Daniel Alberto Passarella, salah satu pemain belakang terbaik yang pernah dilahirkan tim Tango, Argentina. Dia bisa dikatakan sebagai pemimpin yang sempurna di atas lapangan bagi kesebelasan mana pun.
Passarella, juga dikenal sebagai El Gran Capitan (Kapten yang hebat), juga pemain yang menakutkan bagi lawannya. Kendati berposisi sebagai pemain belakang, tapi ia juga ganas di dalam kotak penalti lawan. Dari hampir 300 pertandingan yang ia lalui di liga Argentina, ia menorehkan 99 gol. Angka yang cukup mencengangkan bagi pemain belakang.
Di jajaran legenda sepakbola Argentina, nama Daniel Passarella memang masih kalah mentereng dibanding Diego Maradona, Mario Kempes, maupun Jorge Valdano. Padahal, Passarella merupakan satu-satunya pemain nasional Argentina yang menjuarai Piala Dunia sebanyak dua kali, yakni 1978 dan 1986.
Ketika merebut Piala Dunia pertama untuk Argentina, Passarella tampil sebagai kapten kesebelasan. Ya, Piala Dunia 1978 yang diselenggarakan di Argentina, sekaligus tempat pertama Argentina meraih gelar dunia pertama kali itu, menghadirkan cerita kelam.
Ketika itu, rakyat Argentina hidup tertekan oleh teror di bawah pemerintahan junta militer. Bahkan, sekitar 15.000 hingga 30.000 orang telah terbunuh atau hilang. Siapa pun yang menentang pemerintah di bawah junta militer Jenderal Jorge Rafael Videla (1976-1981), maka bakal bermasalah atau berakhir hidupnya. Penculikan para aktivis dan mahasiswa menjadi hal biasa di zaman itu.
Pada 24 Maret 1976, militer melancarkan kudeta terhadap Presiden Isabel Perón. Junta militer pun dibentuk dan dipimpin oleh Jenderal Jorge Videla. Sejak itu, junta militer mengendalikan negara dengan represif. Di mana-mana terjadi penangkapan, penculikan, interogasi dan pembunuhan terhadap mereka yang dicurigai aktivis kiri atau menjalani kegiatan politik kiri.
Tidak jauh dari Stadion Monumental, terletak Sekolah Mekanik Angkatan Laut (ESMA), yang menjadi salah satu pusat tahanan politik pada masa "Perang Kotor" yang dilancarkan junta terhadap musuh-musuh politik. Interogasi dan penyikasaan terjadi di sana.
Penyelenggaraan Piala Dunia 1978 memang sukses. Bahkan, Argentina akhirnya juara. Namun, itu tak menghilangkan rasa getir dan kepedihan rakyat Argentina yang merasa tertekan selama pemerintahan Videla. Tapi setidaknya itu sedikit mengurangi, dan Passarella sukses mempimpin rekan-rekannya untuk sedikit mencabut jarum di nadi rakyat Argentina. Walau itu kemenangan yang hanya memberi kebahagiaan sesaat karena biar bagaimana pun teror dan represi tetap saja berlangsung di hari-hari setelahnya.
Passarella menjadi pemimpin yang mumpuni pada Piala Dunia 1978 itu. Ia diakui sebagai kapten muda yang memiliki kualitas kepemimpinan yang menakjubkan. Di usianya yang kala itu masih 25 tahun, ia berhasil mengubah suasana muram dan mencekam di tanah Argentina menjadi suasana kegembiraan. Orang-orang pun sejenak melupakan kesedihan dan intimidasi pemerintah.
Estadio Monumental pun menjadi saksi jika Passarella sebagai orang Argentina pertama yang mengangkat trofi Piala Dunia. Sepakbola memperlihatkan sisi abu-abu. Tak selamanya kekacauan politik atau negara berakhir pula menjadi kegelapan pada sepakbola.
Tapi di balik itu semua, Passarella bukanlah semata-mata sebagai pahlawan, bukan juga sebagai orang yang akan selalu dipandang sebagai pemimpin di lapangan kala itu. Ia juga tidak serta merta sebagai orang yang memilik sikap demokratis. Rakyat Argentina pun juga pernah merasakan kecemasan terhadap kepemimpinannya.
Hal itu terlihat ketika ia mempersiapkan Argentina untuk bertempur di Piala Dunia 1998. Kala memimpin Argentina sebagai pelatih, dia membuat keputusan yang mencemaskan publik negeri paling selatan di Amerika Latin tersebut. Passarella memutuskan tidak akan membawa pemain-pemain berambut gondrong ke Prancis.
Baca juga:Â Anomali DNA Juara Argentina
Sontak, suara sumbang berdatangan dari seantero Argentina. Mereka cemas jika Argentina tak akan berbuat banyak di Prancis. Kecemasan yang wajar. Pasalnya, kala itu talenta-talenta terbaik justru banyak yang berambut gondrong. Seperti, Claudio Caniggia, Gabriel Batistuta, dan Fernando Redondo.
Namun Passarella tetap bertahan dengan sikapnya. Dia bersikukuh tidak memberi tempat pada pemain-pemain gondrong di skuat Argentina. Batistuta akhirnya mengalah. Batigol memotong rambutnya. Passarella pun membalas dengan manis. Garansi tempat utama diberikan kepada Batigol. Tak hanya itu ban kapten pun disematkan di bahunya.
