Perang saudara hingga krisis besar yang terjadi di Yugoslavia pada dekade 1990-an memaksa banyak penduduknya melarikan diri. Para pengungsi Yugoslavia mencari suaka di berbagai negara—Swiss salah satunya.
Para pengungsi berbondong-bondong menuju Swiss bukan tanpa alasan. Sejak 1970-an, Swiss rajin menerima tenaga kerja asing dari berbagai negara; utamanya dari Yugoslavia. Swiss seakan telah menjadi rumah kedua bagi mereka.
Swiss terbuka terhadap kedatangan orang asing karena mereka sudah terbiasa dengan peradaban multikultural. Secara geografis, Swiss berbatasan langsung dengan Perancis, Jerman, Italia, Liechtenstein, dan Austria. Selain itu, Swiss juga menggunakan empat bahasa berbeda sebagai bahasa nasional: Jerman, Italia, Perancis, dan Romansh.
Para pengungsi diizinkan menetap di Swiss. Keuntungan yang diharapkan Swiss dengan menerima para pengungsi itu adalah semakin melimpahnya ketersediaan tenaga kerja yang nantinya akan sangat membantu dalam menggerakkan roda perekonomian negara.
Menurut catatan tahun 2014, 50 persen dokter yang bekerja di Rumah Sakit Universitas Basel bukan warga asli Swiss. Sebanyak 45 persen staf di sana juga merupakan warga negara asing yang tidak memiliki paspor Swiss.
Sebanyak 60 persen karyawan Roche, perusahaan farmasi multinasional yang berlokasi di Rhine, adalah orang asing. Persentase yang sama juga terdapat di sektor pembangunan infrastruktur dan pertanian.
Tenaga kerja asing yang bekerja di berbagai sektor ini berkontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi Swiss. Kemajuan ekonomi ini meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk Swiss. Catatan World Economic Forum pada 2014 menunjukkan, Swiss adalah negara dengan tingkat harapan hidup tinggi. Jumlah pengangguran di Swiss pun hanya berkisar 3,5 persen—termasuk yang terendah di Eropa.
Tidak hanya di segi ekonomi, keuntungan yang didapat Swiss dari penerimaan orang asing juga terasa di persepakbolaan mereka. Pemain-pemain potensial yang berasal dari keluarga imigran mulai muncul ke permukaan.
Beberapa di antaranya adalah Xherdan Shaqiri, Valon Behrami, Granit Xhaka, Haris Seferovic, dan Admir Mehmedi. Pada Piala Dunia 2014, pemain-pemain ini berhasil membawa Swiss mencapai 16 besar—prestasi yang terakhir kali dicapai tim nasional pada 2006.
Walau tidak mempersembahkan pencapaian luar biasa (Swiss cukup sering mencapai fase gugur) setidaknya para pemain keturunan itu berhasil menjaga tradisi baik Swiss di Piala Dunia. Bahkan kerja keras mereka di 2014 menempatkan Swiss di posisi enam peringkat dunia—lebih tinggi dari Perancis, Italia, dan Belanda.
Selang dua tahun kemudian, di ajang Piala Eropa 2016, Tim Nasional Swiss semakin kental dengan nuansa multikultural. Dari 23 pemain yang membela tim nasional, 14 di antaranya memiliki latar belakang kebangsaan yang berbeda-beda—Kosovo, Makedonia, Bosnia, Kamerun, Pantai Gading, Turki, hingga Sudan. Darah Bosnia dan Herzegovina mengalir dalam tubuh sang kepala pelatih, Vladimir Petkovic.
Skuat Piala Eropa 2016 kemudian menorehkan sejarah: membawa Swiss lolos dari fase gugur untuk kali pertama dalam sejarah keikutsertaan mereka di Piala Eropa. Berkat pancapaian tersebut, banyak pihak kemudian menyebut Swiss sebagai kuda hitam yang berpotensi mengancam tim-tim besar.
Walau akhirnya kalah dari Polandia di 16 besar, Swiss mampu memberi perlawanan berarti. Kedudukan sama kuat 1-1 hingga pertandingan berlanjut ke adu penalti mencerminkan betapa sengitnya pertandingan tersebut.
***
Kendati para pemain keturunan selalu membuktikan totalitas dan prestasi untuk Swiss di atas lapangan, mereka tak bebas dari diskriminasi dan kejahatan rasial. Walau Swiss memiliki tradisi multikultural yang kuat, kasus-kasus semacam itu masih kerap terjadi—terlebih ketika Partai Rakyat Swiss (SVP) mengeluarkan gagasan-gagasan yang bersifat anti-imigran.
Pada Februari 2014, SVP mengusulkan gagasan tentang perlunya pembatasan jumlah orang asing yang datang ke Swiss. Alasannya? Demi menjaga keamanan. Hasil referendum menunjukkan 50,3 persen suara menyetujui gagasan tersebut.
Dengan adanya putusan ini, sentimen terhadap mereka yang bukan asli Swiss turut meningkat. Poster-poster bertuliskan “Kosovo-Albaner Nein” bertebaran di banyak tempat. Ini tentu saja tidak mengenakkan untuk dilihat, terutama oleh para pemain keturunan Kosovo dan Albania seperti Shaqiri, Xhaka, dan Behrami.
Perlakuan media Swiss pun secara tidak langsung mendiskriminasi para pemain ini. Media-media Swiss sering menanyakan hal yang menyinggung asal-usul pemain.
Pada Desember 2014 misalnya. Seperti dilaporkan BBC, Shaqiri mendapat sebuah pertanyaan tentang agamanya. Ia ditanya apakah dirinya ikut merayakan Natal. Shaqiri tampak ringan menerima pertanyaan itu. Sambil tersenyum ia menjawab dengan lugas: “Aku seorang muslim. Jadi aku tidak begitu semarak merayakannya. Namun adik perempuanku sangat suka pohon Natal. Jadi kami selalu membeli satu setiap tahunnya.”
Lain cerita dengan Xhaka. Pemain keturunan Arsenal itu pernah mendapat pertanyaan yang bersifat meragukan loyalitasnya terhadap Timnas Swiss. Xhaka kemudian menjawab dengan tegas: “Kami bermain untuk Swiss dan kami bangga untuk memberikan segala kemampuan yang kami miliki.”
Terlepas dari berbagai fenomena luar lapangan serta perlakuan-perlakuan diskriminatif yang acap kali ditujukan kepada para pemain keturunan di Tim Nasional Swiss, semangat persatuan di atas keberagaman di tim nasional sendiri terjaga sampai saat ini.
Dari 23 pemain yang diboyong Petkovic ke Piala Dunia 2018, 63 persennya merupakan pemain keturunan. Dari 12 gelandang dan penyerang, hanya 2 yang asli Swiss. Piala Dunia 2018 akan menjadi panggung Swiss untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sepakbola adalah benteng ampuh untuk menjaga semangat keberagaman.
Komentar