Perjuangan Suriah dalam babak kualifikasi Piala Dunia 2018 memang patut diapresiasi. Tapi di balik perjuangan tersebut, sebenarnya ada sebuah dilema besar yang dialami oleh para pemain Suriah.
Di tengah kecamuk konflik yang terjadi di negara Suriah yang sudah berlangsung sejak 2011 silam, timnas Suriah tetap bertanding di babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Lewat sebuah perjalanan panjang, mereka berhasil melalui tahapan demi tahapan babak kualifikasi Piala Dunia 2018 zona AFC. Beberapa kali juga mereka harus pindah kandang, seperti ke Oman dan Malaysia, semata agar bisa menggelar partai kandang di babak kualifikasi.
Namun, perjuangan Suriah tampaknya harus berakhir sampai di babak ke-4 kualifikasi. Mereka gagal mengalahkan Australia. Meski begitu, mereka menuai puja-puji. Sebuah perjuangan yang mencerminkan bahwa, sepakbola bisa menjadi obat di tengah kecamuk konflik yang tiada henti melanda Suriah. Perjuangan yang menjadi wujud bahwa Suriah masih bisa bicara banyak di tengah keterbatasan yang mereka miliki.
Tapi, apa yang dialami oleh timnas Suriah dan jajaran ofisial serta pemain yang ada di dalamnya, sebenarnya jauh lebih dalam daripada itu. Sebuah laporan di ESPN FC yang dirilis oleh Steve Fainaru, menjabarkan hal tersebut dengan gamblang.
Timnas Suriah, kendaraan politik Bashar al-Assad?
Sekilas para pemain timnas Suriah yang tampil di babak kualifikasi Piala Dunia 2018 zona AFC sama seperti timnas-timnas yang lain. Ucapan dari Bashar Mohammad, juru bicara dari timnas Suriah, bahwa mereka sedang berjuang untuk membawa kebahagiaan seolah menjadi tanda bahwa timnas Suriah sedang membawa kebahagiaan.
"Sepakbola adalah sebuah mimpi manis yang menyatukan orang-orang. Ia (sepakbola) memberikan sebuah senyuman dan membuat orang-orang melupakan untuk sementara ketakutan yang muncul dari kehancuran dan kematian," ujar Bashar.
Tapi di balik semua perjuangan dan kisah-kisah humanis itu, ternyata ada hal mengerikan yang tersembunyi. Di balik balutan jersey warna merah garis putih, dengan lambang bendera Suriah di dada mereka, ternyata terpapar kenyataan bahwa mereka adalah segerombolan timnas yang menjadi kendaraan politik dari Bashar al-Assad, orang yang paling dimusuhi oleh kaum oposisi Suriah.
Dari laporan Anas Ammo, mantan jurnalis olahraga asal Aleppo yang sekarang menjadi aktivis dari Syrian Network for Human Rights, disebutkan bahwa bukan hanya timnas Suriah saja, melainkan semua atlet dan praktik-praktik olahraga di Suriah, dimanfaatkan oleh Assad untuk melanggengkan kekuasaannya di Suriah. Lewat aktivitas olahraga ini, Assad ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Suriah baik-baik saja, padahal korban terus berjatuhan.
Bashar al-Assad. Foto: @mnctrijayafm
Kontrol penuh Assad terhadap timnas Suriah juga tampak dari beberapa segi yang berkaitan dengan timnas Suriah. Federasi sepakbola Suriah (SFA) mendukung penuh rezim Assad ini. Mantan pelatih timnas Suriah, Fajer Ibrahim, juga mengungkapkan bahwa Assad adalah orang yang sangat luar biasa.
"Tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada beliau (Assad) adalah tuduhan tidak berdasarkan. Rezim Assad adalah rezim yang melindungi orang-orang Suriah. Orang-orang yang protes terhadap Suriah ini berada di luar Suriah dan mereka hanya mewakili diri mereka sendiri, bukan suara orang Suriah secara keseluruhan," ujar Fadi Dabbas, wakil ketua SFA.
"Ia (Assad) adalah orang yang sangat luar biasa," ujar Fajer.
Dari segala ucapan orang-orang yang terkait dengan timnas di atas, tampak bahwa Assad sudah memegang kuasa penuh terhadap timnas. Bahkan dalam sebuah konferensi pers, para pemain dan pelatih timnas Suriah mengenakan kaus bergambar wajah Assad, sebuah bentuk dari betapa kontrol timnas sudah ada di tangan Assad.
Saat sudah terlihat jelas bahwa ada sebuah keikutsertaan politik tertentu di dalam urusan sepakbola sebuah negara seperti yang terjadi di Suriah ini, FIFA malah seolah tutup mata dan tidak tahu menahu atas apa yang terjadi di Suriah ini. Mereka tidak menghukum, atau sekadar melakukan investigasi, terhadap apa yang sedang terjadi di sana.
Melalui Deputi Sekjen mereka, Markus Kattner, FIFA menolak untuk turut campur dalam hal ini karena mereka merasa bahwa apa yang terjadi di Suriah ini berada di luar yurisdiksi dan kontrol mereka sebagai otoritas tertinggi sepakbola. Hal itu langsung mengundang hujatan dari Ayman Kasheet, mantan pemain timnas Suriah yang mengirimkan laporan mengenai kondisi di Suriah tersebut kepada FIFA.
"Saya tidak meminta FIFA untuk memberikan keputusan secara cepat dan tergesa-gesa. Mereka bisa melakukan investigasi terlebih dahulu," keluh Kasheet.
