Pelabuhan adalah tempat manusia berkisah lalu menjadi sejarah. Dari pelabuhan, roda ekonomi (dan kehidupan) terbangun. Dari pelabuhan, manusia meninggalkan bangsa sendiri, mencari tanah baru untuk dikencingi atau sekadar numpang mati. Dari pelabuhan jugalah hubungan Manchester United dan Liverpool menjadi seperti air dan api.
Inggris (Britania Raya) tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup. Menjadi negara yang sekelilingnya adalah laut, maka mencelupkan kaki ke air adalah pilihan mutlak kalau mau mengenal hal-hal baru. Pemanfaatan laut sebagai sumber mencari makan telah dilakukan bangsa Inggris sejak sebelum masehi (SM), tepatnya Era Perunggu (1575-1520 SM).
Seiring berjalannya waktu, pertemuan dengan bangsa-bangsa lain di wilayah pesisir tentu tak terelakkan. Dalam sebuah periplus (manuskrip berisi daftar pelabuhan) milik kerajaan di Mediterania Timur, Phoenica (1500-539 SM), terdapat rute perjalanan maritim ke tanah Britania. Kegiatan tukar-menukar barang ini memang diperkirakan gencar dilakukan sejak Era Besi Britania (800 SM-100 masehi), hingga akhirnya bangsa Inggris menemukan sistem uang dan mengenal ilmu-ilmu berdagang yang lebih menguntungkan.
Ketika itu, apa pun bisa diperjualbelikan: makanan, pakaian, jasa, senjata, hewan, tumbuhan, dan tentu saja manusia. Untuk diketahui, manusia memang sudah menjadi komoditas di Eropa sejak Era Perunggu, lebih tepatnya peradaban Mycenean Yunani (1600-1100 SM).
Urusan perdagangan budak, Inggris merupakan salah satu negara ‘termahsyur’ dalam sejarah. Mereka adalah raksasa dalam Perdagangan Budak Atlantik, bersama dengan Portugis, Prancis, Spanyol, dan Belanda.
Bangsa-bangsa Eropa itu, dengan membawa semangat kolonialisme, datang ke Afrika untuk mengantarkan bahan-bahan manufaktur. Sebagai bayarannya, mereka mendapatkan budak, yang kemudian dijual ke Amerika. Ketika pulang ke Eropa, mereka membawa oleh-oleh berupa hasil-hasil pertanian, seperti tembakau dan gula. Rute ini dikenal dengan sebutan Rute Perdangangan Segitiga.
Tidak semua budak dijual di Amerika. Ada juga memang yang sengaja dibawa pulang sebagai hadiah untuk istri, anak, atau siapa pun yang membutuhkan.
“Mama, George Hanger (seorang letnan kolonel tentara Inggris), mengirimiku seorang anak kulit hitam berumur 11 tahun dan sangat jujur, tetapi Duke tidak ingin aku memiliki budak berkulit hitam… Jika mama lebih menyukainya ketimbang (menyukai) Michel (nama budak lain), aku akan mengirimkannya. Ia akan menjadi seorang budak murah dan mama bisa menjadikannya seorang Kristiani dan anak baik; jika mama tidak menyukainya, mereka mengatakan bahwa Ratu Rockingham menginginkannya,” tulis Duchess of Devonshire, Georgiana Cavendish, dalam suratnya kepada ibunya, Georgiana Spencer.
Problem seperti yang dialami oleh Georgiana Cavendish dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat kelas menengah ke atas Inggris di tahun 1700-an. Semakin lama, jumlah budak yang disimpan sebagai stok semakin banyak. Ratu Elizabeth bahkan pernah mengeluh karena London sangat padat dengan budak kulit hitam. Selain London, ada beberapa kota lain yang juga menjadi sentra perdagangan budak, yaitu Bristol, Bath, Lancaster, dan Liverpool.
