Mengenal sosok Liestiadi Sinaga sebagai seorang pelatih yang juga memiliki latar belakang pendidikan formal. Pelatih Persipura Jayapura itu memiliki gelar Insinyur yang didapatnya setelah mengenyam bangku kuliah jurusan Teknik Komputer di Institut Teknologi TD Pardede. Pada tahun 1995, ia menamatkan sekolah tingginya itu, dan melanjutkan profesi sebagai guru di Medan.
Namun, melihat profesinya yang kini sebagai juru taktik “Mutiara Hitam”, sepertinya agak mustahil kalau Liestiadi tidak memiliki latar belakang sepakbola. Sebab, bisa dibilang sepakbola adalah passion, sehingga, kalau orang yang tidak memiliki kesenangan di sepakbola, rasanya sulit bagi mereka mau berkecimpung di dunia si kulit bundar, apalagi sampai mengemban tugas sebagai pelatih yang dituntut paham dan mengerti seluk beluk sepakbola.
Tapi, seperti sudah diperkirakan, Liestiadi memang punya pengalaman di dunia sepakbola. Tercatat, pada periode 80-an ia pernah berkiprah sebagai seorang pesepakbola. Namanya memang tidak setenar Ricky Yakobi, Yuswardi, atau legenda sepakbola lainnya asal Medan. Maklum, saat berkiprah sebagai pemain, karier Liestiadi mentok sebagai pemain amatir.
Ia belum pernah mencicipi panasnya persaingan kompetisi Perserikatan atau Galatama. Pada tahun 1987 hingga 1997 ia hanya bermain di klub amatir, PS Kejora, yang kemudian masuk dalam skuat tim Mahasiswa Sumatera Utara.
“Kalau kiprah sebagai pemain, saya memang tidak punya rekam jejak yang bagus. Saya dulu hanya pemain amatir. Saya tidak pernah bermain untuk PSMS Medan,” kata Liestiadi.
Mulai Merambah Dunia Pelatih
Liestiadi berkisah, saat kariernya mentok sebagai pemain amatir, ia lantas lebih memfokuskan untuk menyelesaikan kuliahnya. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, setelah lulus ia kemudian menjalani profesi sebagai seorang guru.
Namun karena pada saat itu ia masih memiliki passion dalam sepakbola, akhirnya ia mencoba peruntungannya kembali di dunia sepakbola. Karena pada saat itu, usia tidak lagi mendukung untuk menjalani karier sebagai pemain, ia lantas mengikuti kursus kepelatihan. Pada tahun 1999, ia kemudian menggenggam lisensi kepelatihan D.
“Ya, dulu kan saya sempat jadi guru setelah lulus kuliah. Tapi karena saya mencintai sepakbola, akhirnya saya memutuskan untuk terjun kembali. Bagi saya, sepakbola adalah profesi yang menantang. Akhirnya saya ikut kursus, karena saya juga punya dasar sepakbola. Dari sana, saya berkembang, dan sekarang saya bisa menjadi pelatih. Ya, ini mungkin jalan hidup saya,” kisahnya.
Namun bukan perkara mudah bagi Liestiadi bisa mendapat jabatan sebagai pelatih kepala di Persipura. Awal kariernya dimulai dengan penuh perjuangan. Ia, memulai karier kepelatihannya dari dasar dengan melatih anak-anak yang baru belajar sepakbola di Sekolah Sepak Bola (SSB) Taman Setia Budi.
Liestiadi juga rajin mengikuti kursus kepelatihan. Setelah mendapat lisensi kepelatihan pada tahun 1999 secara berkala, lisensi tersebut ia perbarui. Setahun kemudian, Liestiadi mendapat lisensi C AFC dan dengan lisensi itu ia dipercaya untuk menukangi PSMS Junior.
Selain itu, ia juga pernah mendapat kehormatan dari Persatuan sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Federasi sepakbola Indonesia itu mempercayakan Lies sebagai talent scouting untuk memantau bibit dan talenta-talenta emas pemain-pemain muda dari Sumatera Utara. Setelahnya, Lies terus memperdalam ilmu kepelatihannya, hingga lisensi B AFC berhasil didapatnya pada 2006. Kemudian dua tahun berselang lisensi A AFC berhasil didapatkannya.
Setahun setelah mendapatkan lisensi A AFC, Lies kemudian mulai berkecimpung di ranah sepakbola profesional Indonesia. Bukan jabatan pelatih yang ia lakoni saat itu, namun Direktur Teknik PSMS Medan, jabatan yang ia emban pada tahun 2009. Masih pada tahun yang sama, ia kemudian menjabat sebagai pelatih kepala.