Dilema pemain timnas Suriah
Dari semua elemen yang paling menderita karena kontrol pemerintah terhadap timnas Suriah ini, pemain menjadi pihak yang paling dipusingkan sekaligus paling menderita akibat dari tindakan Assad ini. Dilema menyeruak di benak mereka. Membela timnas sama dengan membela negara. Tapi mereka juga sedikit sungkan membela negara yang sudah menyengsarakan mereka dan sebagian masyarakat Suriah.
Firas al-Khatib dan Firas al-Ali adalah dua pemain yang setidaknya masih punya kesempatan untuk bercerita tentang rezim Assad dan pengaruh mereka terhadap timnas. Para pemain lain yang protes? Masih berdasarkan laporan Anas Ammo, total 38 pemain yang berasal dari dua divisi liga teratas Suriah dibunuh oleh rezim Assad karena mengajukan protes.
Firas al-Khatib, yang sekarang bermain di Kuwait bersama Al-Kuwait, menjadi pemain yang cukup banyak bercerita tentang dilema yang ia alami. Kapten timnas Suriah ini pernah berujar bahwa ia tidak akan pernah lagi membela timnas selama bom-bom masih berjatuhan di daerah Suriah. Pun dengan Firas al-Ali yang tegas menyatakan bahwa ia tidak akan pernah kembali ke timnas Suriah.
Namun sebuah kasus spesial dialami oleh Khatib. Kemampuannya yang mumpuni ternyata dibutuhkan oleh Suriah yang kemarin berjuang dalam babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Ia memang salah satu pemain berbakat Suriah, dan sebelum Suriah menjadi seperti sekarang, ia adalah tulang punggung dari timnas Suriah. Namun sekarang ia berada dalam sebuah dilema besar: tetap para pendiriannya melawan Assad atau kembali ke timnas demi membawa Suriah menuju Piala Dunia.
Firas al-Khatib, di tengah kegamangan kembali atau tidak ke timnas Suriah
Pada akhirnya, Firas al-Khatib memutuskan untuk kembali ke timnas, membela negaranya dengan satu tujuan, yaitu membawa masyarakat Suriah menuju kebahagiaan. Walau ia sudah bosan melihat bom yang setiap hari berjatuhan di negaranya, ia ingin memberikan sebuah kado kebahagiaan berupa tampilnya Suriah di Piala Dunia (meski hal itu akhirnya urung terwujud). Keputusan yang pada akhirnya menimbulkan caci-maki dari rekan-rekan seperjuangannya.
"Saya pernah mengatakan bahwa saya baru akan bermain di timnas jika konflik di Suriah berakhir. Sekarang saya mengganti keputusan saya dan bermain untuk timnas Suriah. Ini murni keputusan karena sepakbola, bukan karena politik. Saya ingin menciptakan kebahagiaan. Kami ingin bahagia. Sekarang, segala sesuatu yang terjadi di Suriah selalu membuat kita sedih," ujar Khatib.
Lain Firas al-Khatib, lain dengan Firas al-Ali. Ia adalah mantan pemain terkenal di Suriah dan (pernah) memiliki tiga rumah dan tabungan pribadi yang banyak di Suriah. Semua berubah setelah konflik mulai berkecamuk di Suriah. Selain kehilangan beberapa kerabat dekatnya, ia juga kehilangan uang tabungan dan rumahnya yang hancur dibom oleh tentara pemerintahan Assad. Ia pun menceritakan pengalamannya saat menyaksikan lapangan sepakbola diubah menjadi tempat latihan militer.
"Saya menyaksikan sendiri lapangan sepakbola diubah menjadi tempat latihan militer. Kami harus berbagi lapangan dengan para tentara yang sedang berlatih. Ini semua saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Suara tembakan menggema di luar stadion, dan kami tahu ada baku tembak yang sedang terjadi di sana," ujar Ali.
"Dengan segala situasi seperti ini, saya pun mengatakan kepada saudara saya setelah saya mengungsi ke Turki. Sudah cukup. Jika keadaan seperti ini, saya tidak akan membela timnas Suriah lagi. Dan sampai sekarang, saya lebih memilih tinggal di kamp pengungsian di Turki daripada ikut membela timnas Suriah," tambahnya.
Segala dilema yang dialami oleh pemain ini menjadi cermin bahwa pemain menjadi pihak yang berada di dalam situasi yang cukup sulit. Impian dan perintah langsung sang presiden saling berkelindan di dalam pikiran mereka, menciptakan dua pilihan yang menurut mereka memiliki konsekuensi yang sama-sama sulit.
Mendukung pemerintah yang mungkin sudah membunuh kerabat terdekat mereka akan membuat mereka dicap tidak berperikemanusiaan, tapi di sisi lain, pemain mana yang tidak ingin membela Tim Nasional negaranya sendiri dan mengantarkan timnasnya berprestasi di ajang tertinggi di dunia?
***
Sepakbola, sebesar apapun usaha kita untuk melepaskannya dari politik, akan tetap terikat dengan politik baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Inilah yang sekarang sedang terjadi di Suriah. Dari segala intrik politik yang terjadi di atas, pada akhirnya, penderitaan terbesar justru dialami oleh pemain itu sendiri. Pemain akan bingung, di satu sisi ia ingin mengantarkan timnasnya ke Piala Dunia, di satu sisi para pemain juga benci akan rezim Assad yang sudah membunuh keluarga mereka.
Pada akhirnya, ini bukan perkara soal siapa membenci siapa, melainkan bagaimana agar persoalan ini cepat selesai dan Suriah bisa kembali berdamai. Jangan sampai pemain, yang sebenarnya mungkin tidak tahu dan tidak ingin tahu apa-apa, malah menjadi korban dari rezim.
Sumber: ESPNFC.
Komentar