Kapan Stadion di Indonesia Bisa Senyaman di Australia?

Kapan Stadion di Indonesia Bisa Senyaman di Australia?
Font size:

Ditulis oleh Aldhi Febrianto

Awal Oktober 2015 lalu, saya mendapatkan kesempatan langka: Menjalani perjalanan wisata ke negeri tetangga kita, Australia. Kota tujuan saya adalah Sydney, kota terbesar di Negeri Kangguru. Dari sekian banyak tujuan wisata di kota tersebut, sebagai penggemar sepakbola wajib rasanya untuk menonton langsung pertandingan sepakbola di sana. Kebetulan saat saya datang, Hyundai A-League baru saja akan menggelar pertandingan pertamanya. Dan beruntungnya pula, partai pembuka dari Sydney FC, kesebelasan sepakbola terbesar di Kota Sydney, dihelat di kandang, yang berarti tidak ada yang menghalangi saya untuk datang ke Allianz Stadium, kandang Sydney FC,  untuk ‘mendukung’ The Sky Blues. Sebelum bercerita lebih jauh tentang pengalaman duduk di tribun Allianz Stadium, saya akan sedikit membahas tentang Liga Australia. Hyundai A-League adalah liga sepakbola profesional milik Australia yang ‘baru’ dihelat tahun 2005. Musim ini adalah musim ke-11 dari A League. Juara terbanyak dari A-League ini adalah Brisbane Roar dan Melbourne Victory masing-masing dengan tiga gelar.  Penyelenggaraan kompetisi profesional ini tentu saja dalam rangka memajukan sepakbola Australia. Pengadaan kompetisi profesional memang membuahkan hasil yang baik seperti di Amerika Serikat dengan MLS nya dan Jepang dengan J-League nya, dan Aussie tampak ingin mengikuti jejak mereka. Sedangkan klub yang saya ‘dukung’ kali ini adalah Sydney Football Club, kesebelasan yang pernah dibobol Budi Sudarsono dan dikalahkan Persik Kediri pada Liga Champions Asia 2006 lalu. Kesebelasan dengan warna kebesaran biru muda ini sempat menyedot perhatian dunia saat merekrut Alessandro Del Piero dari Juventus pada 2012 lalu. Kedatangan Alex juga mungkin membuat Sydney FC menjadi klub Australia paling terkenal di dunia, walau prestasinya tidak terlalu mengilap. Hal yang sama pernah terjadi kepada Los Angeles Galaxy dan David Beckham-nya pada 2007 lalu. Secara keseluruhan, Del Piero jugalah yang membuat publik sepakbola dunia mulai mengenal A-league. Sayangnya saat saya datang Alex sudah tidak memperkuat Sydney FC. Saya datang ke Allianz Stadium menggunakan bus, ditemani dengan seorang roommate di Australia (special thanks to him). Memasuki kompleks stadion, bangunan pertama yang tampak adalah Stadion Kriket dan Rugby Sydney. Allianz Stadium memang berada di sebuah kompleks olahraga besar. Di dalam kompleks itu juga ada stadion kriket dan rugby yang menjadi markas Sydney Swans. Sedikit berjalan kaki, akhirnya kami sampai di gerbang Allianz Stadium. ??????????????????????????????? Suasana yang  saya jumpai saat tiba di gerbang stadion tidak sesuai dengan pengalaman saya menonton sepakbola selama ini di Indonesia. Gerbang stadion tampak seperti pop-up market yang sedang marak di Jakarta saat ini. Banyak booth sponsor yang berjualan atau berpromosi di situ. Ada pula toko official merchandise. Banyak sekali anak-anak yang bermain dengan maskot dari produk sponsor. Pemandangan yang benar-benar baru. Kami pun diberikan matchday programme oleh salah seorang staf klub. ??????????????????????????????? Pukul 18.30 waktu setempat gerbang stadion dibuka. Para penonton diperbolehkan masuk ke dalam stadion. Suasana amat tertib, kami hanya tinggal memasukkan tiket ke mesin scanner, dan gerbang loket pun membuka dengan sendirinya. Kami masuk ke dalam stadion dan mulai mencari kursi. Di sebelah kiri jalan, tepat di belakang tribun, banyak sekali kedai makanan, tentu saja dijual sebagai teman menonton pertandingan. Kami pun tiba di kursi kami, dengan pemandangan dari sisi lapangan. Pertama kalinya saya menonton