Saat itu, Liestiadi naik pangkat setelah menggantikan Eric William. Di tangan Eric, PSMS menjadi tim semenjana yang hanya mampu berkutat di zona degradasi sepanjang paruh musim pertama. Melihat prestasi ini, Eric William akhirnya didepak dan digantikan oleh Lestiadi. Saat itu PSMS memang sedang goyah, karena disinyalr ada perpecahan di tubuh tim berjuluk “Ayam Kinantan” itu.
Menjadi Asisten Setia Rene Alberts
Kendati demikian, kiprah Liestiadi sebagai pelatih hanya seumur jagung. Sebab pada awal paruh kedua, manajemen akhirnya menarik Rudi William Keltjes sebagai pelatih kepala mengganti posisi Lestiadi yang digeser sebagai asisten pelatih. Meski begitu, pengalaman melatih tim besar sekelas PSMS tetap menjadi pengalaman berharga bagi Liestiadi.
“Memang, saya itu memulai karier dari dasar. Saya dulu melatih SSB selama 8 tahun. Kemudian naik ke PSMS, pernah jadi pelatih kepala dan asisten pelatih. Dari sana, memang saya lebih banyak berkarier sebagai asisten. Tahun 2010, saya ikut Rene Alberts (Pelatih PSM Makassar-sekarang) ke Arema. Saya dan Rene berhasil mengantar Arema juara pada saat itu,” terangnya.
Selain di Arema, Lies juga pernah menjadi Asisten Rene di PSM Makassar pada tahun 2011. Setelahnya, karier kepelatihannya itu terus menanjak. Saat Rene kembali ke Belanda, Lies tidak serta-merta kehilangan pekerjaannya begitu saja. Karena pada 2011, PSSI kembali menggunakan jasanya untuk menjadi asisten pelatih tim nasional Indonesia, yang kala itu diarsiteki oleh pria berkebangsaan Belanda, Wim Rijsbergen.
“Di timnas saya menjadi asisten Wim selama 2 tahun. Di sana, ilmu kepelatihan saya semakin terasah. Ya, kalau merunut memang proses belajar itu berkesinambungan, yang akhirnya membuat pondasi kita itu semakin kuat,” terangnya.
Mulai Mendapat Kepercayaan Menukangi Tim
Ketika mengemban jabatan asisten pelatih di Timnas, tekanan datang pada Lies. Saat itu orang ragu dengan kemampuannya karena sosok Lies yang tidak setenar Rahmad Darmawan atau pelatih kenamaan lainnya. Namun, Lies tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Tekanan yang datang dianggapnya sebagai bahan pembelajaran untuk membuatnya lebih baik lagi.
“Biasa, namanya sepakbola, dulu juga saya pernah dapat goncangan di timnas, jadi asisten itu saya tidak dikenal, tiba-tiba masuk timnas, dan orang-orang mungkin ragu,” ungkapnya.
“Selain itu, di timnas juga saya punya tantangan lain dengan harus bisa melatih dan membangun komunikasi dengan baik bersama pemain-pemain tenar seperti Bambang Pamungkas, misalnya. Jadi, itu proses bagi saya untuk bagaimana caranya bisa keluar dari tekanan,” lanjutnya.
Setelah itu, Lies kemudian naik pangkat sebagai pelatih kepala. Tapi, bukan di timnas, Persiba Balikpapan mempercayakan tonggak kepelatihan yang sebelumnya diemban Jaya Hartono beralih kepadanya pada tahun 2014. Semusim bersama “Beruang Madu”, semusim kemudian ia kemudian menukangi Persegres Gresik United.
Dua musim menjalani peran sebagai pelatih di Persegres, setelahnya ia sempat menganggur. Namun tidak lama, karena Persipura kemudian menariknya untuk menjadi pelatih menggantikan Alfredo Vera yang didepak sehari sebelum kompetisi berlangsung. Tentu, ini adalah tantangan baru bagi Lies. Sebab, Persipura merupakan salah satu tim kuat juga memiliki tradisi juara.
Vera, pelatih asal Brasil yang posisinya Lies gantikan berhasil membawa “Mutiara Hitam” juara di ajang Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016. Tentu, beban kini berada dipundak Lies untuk bisa mempertahankan gelar tersebut. Apalagi, diakui Lies saat Manajemen mengontaknya target juara memang yang diusung Persipura musim ini.
"Saat saya datang dan diperkenalkan oleh manajemen, saat itu memang saya ditargetkan untuk menjadi juara. Saya tentunya akan berusaha keras untuk bisa mencapai target tersebut. Tapi ini kompetisi yang panjang dengan sistem satu wilayah. Jadi, saya tidak bisa memandang secara global. Saya melihat per pertandingan Kalau kami main bagus setiap pertandingan untuk meraih poin peluang juara bisa kami raih,” tegasnya. (SN)
Komentar