki 14.497 pelatih sepak bola aktif yang terdaftar di seluruh penjuru negeri. Angka ini mencerminkan basis yang luas dari individu yang terlibat dalam pembinaan sepak bola.

Namun, ketika dilihat lebih dalam pada distribusi berdasarkan jenjang lisensi, gambaran yang berbeda muncul. Sumber lain bahkan menyebutkan bahwa Indonesia baru memiliki 20 pelatih berlisensi AFC Pro pada 2019. Meskipun angka ini kemudian meningkat menjadi 35 pada 2024. Perbedaan angka ini kemungkinan merujuk pada total lisensi AFC (A dan Pro) atau hanya AFC Pro, mengingat kelangkaan di level tertinggi ini.

Dalam perkembangan positif, PSSI mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah peserta kursus Lisensi D Nasional pada 2024, dengan 2.261 peserta, yang merupakan angka tertinggi dalam enam tahun terakhir. Ini mengindikasikan adanya upaya untuk memperkuat fondasi kepelatihan di tingkat akar rumput.

Hendri Susilo Malut United - Tribun Ternate

Namun, perbandingan kuantitas dengan negara lain, misalnya Jepang, menyoroti defisit yang besar. Arya Sinulingga, anggota Komite Eksekutif PSSI, pernah mengklaim, Jepang memiliki total 93.000 pelatih, sementara Indonesia hanya 12.000.

Disparitas ini semakin mencolok di level akar rumput: Jepang punya 53.000 pelatih berlisensi D, sedangkan Indonesia hanya 8.000. Bahkan, pelatih berlisensi AFC Pro di Jepang, yang jumlahnya mencapai ratusan, membuat banyak dari mereka mencari pekerjaan di akar rumput, seperti sekolah atau universitas.

Data ini menunjukkan adanya hambatan kualitas yang signifikan. Jumlah pelatih aktif yang mencapai belasan ribu pada awalnya terlihat menjanjikan. Namun, ketika angka ini dibandingkan dengan jumlah pelatih berlisensi AFC Pro yang sangat minim, sebuah kendala kritis dalam kualitas menjadi sangat jelas.

Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa meski banyak individu terlibat dalam kepelatihan, sangat sedikit memiliki kualifikasi lanjutan yang diakui secara internasional. Padahal, ini sangat penting dalam pengembangan pemain elite dan pengelolaan tim profesional. Secara langsung juga bakal memengaruhi kecanggihan pendekatan taktis, jalur pengembangan pemain, dan pada akhirnya, daya saing sepak bola Indonesia di level yang lebih tinggi.

Fenomena ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, kebutuhan pelatih sangat tinggi, terutama di level akar rumput. Di sisi lain, jumlah pelatih dengan kualifikasi mumpuni untuk level profesional masih sangat terbatas.

Banyak tim di kompetisi semiprofesional atau bahkan di level junior terpaksa menggunakan jasa pelatih dengan lisensi di bawah standar, atau bahkan tanpa lisensi sama sekali. Bukan karena mereka tidak kompeten, tapi karena keterbatasan akses, biaya, dan waktu untuk menempuh pendidikan kepelatihan yang lebih tinggi.

Persyaratan yang ketat untuk lisensi tingkat tinggi, terutama kewajiban pengalaman bertahun-tahun dan biaya finansial yang substansial untuk lisensi tersebut menjadi penghalang. Bagaimana tidak, jika untuk mendapatkan lisensi A AFC saja butuh sekitar Rp25 juta - Rp35 juta, selisih dengan biaya lisensi AFC Pro jauh lebih mahal, bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Antara Pengalaman dan Ilmu Sepak Bola Modern

Pada akhirnya, fakta-fakta itu menjadi pemicu permasalahan yang lebih kompleks: kualitas pelatih. Kuantitas yang melimpah belum tentu berbanding lurus dengan kualitas. Pelatih sepak bola di Indonesia bisa dibilang terbagi dalam beberapa kategori. Ada "pelatih otodidak" yang mengandalkan pengalaman bermain dan insting lapangan, ada pula "pelatih akademis" yang mengedepankan ilmu kepelatihan modern.