Pengaruh Revolusi Industri
Kota Liverpool adalah salah satu pelabuhan terbaik dunia di eranya, dan mendapatkan keuntungan luar biasa besar berkatnya. Pertumbuhan ekonomi Liverpool meningkat tajam sepanjang paruh kedua abad ke-18. Diperkirakan, lebih dari 5.300 (sekitar 75% dari total) kapal budak di Eropa berangkat dari Liverpool. Sekurang-kurangnya, 3,5 juta budak Afrika pernah menginjakkan kakinya di Liverpool.
Saat masyarakat Liverpool tengah berbahagia atas industri perbudakan, terdapat sebuah industri baru yang siap bersaing: baju katun. Perlahan tapi pasti, bahan katun berhasil menggeser wol yang sebelumnya adalah salah satu industri tekstil terbesar di Inggris. Tepat ketika perbudakan dihapus berkat undang-undang Slavery Abolition Act 1833, terjadilah revolusi industri. Produksi katun yang tengah naik daun melesat ke puncak kejayaan, dan tawa di kota Liverpool bergeser ke Manchester.
Manchester memang merupakan salah satu pusat produksi tekstil Inggris. Namun, berkat revolusi industri dan kepopuleran baju katun, Manchester naik kasta menjadi kota industri tekstil dunia. Mereka ditahbiskan sebagai kota industri pertama di dunia. Cottonopolis adalah julukannya.
Baca juga: Mimpi Sir Alex Ferguson Itu Kini Menjadi Kenyataan
Pergeseran episentrum bisnis berskala masif ini membuat nafas (dan dompet) warga Liverpool kembang-kempis. Tidak sedikit yang memutuskan untuk berlayar, mencari peruntungan baru ke Amerika Utara, Australia, atau Selandia. Jika ada satu hal menjadi harapan terakhir kota Liverpool, itu adalah fakta bahwa Manchester bukan wilayah penghasil kapas. Bahan dasar baju katun itu didapatkan dari kapal-kapal luar negeri yang pasti melewati pelabuhan Liverpool terlebih dahulu, kemudian baru mencapai garis finis di Kanal Manchester.
Scousers (sebutan bagi warga asli Liverpool), yang masih merasa jemawa atas pendapatan mereka selama era kejayaan perbudakan, menilai bahwa para Mancunian (sebutan bagi warga asli Manchester) berada satu kasta di bawah mereka. “Tuan-tuan kota Liverpool mengimpor kapas, pria Manchester membuatnya menjadi baju” adalah sentimen yang terkenal di Liverpool.
Biaya tinggi yang dipatok pelabuhan Liverpool rupanya membuat para pengusaha di Manchester kesal. Mereka merasa kota Liverpool berusaha mengambil keuntungan secara berlebihan. Akibatnya, terdapat pula stigma dari Manchester bahwa warga Liverpool adalah “para pemalas”.
Demi mengurangi pengeluaran, seorang pebisnis bernama Daniel Adamson mencetuskan ide untuk membangun jalur perairan yang menghubungkan Kanal Manchester langsung ke laut. Ide itu sempat mendapatkan perlawanan dari pemerintah kota Liverpool, tetapi pada akhirnya mereka tidak bisa berbuat banyak dengan terbitnya Act of Parliament pada 1885.
Ketika kanal resmi dibuka pada Januari 1894, pelabuhan Manchester langsung menjadi pelabuhan tersibuk ketiga di Inggris. ‘Dendam’ terhadap kota Liverpool terbayar lunas.
Adapun kota Liverpool semakin terpuruk, pemutusan hubungan kerja semakin merajalela (sebelumnya telah terjadi PHK besar-besaran ketika Long Depression, resesi ekonomi dunia akibat revolusi industri), dan kebencian terhadap Manchester terlahir.
Lanjut ke halaman berikutnya
Lanjutan dari halaman sebelumnya
Kebetulan, satu tahun kemudian, klub asal kota Liverpool, Liverpool Football Club, berkesempatan untuk menjamu klub asal Manchester, Manchester United (dulu masih bernama Newton Heath), untuk pertama kalinya di Stadion Anfield. Hasil akhir 7-1 untuk kemenangan tuan rumah seakan menjadi penegasan bahwa kota Liverpool belum sepenuhnya kalah terhadap Manchester, setidaknya di atas lapangan hijau.
