Jawaban terbaik untuk pertanyaan "kenapa di Jerman banyak sekali pelatih muda berbakat" adalah sebuah institusi bernama Hennes-Weisweiler-Akademie. Orang-orang Jerman akrab menyebutnya dengan nama die Akademie—the Academy.
Akademie adalah sekolah dalam artian sebenarnya, karena lulusan berhak atas gelar Fußball-Lehrer yang dalam bahasa Indonesia berarti Guru Sepakbola. Gelar tersebut setara dengan Lisensi Pro UEFA, lisensi tertinggi kepelatihan UEFA.
Peserta kursus kepelatihan sebenarnya tidak perlu sekolah di Akademie untuk mendapat Lisensi Pro UEFA. Ada puluhan tempat lain di Eropa yang berhak mengeluarkan lisensi ini. Namun dengan menempuh pendidikan di Akademie, peserta kursus kepelatihan bisa mendapat pendidikan terbaik. Tapi, sebagaimana institusi eksklusif lain, masuk ke Akademie tidak mudah.
Sekolah kepelatihan yang sudah berdiri sejak 1947 ini sudah ketat sejak pendaftaran. Per tahun, Akademie hanya menerima 24 pendaftar. Masuk saja sudah berat; menjalani pendidikannya lebih berat lagi.
Selama bersekolah di Akademie, para peserta harus mempelajari semua hal yang mereka butuhkan untuk menjadi pelatih sepakbola kelas satu: statistik, nutrisi, kebugaran pemain, hingga perkembangan pemain; baik dalam teori maupun praktik. Semua materi itu harus mereka pelajari total selama 815 jam. Durasi masa belajar inilah salah satu hal yang membedakan Akademie dengan institusi-institusi lain.
Durasi masa belajar Akademie jauh lebih lama ketimbang standar UEFA untuk masa pendidikan Lisensi Pro: 240 jam. Itu standar minimal. Di Inggris misalnya, hanya dibutuhkan waktu kursus selama 256 jam untuk seorang pelatih mendapatkan Lisensi UEFA Pro yang dikeluarkan FA (PSSI-nya Inggris).
Dan, walau sudah menempuh studi selama 815 jam di Akademie, seorang peserta tidak akan begitu saja langsung mendapat gelar Fussball-Lehrer. Selanjutnya mereka harus magang selama delapan pekan di salah satu klub Bundesliga, serta membuat makalah sebanyak 15 halaman yang berisi tentang filosofi sepakbola mereka; hampir mirip dengan yang terjadi di Italia.
Baca juga: Cara dan tahapan Mendapatkan Lisensi Pelatih Sepakbola di Indonesia
Dengan standar yang sangat tinggi dan kerja praktik yang membuat para peserta didiknya sangat siap, Akademie secara rutin menelurkan pelatih yang tidak hanya berbakat, tetapi juga siap terjun di dunia kerja.
Satu hal lain yang membuat lulusan Akademie bernilai tinggi adalah sistem perekrutan Akademie itu sendiri. Akademie menerima 24 pelamar dengan pertimbangan yang rumit. Akademie tidak menerima pendaftar hanya berdasar kemampuan akademis saja, tetapi juga keberagaman latar belakang keilmuan—tidak melulu sepakbola.
Roger Schmidt misalnya, yang mendapatkan lisensi kepelatihan UEFA Pro pada 2011, bukanlah pelatih yang sedari awal bergelut di dunia sepakbola. Schmidt awalnya adalah seorang insinyur teknik di Universitas Paderborn.
Keberagaman latar belakang ini kemudian menjadi keuntungan bagi para peserta didik Akademie. Dengan beragamnya latar belakang keilmuan dari para peserta, maka proses belajar tentang sepakbola di Akademie pun akan diwarnai oleh berbagai sudut pandang. Hal ini tentunya akan bermuara pada kebaruan konsep; tidak sekedar mengulang-ulang konsep yang sudah baku.
Jerman beruntung karena menjadi rumah dari sekolah kepelatihan Lisensi Pro UEFA terbaik se-Eropa. Walau demikian, Akademie dan kerja kerasnya tetap akan sia-sia jika sistem sepakbola Jerman tidak mendukung regenerasi pelatih. Beruntung, sistem sepakbola Jerman selalu antusias pada kebaruan yang membuat para pelatih muda tersebut mendapat kesempatan untuk mengemban jabatan penting di level tertinggi.
Nama-nama seperti Juergen Klopp, Joachim Loew, Thomas Tuchel, Julian Nagelsmann, dan Domenico Tedesco bisa dipercayai mengemban jabatan penting walau minim pengalaman bukan hanya karena mereka lulusan Akademie, melainkan juga karena kultur sepakbola di Jerman mendukung penuh agar nama-nama baru mendapat kepercayaan dan kesempatan.
Komentar