Tantangan utama dalam peningkatan kualitas adalah minimnya pendidikan berkelanjutan dan adaptasi terhadap perkembangan sepak bola global. Banyak pelatih, terutama di daerah, kesulitan mengakses kursus lisensi lanjutan karena biaya yang mahal dan lokasinya yang terpusat di kota-kota besar. Akibatnya, metode latihan yang diterapkan seringkali masih konvensional, kurang variatif, dan belum sepenuhnya mengadopsi pendekatan ilmiah seperti analisis data, periodisasi latihan, atau psikologi olahraga.

Misalnya, kita masih sering melihat latihan fisik yang monoton tanpa bola, atau instruksi yang terlalu umum tanpa detail taktik yang spesifik. Padahal, sepak bola modern menuntut pelatih untuk menjadi ahli multidisiplin: taktik, fisik, mental, gizi, hingga analisis video. Kesenjangan ini terlihat jelas ketika tim-tim Indonesia berhadapan dengan lawan dari negara-negara yang memiliki sistem pengembangan pelatih yang lebih maju.

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Generasi pelatih muda berlisensi tinggi mulai bermunculan. Sebut saja Imran Nahumarury, Kurniawan Dwi Yulianto, Rudy Eka Priyambada, dan lainnya. Banyak di antaranya adalah mantan pemain profesional yang sadar akan pentingnya ilmu kepelatihan. Mereka aktif mencari informasi, mengikuti webinar internasional, dan berani mengadopsi metode latihan yang lebih segar. PSSI sendiri harus terus berupaya mengadakan kursus lisensi secara berkala, dengan jangkauan yang masih perlu diperluas.

Fakta menarik lainnya adalah tekanan yang dihadapi para pelatih. Selain tuntutan hasil, mereka juga harus menghadapi intervensi dari manajemen, orang tua pemain (terutama di level usia muda), hingga suporter. Stabilitas kontrak pun seringkali menjadi isu, membuat profesi pelatih terasa rentan dan kurang menjanjikan secara finansial, kecuali bagi segelintir nama besar. Hal ini tentu memengaruhi motivasi dan fokus mereka dalam mengembangkan diri.

PSSI National Coaching Conference 2025  OSSI

Kondisi pelatih ini pada akhirnya memiliki dampak langsung pada kualitas pemain yang dihasilkan. Jika pemain sejak usia dini tidak mendapatkan bimbingan dari pelatih berkualitas yang memahami tahapan perkembangan usia, taktik dasar, dan aspek mental, potensi mereka tidak akan tergali maksimal. Ini akan berimbas pada minimnya talenta yang siap bersaing di level profesional, bahkan hingga tim nasional.

Mimpi Indonesia untuk berbicara banyak di kancah internasional akan tetap menjadi angan-angan jika fondasi kepelatihan di level akar rumput hingga profesional tidak diperkuat. Investasi pada infrastruktur dan kompetisi memang penting, tetapi investasi pada sumber daya manusia, khususnya pelatih, adalah kunci yang tak bisa ditawar.

Melihat potret ini, sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, PSSI dan pihak terkait perlu memperbanyak kursus lisensi dengan biaya yang lebih terjangkau dan jangkauan yang lebih luas, termasuk ke daerah-daerah terpencil.

Kedua, klub dan akademi harus berkomitmen untuk mempekerjakan pelatih berlisensi sesuai standar, bukan hanya berdasarkan kedekatan atau popularitas. Ketiga, para pelatih harus memiliki kemauan kuat untuk terus belajar, beradaptasi, dan berinovasi.

Profesi pelatih sepak bola di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan: antara kebutuhan yang besar dan kualitas yang masih perlu ditingkatkan. Dengan sinergi dari semua pihak, harapan untuk melihat lebih banyak "mastermind" di bangku cadangan, yang mampu melahirkan generasi emas sepak bola Indonesia, bukanlah mimpi belaka.

Ini pekerjaan rumah untuk PSSI dan para stakeholder. Jadi, jangan hanya terus berteriak bahwa fokus PSSI hanya ke tim nasional. Banyak hal yang harus mereka urusi, termasuk mendorong dan memfasilitasi peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di sepak bola, tak terkecuali pelatih.

Transfer Berkelas dan Taktis Jordi Amat untuk Mauricio Souza
Artikel sebelumnya Transfer Berkelas dan Taktis Jordi Amat untuk Mauricio Souza
Artikel selanjutnya
Artikel Terkait