Menendang di Tanah Gersang

Menendang di Tanah Gersang
Font size:

Apa yang terbesit di pikiran pembaca ketika mendengar kata "Sulawesi Tenggara"? Dari segi pariwisata kemungkinan jawabannya Pulau Wakatobi, salah satu destinasi wisata bahari yang disukai para pelancong untuk menikmati snorkling. Tak mau kalah, IKIP (Indonesia Konawe Industrial Park) dan IPIP (Indonesia Pomalaa Industrial Park) juga menjadi salah satu destinasi idaman bagi para pencari nafkah dari berbagai daerah di Indonesia untuk menjadi seorang penambang. Bagaimana dengan sepakbola Sulawesi Tenggara? Pembaca bisa melihat judul di artikel ini sudah mewakili.

Se-fanatik apapun pembaca terhadap sepakbola Indonesia, penulis yakin pembaca tidak bisa menyebutkan salah satu klub sepakbola yang lahir dari bumi anoa. Jangankan lahir, berprestasi saja masih pikir-pikir, dimana letak prestasinya sepakbola Sulawesi Tenggara ini? Jika klub sepak bolanya tidak ada, penulis beralih saja ke pelaku pesepakbolanya. Hanya ada satu nama pelakunya, ia adalah Saddil Ramdani. Pemuda yang berasal dari Pulau Muna ini tidak asing lagi di kalangan pecinta sepakbola tanah air, namanya cukup beken sebab pemuda yang lahir pada tanggal 2 Januari 1999 sedang abroad ke Malaysia bersama Sabah FC sejak tahun 2021 sampai 2025, hebat.

Pertanyaan saya, siapa putra daerah Sulawesi Tenggara yang sepadan sama Saddil Ramdani? Jelas tidak ada. Pertanyaan berikutnya, Apakah ada putra daerah Sulawesi Tenggara yang mau mengikuti jejak seperti Saddil Ramdani? Jawabannya tetap sama. Para pecinta sepakbola Indonesia pasti tidak tahu nama-nama seperti PS Wonua Bombana, Morosi Utama FC, MZF - UHO FC, PS Padangguni, PS Konut Putra, Tiger Sultra FC, Buteng United, PS Satria Wakumoro, Tongkuno Raya FC, PS Kolut, PS Mubar, dkk. Apakah layak dibanggakan? Terserah pembaca. Prestasi yang pernah diraih oleh klub-klub di Sulawesi Tenggara antara lain meliputi juara liga 3 Sultra 2023 oleh UHO FC, juara liga 3 Sultra 2019 jatuh kepada PS Wonua Bombana, dan lolos putaran 16 besar piala Soeratin U-17 bersama PS Kolut.

Sebuah klub yang minim fasilitas, bahkan nihil suporter hanya bermain dari liga regional saja mau dibanggakan? Bermain dari kecamatan satu ke kecamatan lainnya, pemain dan staff iring-iringan naik sepeda motor plat DT, lapangan tanpa tribun. Memang seru, tapi bukan idaman. Saking uniknya, format liga 3 Sultra musim 2023 lalu, juara liga bisa langsung melaju ke putaran nasional tanpa melewati putaran regional. Ketika ada kisah lain bernama Rizky Ridho yang memulai karirnya dari klub amatir hingga sukses mengharumkan nama bangsa, di sisi lain klub sepakbola Sulawesi Tenggara masih tetap amatir dan namanya tidak harum.

Mungkin sedikit terbesit di pikiran pembaca persepakbolaan Sulawesi hanya dihiasi oleh PSM Makassar yang menari-nari di pentas AFC Cup atau Asean Championship, kenangan indah Persma Manado, kejayaan seumur jagung dua klub asal Sulawesi Utara, Persibom Bolaang Mongondow dan Persmin Minahasa tahun 2005 sampai  2007, rivalitas Persigo dengan Persidago, legenda hidup Sriwijaya FC, Ferry Rotinsulu, serta terakhir racikan ramuan (alm) Benny Selvianus Dollo.

Jangankan di mata kita, di mata media sosial saja sepakbola Sulawesi Tenggara tidak pernah FYP, sangat tidak menggoda, tidak menggiurkan sama sekali. Nol. Bahkan mirisnya lagi, Saddil Ramdani saja tidak percaya dengan sepakbola di Sulawesi Tenggara. Saddil muda langsung memilih merantau, ia meniti karir sepakbolanya bersama Asifa Malang. Ya benar, di Jawa Timur, provinsi dengan lahan tersubur untuk persepakbolaan nasional. SSB (sekolah sepak bola) seperti Asifa Malang ini patut dicontoh dan dibangun di Sulawesi Tenggara agar bibit-bibit layaknya Saddil Ramdani bisa muncul kembali di masa depan.

