“Bakat dan kecerdasan saja tidak cukup”. Mungkin ini adalah ungkapan yang cocok diberikan kepada seorang pesepak bola bernama Ousmane Dembele.
Dembele lahir pada 15 mei 1997 di Vernon, Prancis, terlahir dari keluarga imigran berdarah Mauritania dan Mali, dan tumbuh besar sebagai seorang muslim yang taat. Perjalanan hidup kaum imigran yang begitu berat membuat Dembele dan keluarga secara tidak langsung harus terbiasa kerja keras dan hidup mandiri.
Bicara soal fenomena imigrasi, terutama sejak masa kolonialisme berakhir, Prancis memang mulai membuka diri untuk para pendatang. Mereka mengedepankan prinsip dasar La Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen, yang mengusung persamaan hak asasi manusia.
Berkat adanya keterbukaan tersebut, banyak imigran yang datang khususnya dari benua Afrika yang ingin menetap di Prancis. Namun seiring berjalannya waktu, para imigran menjadi korban tindakan diskriminasi ras hingga kekerasan dari masyarakat asli Prancis karena dianggap sebagai ancaman.
Dalam mewujudkan integrasi di Prancis, para imigran menggunakan instrumen sepak bola untuk menjalin koneksi sosial. Hal itu pula yang berlaku kepada Dembele dan banyak contoh lainnya, yang menunjukkan eksistensinya melalui si kulit bulat.
Dembele mengawali karier sepak bolanya di Madeleine Evreux dan kemudian pindah ke Rennes Ketika berumur 17 tahun. Dia tidak hanya cepat dan terampil, tapi punya kemampuan langka: sama baiknya menggunakan kaki kanan maupun kaki kiri.
Keunikan inilah yang membuatnya unggul sekaligus pembeda dari pemain lain. Sesuatu yang bisa dia tawarkan dan sulit ditiru itu adalah investasi besar untuk talenta demi memberi keuntungan jangka panjang.
Karier Dembele bisa dibilang melejit cepat sebagai pemain muda berbakat. Dalam waktu singkat, dia sanggup naik dari level akademi hingga menuju panggung besar Eropa. Perjalanannya dari klub kecil di Prancis, menuju Borussia Dortmund pada 2016, kemudian dibeli Barcelona setahun setelahnya dengan nilai transfer yang fantastis.
Namun, perjalanannya tidak selalu mulus, mengingat karier awal bersama Barcelona ia langsung mengalami cedera hamstring serius dan menepi selama beberapa bulan. Sejak saat itu, Dembélé sering terkena cedera hamstring, paha, dan otot. Hampir setiap musim ia absen panjang karena cedera kambuhan. Dalam lima musim pertamanya di Barcelona, ia melewatkan lebih dari 100 pertandingan.
Dembele sempat mendapat kritikan soal profesionalisme karena dianggap kurang disiplin dalam menjaga kondisi fisik dan gaya hidupnya. Media Spanyol pernah melaporkan bahwa ia sering terlambat datang ke latihan dan punya pola tidur yang buruk.
Biaya transfer yang begitu mahal dan label sebagai pengganti Neymar yang pindah ke PSG pada 2017, membuat Dembele mendapat sorotan dan tekanan besar. Meski begitu, Dembele masih bisa mendapatkan momen comeback ketika tampil gemilang pada musim 2018/19 dan 2020/21. Ia mulai sering mencetak gol dan memberi assist.
Tapi, lagi-lagi drama menghiasai kariernya ketika pada 2022, muncul polemik kontrak. Agen Dembele menolak perpanjangan kontrak dengan gaji lebih rendah. Sementara, Barcelona dalam kondisi krisis finansial. Alhasil, pada 2023 ia pindah ke Paris Saint-Germain (PSG) dengan klausul pelepasan relatif murah.
