Penunggakan Gaji Sebagai Gejala Kronis Sepakbola Indonesia

Penunggakan Gaji Sebagai Gejala Kronis Sepakbola Indonesia
Font size:

Pertengahan bulan April 2025, publik sepakbola Indonesia kembali dikagetkan dengan unggahan seorang pemain asing PSIS Semarang asal Brazil yaitu, Vitinho, yang mengungkapkan secara terbuka penunggakan gaji yang dialaminya melalui media sosial instagram pribadinya. Selain itu ia juga membeberkan bahwa terdapat beberapa hal yang tidak terealisasi dari kontraknya bersama klub sepakbola asal Semarang tersebut. Ironisnya, peristiwa seperti ini tidak hanya sekali terjadi di sepakbola Indonesia, kasus serupa telah berulang kali terjadi di berbagai musim gelaran kompetisi sepakbola Indonesia.

Masih dapat kita ingat kejadian-kejadian serupa dalam jangka waktu yang belum lama berlalu. Misalnya pada tahun 2023 Persijap Jepara yang menunggak gaji pemain hingga dua musim, serta yang paling baru pada tahun 2024 kemarin Kalteng Putra yang melaporkan 23 pemainnya ke polisi lantaran mengadu pada media sosial mereka tunggakan gaji yang dialaminya. Penunggakan gaji bukan hanya soal keterlambatan administratif, melainkan cermin dari cacatnya tata kelola keuangan klub, absennya perlindungan hak-hak pemain, serta minimnya kontrol serta sanksi tegas dari regulator liga. Fenomena yang terus berlangsung tanpa solusi yang konkret, menandakan bahwa sepakbola Indonesia masih jauh dari prinsip-prinsip tata kelola keolahragaan yang baik, utamanya dalam lingkup industri.

Permasalahan tersebut merupakan masalah yang serius yang menggerogoti kredibilitas liga, menghancurkan kepercayaan publik, serta mempermalukan wajah sepakbola nasional di kancah internasional. Hal yang sangat memalukan adalah hal ini terjadi lagi saat Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, mengumandangkan ambisinya dalam memperbaiki kualitas liga. Namun nahas kualitas liga sepakbola Indonesia justru kembali tercoreng oleh persoalan lama yang kembali muncul, seperti sebuah budaya yang terus menjamur pada sepakbola Indonesia.

Penunggakan gaji bukan sebatas kendala klub yang tidak memiliki dana, melainkan adalah puncak dari cacatnya pengelolaan organisasi. Di banyak klub liga 1, prinsip transparansi serta akuntabilitas keuangan seringkali diabaikan. Manajemen klub. PSSI serta PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai salah dua yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan liga sepakbola di Indonesia, pun gagal dalam mengunci sistem agar tidak terjadi kebocoran hak-hak pemain.

Lebih parah lagi, PSIS Semarang, klub yang baru saja disorot karena kasus Vitinho, tercatat merupakan satu dari delapan klub yang memenuhi aspek lisensi klub AFC (AFC Club Licensing) yang dikeluarkan oleh PT LIB sebelum bergelarnya musim 2025/2026. Fakta tersebut mengisyaratkan dugaan kurang transparannya proses audit serta verifikasi lisensi. Bagaimana mungkin klub yang tidak mampu memenuhi kewajiban dasarnya terhadap pemain dapat dinyatakan layak dalam asesmen administrasi serta finansial? Hal ini menunjukkan bahwa sistem lisensi yang seharusnya menjadi tameng awal justru hanya sekadar formalitas belaka.

         Penunggakan gaji ini memperlihatkan bahwa meskipun regulator telah mempunyai perangkat terkait regulasi, mereka tetap gagal dalam menjalankan fungsi kontrol secara efektif. Manajemen klub sepakbola di Indonesia harus ditingkatkan secara menyeluruh, mulai dari pengelolaan keuangan, kontraktual, hingga transparansi operasional. Klub-klub yang gagal memenuhi kewajiban profesionalnya, seperti membayar gaji tepat waktu, harus diberikan sanksi tegas dan konkret, bukan sekadar teguran administratif. Tanpa adanya langkah konkret yang serius, pelanggaran demi pelanggaran akan terus dibiarkan dan dianggap normal.

         Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa perubahan mendasar dalam jajaran manajemen klub utamanya, maka ambisi menjadikan Liga Indonesia sebagai kompetisi yang berkualitas di ASEAN tak lebih dari sekadar mimpi yang tak pernah ada realisasi nyata. Sepakbola Indonesia tak bisa lagi menunda perubahan. Penggiat, penikmat serta pihak-pihak yang bertanggung jawab harus bekerja bersama demi sebuah perubahan yang nyata, serta agar kejadian yang dialami Vitinho tidak lagi menjadi banyak episode kelam yang terus berulang, menghambat mimpi besar membangun industri sepakbola nasional yang profesional serta berkelas. Perubahan bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan yang harus segera diwujudkan demi masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik lagi

Tentang Penulis

Nama: Riro Adnan

Media sosial: Riroadnans

Seorang mahasiswa yang biasa-biasa saja, yang percaya bahwa sepak bola lebih dari sekadar olahraga dan merupakan sebuah fenomena dengan segala intrik politik didalamnya. Di luar ruang kuliah dan lembaran tulisan, saya adalah orang yang percaya musim depan Manchester United tsunami tropy.

 

Wajah Arogansi dan Antikritik PSSI Dalam Sanksi Yuran Fernandes
Artikel sebelumnya Wajah Arogansi dan Antikritik PSSI Dalam Sanksi Yuran Fernandes
SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 37: KIPER DAN BEK
Artikel selanjutnya SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 37: KIPER DAN BEK
Artikel Terkait