Disini perlu juga peran aktif dari pemerintah daerah untuk memajukan sepakbola lokalnya dengan cara elaborasi atau melakukan studi kasus dengan pihak lain, semisal pemprov Sulawesi Tenggara studi ke Persebaya Future Lab atau mengadakan mini kompetisi untuk anak-anak taraf SD sampai SMA dengan cara mencontoh plek-ketiplek format Liga Surabaya. Penulis berasumsi bahwa mencontohi kompetisi internal Persebaya bisa dijadikan landasan awal untuk mewadahi pengembangan bakat-bakat bertalenta sepakbola di Sulawesi Tenggara serta menjadi pintu masuk bagi pemain usia muda yang fokus meniti karir di dunia sepakbola secara profesional agar kelak ke depannya, “mutiara terpendam” seperti Saddil Ramdani sangat mudah ditemukan, jika hal tersebut bisa diterapkan dan direalisasikan dengan baik.

Coba kita menilik rumput tetangga yang lebih hijau di Sulawesi Selatan jelas jauh berbeda dengan Sulawesi Tenggara. Mungkin di selatan sekarang hanya PSM yang menjadi primadona, namun kelak suatu waktu nama-nama baru muncul ke permukaan seperti Persim (Maros), Persibone (Bone) dan Persilutim (Luwu Timur) yang bisa mengganggu dominasi ayam jantan dari timur. Tidak perlu jauh-jauh, movement Persim, Persibone, dan Persilutim ini bisa dicontoh klub-klub sepakbola di Sulawesi Tenggara karena kedua klub tersebut pernah masuk ke putaran liga 3 nasional musim 2023/2024 dan kualifikasi 64 besar liga 4 Indonesia musim 2024/2025.

Apa yang dilakukan Persim, Persibone, dan Persilutim ini sudah dipersiapkan segala sesuatunya, mulai dari pemain, jajaran staf, tim manajerial, stakeholder terkait, bahkan masyarakat daerah tersebut juga ikut membantu dalam menghidupi dua klub tadi agar bisa bergerak berkompetisi dari level regional ke liga nasional. Terbukti, iklim di Sulawesi Selatan cukup subur dengan kedatangan penantang baru macam Persim, Persibone, dan Persilutim. Sedangkan di Sulawesi Tenggara masih menjadi tanah gersang bagi sepakbolanya.

Petani saja perlu modal yang besar untuk program penanaman, penyiraman, pemupukan, perawatan, pembersihan hingga sampai masa panen. Sama halnya untuk sepakbola Sulawesi Tenggara, perlu adanya pendidikan sepakbola, pembinaan sepakbola usia dini hingga remaja, mengadakan kompetisi di setiap daerah, sosialisasi bersama stakeholder, menggerakan roda dan mesin dari Askab PSSI hingga Asprov PSSI. Sulawesi Tenggara tidak melulu tentang pertambangan, bukan patokan mengais rejeki dalam tubuh kontraktor di IKIP hingga IPIP, Sulawesi Tenggara memiliki potensi besar dalam pengembangan sepakbola.

Mungkin dua buku berjudul ‘Fever Pitch’ karya Nick Hornby dan ‘Inverting the Pyramid’ karya Jonathan Wilson bisa jadi inspirasi serta media pembelajaran. Di level pertama ‘Fever Pitch’ mengajarkan obsesi sepakbola, arti sebuah identitas, dan emosional psikologis sebagai penggemar dalam perspektif sepakbola. Lanjut ke level kedua ada ‘Inverting the Pyramid’ yang menjelaskan bagaimana taktik sepakbola telah berkembang dari gaya tradisional hingga ke gaya modern, dan bagaimana perubahan-perubahan ini telah mempengaruhi hasil pertandingan dan kompetisi.

Mungkin hidup tidak selalu tentang sepakbola, tetapi dari sepakbola kita bisa memahami arti dari hidup. Maka bisa dipastikan, apabila suatu daerah tidak memiliki gairah sepakbolanya sendiri kemungkinan daerah tersebut “mati”. Penulis hanya bisa berdoa saja, suatu saat Tuhan akan mencetak Saddil jilid berikutnya di kemudian hari. Bisa jadi Saddil berikutnya melebihi jauh dari Saddil itu sendiri. 

Dimana untuk beberapa tahun kemudian Sulawesi Tenggara bisa memiliki sekolah sepakbola di setiap daerah yang “aktif” bersepakbola, serta penulis berharap diadakannya turnamen antar usia kelompok muda yang secara rutin digelar setiap bulannya serta mengadakan kompetisi internal sepakbola antar sekolah se-provinsi layaknya DBL. Sehingga dari situ Asprov dan Askab PSSI Sulawesi Tenggara sadar akan pentingnya belajar mengelola liga regional secara sustainable dan konsisten.

Tentang Penulis

Nama: Kepin Rosady

SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 35: DIFERENSIAL
Artikel sebelumnya SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 35: DIFERENSIAL
Artikel selanjutnya
Artikel Terkait