Musim 2024/25 menjadi titik balik untuk Dembélé di PSG. Peran dan kepercayaan dari pelatih Luis Enrique membuat performanya, terutama produktivitas gol maupun assist, jauh lebih meningkat. Kontribusi Dembélé juga penting dalam pertandingan-besar dan kompetisi penting, termasuk Liga Champions.
Dembele Bukti Nyata Bahwa Bakat Saja Tidak Cukup
Bicara lebih lanjut soal pasang-surut karier Dembele, kita menyadari bahwa di dunia sepak bola profesional level atas, bakat saja tidaklah cukup. Banyak variabel lain yang bisa mendukung seorang pemain untuk bisa meningkat pesat secara karier atau bangkit dari keterpurukan.
Dembele, bukan cuma soal bakat. Dia pekerja keras, bermental tangguh, dan selalu tak puas untuk terus belajar. Faktanya, hal-hal itulah yang sangat dibutuhkan bakat-bakat muda untuk bisa bertahan di level atas.
Teori itu pernah disampaikan Ben Lyttleton, penulis buku Edge. Pada musim panas 2014, Guardian meluncurkan proyek tahunan bernama Next Generation. Tujuannya adalah mengidentifikasi 60 pemain terbaik dunia berusia 17 tahun atau lebih muda.
Ben Lyttleton, sebagai kontributor, mendapat tugas menyoroti pemain dari Prancis,dan ia harus menyusun daftar pendek berisi lima pemain muda dari akademi ternama di Prancis (Toulouse, Lens, Valenciennes, Rennes, dan PSG).
Marcus Christenson selaku editor meminta kriteria pemilihan adalah bukan hanya pemain yang paling berbakat, tapi juga pemain yang paling mungkin berhasil di level professional. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah pemain paling berbakat otomatis akan berhasil?
Menariknya jawaban para pencari bakat adalah tidak selalu—keberhasilan dipengaruhi faktor lain seperti kerja keras, disiplin, dan mentalitas. Dari lima nama, Lyttleton akhirnya memilih Ousmane Dembélé (Rennes) sebagai salah satu perwakilan Prancis.
Beberapa kriteria yang diutamakan selain bakat adalah: sikap, kerja sama tim, motivasi, kemampuan beradaptasi, ketahanan, dan kreativitas. Bakat adalah titik awal, tetapi ini adalah elemen yang memberi keunggulan. Itulah yang dicari, Mereka semua berbakat. Tetapi siapa yang lebih unggul?
Salah satu hal yang menarik adalah saat itu Dembele belum pernah main untuk tim utama Rennes. Tapi, banyak pengamat menilai ia punya bakat luar biasa dalam menggiring bola— anggun, lincah, ringan, dan penuh kejutan. Beberapa tahun kemudian, pilihannya terbukti tepat: Dembele berkembang pesat, menembus tim utama, pindah ke Borussia Dortmund, lalu Barcelona.
Perkembangan pesat Dembele tak terlepas dari bimbingan pelatih yang tepat yaitu Thomas Tuchel (Dortmund) dan Didier Deschamps (Timnas Prancis). Kedua pelatih itu sangat yakin Dembele punya potensi besar dan tugas mereka adalah “membentuk bakat menjadi kekuatan nyata”
Proyek Next Generation bukan sekadar mencari pemain muda berbakat, tetapi juga belajar apa yang membuat bakat bisa berkembang menjadi kesuksesan nyata. Akhirnya disimpulkan bahwa bakat saja tidak cukup. Diperlukan pula: Kerja keras & profesionalisme; Bimbingan pelatih yang tepat; Mentalitas kuat menghadapi tekanan dan ekspektasi.
Pada akhirnya, dengan semua modal yang dimiliki, perjalanan panjang seorang Ousmane Dembele telah mengantarkannya memperoleh Ballon d’Or 2025. Mungkin, kita semua sepakat bahwa Dembele sangat layak mendapatkannya. Perjuangannya tak cuma diukur dari keberhasilan ia di PSG, tapi jauh sebelum itu.
Penulis: Yanto Basna
