Untuk orang-orang yang tidak memperhatikan, perginya Lukas Podolski dari Arsenal ke Inter Milan adalah sebuah jalan keluar bagi seorang pemain yang membutuhkan banyak kesempatan bermain. Bagi mereka yang percaya, hal tersebut adalah bukti bahwa kutukan nomor 9 masih menghantui Arsenal. Semuanya dimulai sejak kedatangan Arsène Wenger dan kutukan ini telah mencapai puncaknya pada tahun 2000. Namun ternyata hal tersebut belum mau berhenti hingga hari ini.
Sejak Wenger menjadi manajer, tidak pernah ada pemain bernomor punggung 9 yang mampu berdiri sejajar dengan para legenda (karenanya boleh dikatakan bahwa yang memiliki hubungan buruk dengan para pemain nomor 9 adalah Wenger, bukan Arsenal). Jika bukan karena bermain buruk, para pemain tersebut meninggalkan Arsenal setelah musim terbaik mereka.
Ambil contoh Nicolas Anelka. Ia bermain sangat gemilang di Arsenal. Karenanya, sang pemuda Perancis dilepas ke Real Madrid dengan harga 30,8 juta pound sterling pada tahun 1999. Arsenal sendiri hanya bermodal 669 ribu pound sterling ketika membawanya dari Paris Saint-Germain dua tahun sebelumnya. Pemilik nomor 9 sebelum Anelka, Paul Merson, meninggalkan Arsenal untuk Middlesbrough yang menawarkan gaji lebih besar.
Kelompok kedua sendiri berisi daftar nama yang lebih panjang. Francis Jeffers (2000-2003) adalah talenta muda paling bersinar di eranya. Arsenal sampai rela mengeluarkan dana transfer sebesar 13,46 juta pound sterling untuk mendapatkan jasa Jeffers. Namun selama tiga tahun di Arsenal, Jeffers hanya mampu mencetak lima gol.
Setelah Jeffers, nomor 9 menjadi milik José Antonio Reyes (2003-2006). Uang muka 10,5 juta pound sterling adalah harga yang harus dibayar oleh Arsenal kepada Sevilla. Pembayaran tambahan membuat total biaya yang harus dikeluarkan oleh Arsenal berada di angka 17 juta pound sterling. Namun Reyes hanya berhasil mencetak 23 gol dari 108 pertandingan. Sedikit banyak, perkembangannya terhambat karena Reyes merasa tidak kerasan di Inggris. Berkali-kali ia mengeluhkan cuaca Inggris yang dingin dan basah, tidak seperti Spanyol yang hangat dan cerah.
Kepulangan Reyes ke Spanyol membuat nomor 9 berpindah tangan ke seorang penyerang Brasil bernama Júlio Baptista. Dipinjam selama semusim, Baptista bermain biasa saja. Karenanya, nomor 9 kembali berganti tuan. Sejak tahun 2007, ia berada di punggung Eduardo Alves da Silva.
Namanya relatif tidak terkenal, mengingat Eduardo direkrut dari Dinamo Zagreb. Namun Eduardo berhasil mencuri hati para pendukung Arsenal. Sayang, patah kaki yang ia alami pada 23 Februari 2008 menghambat perkembangannya. Pada tahun 2010, Wenger dengan berat hati melepas Eduardo ke Shakhtar Donetsk.
Sempat absen selama satu musim, nomor 9 kembali ke peredaran ketika Park Chu-young datang dari AS Monaco. Pemain asal Korea Selatan tersebut lebih sering memainkan peran sebagai penghangat bangku cadangan.
Cerita terbesar mengenai kutukan ini, bagaimanapun, adalah milik Davor Šuker (1999/2000). Sebelum bergabung dengan Arsenal, Šuker adalah juara La Liga dan Supercopa de España tahun 1997 bersama Real Madrid. Tahun 1998 malah lebih baik lagi; tahun terbaik dalam karirnya. Sepanjang tahun tersebut Šuker berhasil meraih gelar juara Champions League dan Intercontinental Cup. Belum lagi gelar pribadi yang banyak jumlahnya.
Di Piala Dunia 1998 saja, Å uker mendapatkan tiga penghargaan: Golden Shoe, Silver Ball, dan All-Star Team. Pada tahun yang sama ia juga meraih peringkat ketiga pemain terbaik FIFA dan menjadi runner-up Ballon DâOr. Dan semua itu masih diikuti oleh penghargaan-penghargaan lainnya.
Bersama Arsenal, Å uker hanya tampil satu musim saja sebelum dilepas ke West Ham United. Ia hanya mampu mencetak 10 gol dalam 35 penampilan. Dan perpisahannya dengan Arsenal tidak terlalu manis. Å uker adalah penendang pertama ketika Arsenal menjalani drama adu penalti di final UEFA Cup tahun 2000, melawan Galatasaray. Å uker gagal mengeksekusi bola mati, dan Arsenal akhirnya kalah dengan skor 4-1 setelah tiga penendang saja.
Baca juga:
Komentar