Persaingan Lintas Era dan Lintas Lapangan
Kota Liverpool harus menunggu hingga tahun 1960-an sebelum namanya kembali ke permukaan dunia berkat dua faktor. Yang pertama adalah kepopuleran The Beatles. Mereka sukses mengangkat martabat kota Liverpool, menjadi ibukota dunia urusan musik dan mode. Yang kedua adalah keberhasilan Liverpool mendobrak lapisan elite klub-klub Inggris dengan menjuarai dua titel Liga Inggris berkat duet manajer Bill Shankly dan asistennya, Bob Paisley.
Manchester United, di bawah asuhan manajer Sir Matt Busby, juga sebenarnya menjuarai Liga Inggris sebanyak dua kali. Mereka bahkan menjadi klub Inggris pertama yang menjuarai Liga Champions pada 1968. Tetapi, kesuksesan itu hanya seringan kapas jika dibandingkan trofi-trofi prestisius yang diraih Liverpool di tahun 1970-an hingga 1980-an.
Tepat di pengujung musim 1889/90, total ada 4 trofi Liga Champions, 2 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, 18 Liga Inggris, 5 Piala FA, dan 5 Piala Liga Inggris terpajang di lemari kaca Liverpool.
Para suporter The Reds pun tak mau kalah mentereng. Mereka ingin kembali menjadi pusat perhatian dunia seperti era sebelum revolusi industri; salah satunya adalah dengan menonjolkan gaya berbusana. Alih-alih menggunakan seragam klub sebagai identitas, mereka memilih untuk mengenakan baju dan jaket bermerek ke tribun. Gaya ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh suporter di Inggris, dan lahirlah sub-kultur casual.
Yang tidak disadari oleh kota Liverpool adalah mereka akan kembali merasakan perlawanan luar biasa hebat dari Manchester ketika memasuki tahun 1990-an. Tentunya dalam bentuk berbeda dibandingkan revolusi industri karena pelabuhan Manchester sendiri sudah ditutup pada 1982 akibat tak sanggup mengakomodasi ukuran kargo yang semakin besar.
Sir Alex Ferguson, yang ditunjuk sebagai manajer Manchester United pada 1986, adalah dalang utamanya (juga Oasis dan The Stone Roses dalam konteks musik).
Baca juga: The Beatles FC
“Tantangan terbesar saya adalah menyingkirkan Liverpool dari takhtanya,” ucap Ferguson suatu ketika. “Bagi saya, (melawan) Liverpool akan selalu menjadi sebuah laga derbi. Ketika saya tiba, mereka adalah raja Inggris. Mereka menjuarai empat titel Liga Champions dan cukup banyak Liga Inggris. Target saya adalah untuk (membawa tim) bermain bagus melawan mereka dan mencoba membalikkan situasi.”
Pernyataan Ferguson itu memantik kembali uap-uap kebencian antara kedua kota. Terlebih, cita-cita tersebut benar-benar direalisasikan olehnya. Pada saat pensiun pada 2013, takhta klub terbaik dalam sejarah Liga Inggris telah menjadi milik Manchester United dengan 20 titel juara. Perolehan trofi Liverpool sendiri masih tetap sama seperti ketika Manchester United baru mempunyai 7 titel, yakni 18 titel.
Dalam perjalanan selama 27 tahun itu, tensi tinggi kerap terjadi antara pemain. Tekel-tekel keras sudah pasti berterbangan dan kartu merah selalu siap sedia untuk diacungkan. Salah satu contohnya adalah ketika Patrice Evra mengklaim Luis Suarez mengeluarkan kata-kata rasis dalam laga antara Liverpool vs Manchester United di Anfield pada 15 Oktober 2011. FA memutuskan bahwa Suarez bersalah dan menjatuhkan sanksi sebanyak 8 pertandingan kepada sang penyerang Liverpool.