pertandingan sepakbola di stadion tanpa lintasan lari, lapangan terasa dekat sekali! ??????????????????????????????? Pertandingan dimulai pada pukul 19.30. Tidak ada nama familiar di skuat Sydney FC. Sudah tidak ada Alex Del Piero ataupun Marc Janko. Malahan di kubu lawan, Melbourne City, ada satu nama yang cukup terkenal. Ia adalah mantan kiper Timnas Denmark dan Aston Villa, Thomas Sorensen. Melbourne City pun tidak ketinggalan ikut membawa “ultras” nya ke Sydney, yang tampil heboh dengan tabuhan drum dan flare. Sebelum pertandingan dimulai, announcer stadion pun menyebutkan satu-persatu nama pemain, dan foto beserta sponsor pribadi pemain yang disebutkan akan muncul di layar besar stadion. Layar besar ini juga ‘menyiarkan’ pertandingan dari sudut pandang kamera broadcasting. Melbourne City tampil mengejutkan dengan mencetak angka terlebih dahulu. Memanfaatkan kesalahan dari Jacques Faty (cover dari matchday programme,  satu dari sedikit pemain Sydney FC yang saya hafalkan namanya), pemain Melbourne City dengan leluasa menembak bola ke jala gawang tuan rumah. Tuan rumah tidak tinggal diam. Kubu Graham Arnold -mantan pelatih timnas Australia - ini menyamakan kedudukan di akhir babak pertama melalui Filip Holosko, pemain internasional Slovakia. Kedudukan satu-satu pun menutup babak pertama. ??????????????????????????????? Saat jeda turun minum, di lapangan diadakan atraksi yang melibatkan suporter. Semacam kuis menendang bola ke lubang gawang yang diadakan oleh sponsor. Para penonton pun beranjak meninggalkan kursinya, baik untuk ke kamar kecil maupun untuk membeli makanan. bersambung ke halaman berkutnya Akses keluar masuk tribun memang mudah. Hebatnya pula, tidak terjadi antrian ekstrim di kamar kecil, karena kamar kecilnya sangat besar dan bisa menampung sampai ratusan orang. Saat jeda pun diumumkan bahwa penonton yang hadir di malam itu berjumlah 17.000 orang lebih. Memang saat itu stadion tidak penuh, namun lebih dari setengah kapasitas stadion terisi. Satu pemandangan menarik terjadi saat turun minum itu: Bapak-bapak yang duduk di sebelah saya pergi mengantar anaknya ke kamar kecil. Bapak itu meninggalkan begitu saja tas miliknya (dalam keadaan terbuka) dan makanan miliknya di kursi penonton. Sama sekali tidak tampak perasaan takut barang bawaannya akan dicuri oleh orang lain. Di babak kedua, kedua kesebelasan tidak berhasil menambah angka. Thomas Sorensen melakukan beberapa penyelamatan hebat yang membuat kesebelasan tamu bisa membawa pulang satu angka. Penonton pun mulai beranjak dari kursinya satu-persatu untuk meninggalkan stadion. Mereka masih meninggalkan sampah, walau tidak banyak. Saya yang merupakan turis norak tentu tidak melewatkan kesempatan ini untuk berfoto-foto di dekat lapangan. Sungguh menyenangkan pergi menonton sepakbola dengan suasana yang damai seperti ini. Saya cukup sedih bila membandingkan saat saya menonton sepakbola di negeri saya (walaupun bukan pertandingan liga) di mana sarana-prasarana stadion tampak kurang terurus dan dihargai. Sesungguhnya sepakbola baru saja mulai populer di Australia, tapi mereka tampak benar-benar mengurusnya. Sedangkan sepakbola yang merupakan olahraga nomor satu di Indonesia, masih belum bisa menghadirkan kenyamanan bagi penontonnya, terlepas dari jumlah penonton dan antusiasme suporternya. Kira-kira, kapan di Indonesia bisa menonton di stadion dengan nyaman seperti di Australia, ya? *foto merupakan koleksi pribadi penulis
Penulis beredar di dunia maya dengan akun twiter @aldhi_febrianto
Drama à la Agüero di Tahun 1981
Artikel sebelumnya Drama à la Agüero di Tahun 1981
Membantah Anggapan Umum dengan Bukti, Bersama Para Alumni
Artikel selanjutnya Membantah Anggapan Umum dengan Bukti, Bersama Para Alumni
Artikel Terkait