Sedangkan Redondo tetap pada posisi melawan terhadap kebijakan yang dibuat Passarella. âBukannya saya tidak cinta Argentina. Tapi, apakah yang berhak membela Argentina hanya pemain-pemain yang berambut rapi?â gugat Redondo.
Ada benarnya juga apa yang dikatakan Redondo, gelandang bertahan paling elegan di zamannya. Apalagi ketika Argentina menjadi juara dunia pertama kalinya, di sana terdapat salah satu pahlawan berambut gondrong. Mario Kempes namanya, yang juga menjadi top skor di Piala Dunia tersebut.
Melankolia Pasarella
Di dunia sepakbola yang begitu tegas dan disiplin serta minim negosiasi saat Passarella memimpin timnas Argentina, setidaknya masih ada ruang yang melankolik di dalam hati dan kepala Passarella. Ya, biar bagaimana pun, Pasarella manusia biasa yang juga punya ketakutan dan kecemasan, juga kesedihan serta kepedihan.
Pecinta sepakbola Argentina tak akan lupa bagaimana usahanya untuk menyelamatkan Ariel Ortega dari ketergantungan alkohol. Jauh sebelum menyelamatkan Ortega pun, di salah satu televisi Chili, pelatih tim Argentina, Daniel Passarella, berjanji mengantarkan Argentina lolos kualifikasi Piala Dunia 1998. Itu akan ia lakukan sebagai bentuk hadiah untuk anaknya, Sebastian, yang tewas dalam sebuah kecelakaan tahun 1995.
Baca juga:Â Ujung Perjalanan Ariel Ortega di Bawah Naungan Cinta Passarella
âKehilangan seorang anak adalah hal terburuk yang dapat terjadi pada manusia. Saya tidak pernah berfikir mendapatkan hal seperti itu. Saya sulit mengatasi rasa sakit dalam batin ketika tidak melihatnya dan memilikinya lagi," katanya.
Passarella masih mengingat kecelakaan yang menewaskan Sebastian: âKepergiannya sangat cepat, hal yang tak terduga bagiku. Insiden itu terjadi ketika Sebastian mencoba menyeberangi persimpangan rel kereta bersama dengan truk. Dan malang, kereta menabrak kendaraan Sebastian.â
Dengan mata yang berkaca-kaca, Passarella juga menggambarkan putranya sebagai seorang penggemar sepakbola. Passarella pun membayangkan dengan sedikit memejamkan mata, untuk kemudian mengeluarkan potongan kata-kata yang menjelaskan tentang sosok Sebastian.
Selama kepergian Sebastian, Passarella selalu merasakan jika sang anak berada di belakanganya terus-menerus. Meskipun ia sedang menimba ilmu di bangku perkuliahan, sosok Sebastian akan selalu melekat di dalam benaknya dalam situasi apapun.
âSekarang keluarga sangat menderita. Istri dan anak saya yang lain, Lucas. Begitupun dengan orang tua saya, mertua saya dan mereka sangat sayang dan sangat dekat.â
Namun di dalam jiwanya yang begitu terpukul, Passarella mengakui jika ia tetap mensyukuri telah hidup selama 18 tahun bersama Sebastian. Ia merasa senang telah sempat memberikan segalanya yang diinginkan Sebastian, meskipun ia masa ingin menyentuhnya, membelainya, dan melihatnya. Bahkan Passarella tak akan segan untuk menjauhi dunia sepakbola jika ia masih diberi kesempatan untuk memeluk Sebastian. Meskipun itu hanya sehari.
Pada akhirnya, Passarella menegaskan jika ia ingin membawa Argentina ke Piala Dunia di Prancis demi sebuah hadiah untuk Sebastian. Dan itu akan menjadi hadiah terbaik yang dipersembahkan Passarella untuk sang anak.
Berjanji di Makam Sebastian Untuk Menjadi Presiden River Plate
Sebastian turut dalam pesta di ruang pemain ketika Passarella sukses membawa River Plate menjuarai Liga Apertura di tahun 1991 dan 1993. Sebastian selalu hadir di dalam pesta dengan seragam River Plate yang telah basah akibat semprotan sampanye.
Ya, Sebastian memang sangat mencintai River Plate. Ia pun mendaftarkan diri untuk mengasah kemampuan mengolah bolanya bersama River Plate. Namun mimpi bermain untuk River Plate tidak terwujud. Tubuh Sebastian justru harus terbujur kaku di dalam peti mati setelah mengalami kecelakaan.
Pada suatu ketika Passarella pergi ke makam Sebastian bersama Lucas, anak Pasarella yang lain. Di sisi kuburnya, Passarella mengatakan jika beberapa hari lagi ia akan menjadi presiden River Plate. Lucas yang juga berada di samping Passarella saat mengucapkan kalimat tersebut, langsung memeluk ayahnya itu. Lucas merasa jika mimpi sang ayah tersebut terlalu besar. Lucas juga sangat takut jika sang Ayah kalah dan tak pernah bisa mewujudkan ucapannya itu.
Namun ketakutan Lucas terbantahkan. Passarella memenangi pemilihan presiden setelah unggul enam suara dari Rodolfo D'Onofrio. Passarella memenangkan pemilihan tersebut dengan raihan 5298 suara. Ia pun akhirnya mampu menepati janji yang ia ucapkan di depan makam Sebastian.
Meskipun pada kenyataannya, River Plate harus terdegradasi di bawah kepemimpinan Passarella. Dan itu menjadi persoalan lain atas hubungan Passarella antara River Plate.
Komentar