Ketika tiba gilirannya Liverpool bertandang ke markas Manchester United, Stadion Old Trafford, pada 11 Februari 2012, Suarez tak mau menjabat Evra. Seusai laga, Evra pun merayakan kemenangan Manchester United dengan skor 2-1 itu secara sengaja di depan Suarez, dan hampir menimbulkan perkelahian antar pemain.
Tentu saja, para pemain ke-12 masing-masing tim juga kerap bertikai, baik secara verbal maupun fisik. Yang teranyar (dan diketahui oleh media) adalah ketika mereka adu jotos dalam laga leg kedua Liga Europa di Old Trafford pada 17 Maret 2016.
Tak Selalu Berselisih
Bagaimanapun, perlu diketahui bahwa Manchester United dan Liverpool tidaklah selalu soal perselisihan. Ketika skuat Manchester United mengalami kecelakaan pesawat di bandara Munich pada 1958 (yang menewaskan 7 pemain), manajer Liverpool menawarkan lima pemain pinjaman.
Paddy Crerand, legenda Manchester United yang kini bekerja sebagai komentator di TV klub, menceritakan bahwa ia dan rekan-rekannya kerap menyaksikan Liverpool bertanding di saat senggang. “Kami berdiri di (tribun) The Kop . Saya tidak ingat berapa kali saya menyaksikan Liverpool di balik gawang itu. Para Scousers terkadang mengejek kami, tetapi tetap lucu,” jelas Crerand seperti dikutip dari The Guardian.
“Ketika Liverpool menghadapi Leeds United di final Piala FA pada 1965, saya menyaksikannya secara langsung bersama Noel Cantwell, Denis Law, dan Maurice Setters. Setelahnya, kami mengirim sebuah telegram untuk mengucapkan selamat kepada Bill Shankly,” lanjut Crerand. “Kami (pemain Manchester United dan Liverpool) sering pergi bersama. Saya lupa seberapa sering Ian St. John dan istrinya menginap di rumah saya.”
Crerand merupakan bagian dari skuat kemenangan Manchester United di Liga Champions pada 1968. Ketika itu, Liverpool Echo menuliskan bahwa “sepakbola Britania Raya patut berbangga atas tim United yang memberikan segalanya demi mempersembahkan trofi yang diinginkan Matt Busby lebih dari apapun. United melalui perjalanan yang sangat panjang untuk bisa berada di puncak (sepakbola) Eropa, tidak akan ada yang membenci mereka karena menjadi klub pertama yang melakukannya.”
Setelah Manchester United menang 2-1 atas Liverpool pada final Piala FA 1977, para suporter Manchester United memberikan dukungan kepada Liverpool, yang akan bermain di final Liga Champions pertama klub, secara terbuka.
Satu fakta lain yang (mungkin) paling mengejutkan terkait relasi antara kedua tim ini adalah empat pemain Liverpool dan tiga pemain Manchester United pernah melakukan pengaturan skor agar klub terakhir terhindar dari degradasi pada 1915. Ketujuh pemain tersebut mendapatkan sanksi larangan bermain dari FA.
Rivalitas Hasil Manipulasi Komersialisme
Di luar urusan sepakbola, Mancunian dan Scousers sebenarnya lebih memiliki banyak kemiripan. Mereka sama-sama memiliki tradisi radikalisme yang dibanggakan dalam melawan elite-elite kota London, terutama melalui politik dan serikat buruh.
Dalam sebuah laporan yang ditulis sejarawan lokal bernama Tony Flynn tentang sejarah Cross Lane di Salford, diungkapkan bahwa para Scousers sebenarnya kerap memadati daerah tersebut setiap Sabtu malam di tahun 1950-an dan 1960-an untuk minum bir, mendengarkan live music, dan nonton di bioskop. Mancunian pun tak segan untuk pergi ke Liverpool demi mendapatkan kesenangan serupa.
Jika kemudian rivalitas gengsi antara kedua warga kota itu memuncak di sepakbola, maka bukan tidak mungkin itu sebenarnya hanyalah manipulasi komersialisme. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan di kota Liverpool dan Manchester yang dahulu diperas habis oleh para kelas menengah dapat tetap tertawa, mengenang zaman kejayaannya masing-masing.